[CERPEN] Gadis Penghuni Taman Bunga

Dum Spiro, Spero

SERING aku melihat perempuan berambut panjang berpakaian putih itu duduk menjuntaikankan kaki di bangku taman bunga ini. Setiap kali berpapasan muka denganku ia menoleh membuang wajahnya, seakan tak suka melihatku yang kerapkali memergokinya di tempat yang sama tepat di malam bulan purnama.

Sekali aku pernah mendekati dan ingin mengajaknya berbicang. Ia malah menyeringai dan membalikkan tubuhnya membelakangiku. Tak terbesit sedikitpun dalam pikiranku untuk berpikir lain tentang perempuan itu.

“Hari sudah larut malam, apa nona tak ingin pulang?”

Ia diam lalu terdengar suara isak yang membuatku merasa luruh. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya, agak menjauh tentu saja.

“Aku Esok, penjaga taman bunga ini.” Ucapku memperkenalkan diri.

“Anila.” Jawabnya singkat tanpa menolehku sama sekali.

“Bagaimana nona Anila bisa berada di taman ini padahal semua pengunjung sudah pulang sore tadi?”

“Kenapa aku harus pulang? Aku penghuni taman bunga ini bahkan ketika masih berupa hutan pinus.”

Aku jadi berpikir demi mendengar keterangannya. Benar, sebelum lokasi ini dibangun menjadi taman bunga dahulunya adalah hutan pinus yang terkenal terutama oleh para muda-mudi yang mencari tempat untuk menyepi. Tujuannya tidak lain adalah berdua-duaan untuk  menghindari pandangan banyak mata yang akan menuai sinis. Sekalipun hutan, deretan batang-batang pinus yang tegak meninggi seperti menyerupai taman. Ada banyak bangku bambu yang dibuat mengitari pokok batang pinus. Entah siapa yang membuatnya tetapi seperti sudah disiapkan untuk tempat beristirahat ataupun sekedar menikmati aroma hutan pinus yang berbau menyegarkan itu.

Lantas mengapa gadis di dekatku ini mengaku penghuni taman bunga yang sebelumnya hutan pinus? Aku jadi berpikir lain, sekalipun bulu kuduk di tengkukku sudah berdiri tetapi dengan nalarku yang masih sehat aku mencoba menguasai keadaan dengan wajar.

“Di mana rumah nona Anila?”

“Di sini, di bawah bangku taman ini.”

Oh, aku makin merinding mendengarnya. “Bukankah di bawah bangku ini adalah gundukan tanah merah?”

“Benar, aku tinggal di situ.”

“Maksud nona Anila?”

Perempuan itu membalikkan tubuhnya. Aku terjajar dan bersandar di sandaran bangku taman  menguat-nguatkan diri agar tak terkejut atau sampai terkencing-kencing di celana saat melihatnya. Semua bayangan hantu perempuan yang pernah aku lihat di televisi menguasaiku. Kuntilanakkah dia? Sundel bolong? Ingin rasanya aku lari dan meninggalkannya karena takut dan ngeri. Namun bukankah aku yang mendekatinya? Mengajaknya berbincang? Rasanya pengecut sekali jika aku melakukannya.

Wajah Anila ternyata cantik sekalipun tampak pucat. Aku menatapnya tak berkedip, kulihat tubuh Anila dari ujung rambut sampat pangkal tumitnya. Aku bersyukur dan merasakan lega sekali. Kukira aku akan bertemu wujud hantu, dedemit atau sejenisnya.

“Esok, maukah kau mendengar ceritaku?”

“Cerita?”

“Ya, kisahku.”

“Baiklah, kisahkanlah kepadaku!”

Anila menarik napas panjang. Ia seperti tengah menggali timbunan kenangan yang terkubur di bawah bangku taman ini. Kenangan buruk sepertinya.

“Aku sudah mati lima tahun silam. Tepatnya tiga bulan sebelum taman bunga ini dibangun.”

“Jadi kau sudah mati?”

“Jasadku memang sudah mati tetapi rohku tak kan pernah mati.” Wajah Anila menegang seperti teringat sesuatu yang membuatnya marah.

“Lelaki itu telah membunuhku! Lalu memperkosaku setelah aku mati.”

“Oh, lelaki necrophilia, pelaku seks dengan mayat. Siapakah dia?”

Anila belum menjawab pertanyaanku. Sorot matanya merah menyala dan hembusan napasnya tersengal-sengal seperti menahan kesal.

“Aku memang tak menyukai lelaki itu. Tetapi malam itu, saat purnama merona di atas pucuk pinus ia berhasil memperdayaku.”

“Anila sayang, kita ke taman pinus yuk?” ajak lelaki itu merayuku. Ia sering mengaku sebagai teman ibuku. Kebetulan ibu sedang tidak ada di rumah jadi ia mengajakku bercakap-cakap.

“Lihai benar ia, karena tahu aku begitu menyukai bulan purnama. Bagiku purnama adalah cahaya kehidupan terindah yang tak bosan-bosan untuk dipandangi.”

“Lantas?”

“Aku diajaknya ke taman bunga dengan mobilnya. Sampai di taman kulihat ada beberapa pasang muda-mudi yang tentu saja mereka sedang asyik-masyuk dengan kekasihnya. Mereka berciuman, berpelukkan, berpangku-pangkuan. Jijik sekali melihatnya.”

Sejurus kemudian kulihat raut wajah Anila mengisyaratkan penyesalan yang tentu saja terlambat disadari.  

“Awalnya lelaki itu memang tak menunjukkan sikap yang tak baik kepadaku. Duduk pun ia tak di dekatku tetapi kutahu ia seperti tengah mencari atau mengamati sesuatu, terbukti ia sering mondar-mandir ke sana ke mari. Beberapa pasang kekasih yang berjalan berpeluk pinggang melintasiku dan meninggalkan hutan pinus. Hingga kusadari hanya aku dan lelaki itu saja di hutan pinus.”

“Terus?” tanyaku penasaran.

“Tiba-tiba sebuah benda tumpul membentur keras kepalaku, aku meraung kesakitan dan tak sadarkan diri. Namun setelah aku dapat melihat dan menyaksikan segalanya. Lelaki itu tersenyum melihat tubuhku yang tergeletak tak berdaya di bawah pokok batang pinus, di lemparkannya sebuah batu berukuran sebesar kepala orang dewasa ke sisi tubuhku. Dengan pandangan yang sulit kupercaya ia menyandarkan tubuhku pada pokok batang pohon pinus dan menjilati setiap tetes darah yang mengucur di kepalaku hingga bersih.

Malam bergerak melambat, bulan bersinar pucat, angin tedengar bersuit-suit dan lelaki itu benar-benar menjamahku. Ia membisikkan sesuatu ke telingaku dengan birahi, mengajakku bercinta menikmati malam. Tubuhku diam saja namun terlihat ia makin terangsang dan napasnya makin memburu. Lelaki itu menindih dan menyetubuhiku, membuka penutup auratku, memagut bibirku yang rekah, menjilati leherku yang jenjang, menghisap buah dadaku yang segar juga menikmati lubang surgawiku. Berkali-kali sampai pagi.”

“Tidurlah sayang, mimpi indah denganku. Kita bercinta dengan tiada habisnya.”

“Aku tak merasakan apa-apa sebab yang lelaki itu sentuh dan jamah adalah jasad mayatku, namun rohku yang melihat dan menyaksikan perbuatan biadab lelaki itu sakit luar biasa sakitnya.”

“Lalu mayatmu?”

“Selesai urusan selangkangannya beres, lelaki itu menimbuni tubuhku yang telah mati telanjang dan ternoda dengan dedaunan di sekitar hutan pinus serapi mungkin agar tak meninggalkan bekas dikemudian hari bahwa di tempat itu telah terjadi pembunuhan dan pemerkosaaan terhadap mayat. Lalu ia pergi begitu saja tanpa merasa berdosa. Raut wajahnya malah sedikit tersenyum lepas karena merasa menang telah mengalahkanku yang sudah belasan kali menolak ajakannya ke tempat itu.”

Aku menahan kesal mendengarkan kisah Anila. Amarahku meluap-luap sampai ke ubun-ubun, darahku mendidih dan detak jantungku tak beraturan.

“Kau tahu Esok? Aku berharap ada sesorang mendapati mayatku dan menguburkannya dengan layak sekalipun mati terkoyak. Tak satu pun orang-orang melihat ke dalam tumpukkan dedaunan itu. Mereka yang datang ke hutan pinus sibuk dengan urusan hati bahkan birahi masing-masing.”

“Kasihan sekali kau Anila.” Ucapku iba.

“Rohku hanya dapat menangis meratapi nasib jasadku yang mulai membusuk.”

“Apa kau tak dapat melakukan sesuatu apa pun untuk membalas perlakuan lelaki itu?”

“Andai aku bisa melakukannya sudah aku cegah saat ia akan menyetubuhiku.”

Aku terdiam lalu teringat sesuatu. “Apa sempat terpikir olehmu akan cerita orang-orang bahwa roh orang yang sudah mati dapat merasuk ke dalam jiwa orang yang masih hidup dan lewat media tubuhnya ia dapat mengungkapkan segala keluh kesahnya?”

“Aku masih bingung dengan keadaanku. Sampai hari ke tujuh aku belum beranjak dari mayatku yang sudah mulai hancur dirubung belatung dan dimakan cacing. Barulah terlintas di pikiran omongan orang-orang yang mengatakan seperti itu, bahwa orang yang sudah meninggal dapat memasuki raga sesorang yang dalam keadaan kosong. Tetapi aku belum pernah membuktikannya. Jangankan memasuki raga orang lain, untuk beranjak pergi dari jasad mayatku saja aku belum tahu caranya. Jalankah? Lari? Terbang? Atau menghilang?”

“Ceritamu mulai lucu.” Ucapku sambil tersenyum.

“Hari sudah gelap malam, aku mulai mencoba dengan berjalan, bukankah sebelum berlari seseorang harus belajar jalan terlebih dulu. Dengan langkah yang masih pelan-pelan rohku berjalan menuju rumah yang kusebut ibu. Ah, tentu perempuan yang telah mengasuhku siang dan malam, bekerja keras tanpa ayah yang menurut cerita ibu ayahku sudah meninggal saat aku masih dalam kandungannya. Pasti ia mengkhawatirkannku.” Begitu pikirku.

“Anehnya aku bisa berjalan dengan cepat, berlari, melayang bahkan terbang. Sampai di jalan desa aku berhenti. Aku belum menguji apakah rohku dapat terlihat orang-orang ataukah justru dapat menghilang? Ah, ada sebuah mobil yang akan lewat. Biarlah aku berdiri di tengah jalan, kalau aku dapat terlihat tentu pengendara mobil itu membunyikan klakson dan memintaku menepi ke pinggir jalan.

Tetapi mobil itu tak menunjukkan kalau di depannya berdiri seseorang menghalangi jalan. Ia malah melintas dan menabrakku. Aku menjerit namun tubuhku seperti bayangan yang tak merasakan sesuatu pun telah mencelakainya. Mobil itu berlalu namun aku dapat mengenali lelaki yang mengendarai mobil itu. Bukankah yang di mobil itu lelaki yang telah membunuh dan menggagahiku? Ia tengah bersama perempuan cantik yang mungkin akan menjadi korban necrophilia berikutnya. Aku harus mencegahnya.”

“Apa kau mengejar mobil pembunuh itu?”

“Aku bahkan membuntuti arah mobil itu yang menuju ke hutan pinus itu lagi. Mobil itu terparkir di tempat biasa yang dulu diparkirkan. Seperti padaku lelaki itu tak berbuat sesuatu kepada perempuan itu sebelum muda-mudi di hutan pinus beranjak pergi.”

“Tunggu di sini ya neng.” Ucap lelaki itu minta diri.

“Kemana mas, neng takut sendiri.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku berpikir sesuatu tentang untuk menyelamatkan perempuan itu. Kudekati ia yang tengah duduk melamun di bangku taman hutan pinus dan dengan sengaja kumasuki tubuhnya. Ajaib, aku menemukan tempat sehingga aku dapat melakukan sesuatu seperti halnya manusia yang masih hidup. Mula-mula kuangkat tangannya dan kurasakan gerakan tanganku terangkat, aku mencoba berdiri dan ia pun bangkit mengikuti kemauanku. Pokoknya aku hidup kembali dalam jasad perempuan itu.”

“Jadi kau melakukan semacam reinkarnasi?”

“Apa boleh buat, semuanya terpaksa demi mencegah lelaki itu berbuat buruk kepada perempuan yang sedang kupinjam raganya.”

“Bagaimana kelanjutan kisahmu?”

“Lelaki itu sudah membawa batu besar nan cadas. Langkahnya mengendap-ngendap mirip kucing memburu tikus yang sedang menjadi target buruannya. Ia bergerak dari belakang perempuan yang akan dijadikan korban necrophilia. Necrophilic homicide tepatnya, karena lelaki penggemar seks dengan mayat ini mesti membunuh terlebih dahulu korbannya untuk mendapatkan mayat dan memperoleh kepuasan seksual. Berbeda dengan regular necrophilia, karena ia hanya menggunakan mayat yang sudah mati untuk memperoleh kepuasan seksualnya.”

“Sayang lihatlah ke belakang!” ucap lelaki itu siap membenturkan batu itu ke kepala perempuan yang sudah dimasuki rohku.

“Oh, kau berubah menjadi, menjadi Anila!”

“Kenapa kau tak jadi memukul kepalaku?”

“Benarkah kau Anila?”

“Apa kau melampiaskan dendammu lalu membunuhnya?” tanyaku.

“Tidak, aku membiarkan lelaki itu pergi terpontal-pontal ketakutan.”

“Kenapa kau biarkan ia pergi?”

“Aku tak mau menjadi pembunuh. Sulit kubayangkan dosa menjadi pembunuh.”

“Lalu perempuan yang kau pinjam raganya itu?”

“Ia aku pulangkan.”

“Kau sendiri bagaimana kelanjutannya?”

“Aku memilih menemui ibuku.”

“Apakah ibumu tahu kematianmu?”

“Saat aku kembali ke jalan desa menuju rumahku, semuanya tampak biasa-biasa saja. Seolah-olah tak ada satu pun yang merasa kehilangan aku. Di pangkalan ojek semua sedang membicarakan jalan desa yang rusak parah sehabis banjir. Di warung bu Marni masih saja ramai gemuruh orang-orang menonton siaran sepak bola. Di Musholla di dekat rumah remaja-remaja sedang bersholawat dan membaca kitab Barzanji. Rutinitas berjalan seperti biasa. Tidak ada yang merasa kehilangan akan dirinya.

Kudapati pintu rumah ibu tertutup, mungkin ia tak berada di rumah. Tetapi dengan sedikit samar kudengar suara dari kamar ibu yang berada di kamar depan. Suaranya seperti tak sendiri, ada suara laki-laki yang terengah-engah. Aku mendobrak pintu rumah namun yang kudapati tubuhku terpelanting masuk ke dalam rumah. Aku lupa bahwa rohku dapat menembus dinding beton sekalipun.”

“Lalu apakah kau masuk ke kamar ibumu? Siapakah lelaki yang bersama ibumu?”

Anila terdiam. Ia seperti sedang menahan beban yang sangat berat untuk melanjutkan kata-katanya.

“Apa kau mau tahu siapa lelaki itu?”

“Tentu saja.”

“Ibuku sedang menemani lelaki yang telah membunuhku. Lelaki itu melakukan hal yang sama ia lakukan kepadaku hanya bedanya antara lelaki itu dan ibu saling berpelukkan, berpagutan dan balas membalas.”

“Apa? Lantas apa yang kau perbuat selanjutnya.”

“Aku ingin membunuhnya saat itu juga namun aku urungkan karena ibu menyebut-nyebut namaku. Ibu meminta kepada lelaki itu untuk mencari kabarku.”

“Untuk apa kamu mencari kabar Anila?” ucap lelaki itu tanpa dosa sambil terus menciumi wajah ibu dengan birahinya.

“Ia sudah dewasa. Mungkin ia sedang main ke rumah temannya. Biasalah anak remaja zaman sekarang, tak betah diam di rumah.”

“Sekalipun bukan darah dagingku tetapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Diperkosa, dibunuh apalagi sampai dimutilasi. Mengerikan sekali.”

“Jadi Anila bukan anak kandungmu?”

“Benar, ia kutemukan saat masih bayi, terbungkus kardus di tepi rel kereta api dekat rumah bordir tempat aku dulu bekerja.”

“Jadi Anila anak pelacur begitu?”

“Entahlah. Kudengar ia anak seorang pejabat dengan perempuan sundal, hanya saja karena tak diinginkan ia dibuang.”

Ibu menutup mulutnya, “Jangan sebarkan kepada siapa pun, Anila sebenarnya anak pak wali kota pemilik hutan pinus yanag sekarang berubah menjadi taman bunga.”

Lelaki yang tengah menggagahi ibuku itu terkejut. “Jadi sebenarnya Anila anak pejabat yang sekarang menjadi wali kota?”

“Hus, jangan keras-keras! Nanti ada yang mendengar.”

“Apakah Anila tahu?”

“Tidak, aku tak ingin Anila terluka.”

“Bodoh sekali kamu. Anila bisa kita jadikan tambang emas untuk mengeruk kekayaan wali kota yang telah menelantarkan anaknya itu."

“Aku tak berpikir sepertimu. Aku hanya ingin Anila menganggapku ibu kandung yang sesungguhnya saja.”

“Dasar bodoh! Tapi untungnya Anila mirip kamu. Sama-sama cantik apalagi seperti ayu pipimu ini.” Lelaki itu terus menerus menciumi pipi ibu tiada henti.

“Kenapa dengan pipiku?”

“Aku ingin terus menciumnya sampai pagi.” Ucap lelaki itu. Terdengar tawa keduanya terbahak-bahak dan mereka melakukan adegan bercinta yang lebih panas lagi.

“Dengah langkah sempoyongan aku keluar dari kamar terkutuk itu. Mendengar riwayatku dari penuturan ibu, aku menangis lalu duduk terkulai di kursi teras. Teman-temannya Astuti, Diana, Nurul dilihatnya keluar dari Musholla dan melihat ke arah rumahku. Sempat kudengar mereka berbisik-bisik mengabarkan kalau aku menghilang ke pelukkan lelaki-lelaki hidung belang yang berkantong tebal. Mereka menganggap aku sama dengan ibuku. Sama-sama melayani lelaki mata keranjang. Jadi selama ini meraka berbuat baik di depanku hanya bermanis muka saja, padahal di dalam hati mereka tersimpan makian dan celaan yang membuat panas telinga jika mendengarnya. Aku berlari meninggalkan rumahku dan melayang terbang menuju tempat di mana tubuhku makin busuk dan berbau. Entah bagaimana Tuhan mengatur jalan hidupku yang begitu tragis.”

“Katakan saja siapa nama lelaki yang membunuhmu itu! aku akan laporkan semuaya kepada polisi.”

“Tidak. Aku merasa telah hancur setelah sebulan kemudian mendapatkan ibu pada akhirnya menikah dengan lelaki itu.”

“Oh, Anila sungguh malang nasibmu.”

“Lalu aku lebih memilih tinggal di sini. Menjaga tulang belulangku yang terkubur di bawah tumpukkan dedaunan pinus sampai pada suatu hari ketika pembuatan taman bunga menyentuh tumpukkan dedaunan itu, beberapa pekerja menemukan tulang belulangku di antara tumpukkan daun-daun pinus. Mereka kemudian menguburkanku secara layak. Di tempat inilah kuburku dibangun. Aku baru bisa merasa tenteram.”

“Apakah kamu mau mendoakanku Esok.”

“Doa?”

“Iya doa untuk orang yang sudah mati. Aku di alamku merasa tak mendapatkan sesuatu yang nikmat. Teringat dulu guru madrasahku menjelaskan bahwa do’a orang yang masih hidup sangat membantu bagi orang yang sudah meninggal dunia.”

“Tentu saja aku akan berdoa untukmu.”

“Terimakasih.” Lalu dengan perlahan Anila menghilang dari pandangku.

Setiap kali malam bulan purnama Anila menampakkan dirinya duduk di bangku taman itu. Harum bunga di taman itu begitu wangi seakan sedang menyambut bidadari yang turun dari langit dan duduk di taman bunga. Tak seorang pun tahu dan melihatnya kecuali aku. Ia telah menjadi gadis penghuni taman bunga.

***

Indramayu, 2017

 

Faris Al Faisal Photo Writer Faris Al Faisal

Dum Spiro, Spero

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya