[CERPEN] Balada Selepas Tarawih. Antara Waspada, Suudzon & Kekalahan Juventus

Oh Tuhan, betapa tipis batas antara waspada & suudzon, ketika emosi kalah taruhan.

Tersebarnya rekaman cctv aksi kelompok remaja menendang dan membacok motor-motor yang tengah parkir di dekat perumahanku, (apa salah gua! teriak motor kalau saja ia mampu berbicara), di tambah isu geng motor yang juga santer, membuat orang-orang di lingkungan rumahku meraasa terancam. Terkait fenomena tersebut, kemarin aku mengalami kejadian yang begitu inspiratif. Kejadian ini 89% nyata, 11% nampak nyata. Ini serius. Hanya nama tokoh aku samarkan. Begini Kejadiannya.

                                                             ***

Selesai tarawih aku gagal pulang ke rumah. Ini akibat laga final Madrid vs Juventus yang dinanti teman-temanku itu. Sambil berjalan lambat-lambat menjauhi pelataran masjid, teman-temanku merancang rencana nobar dengan begitu antusias, percis anak SMA menanti study-tour.

"Sekalian nunggu sahur yuk! Langsung ke pos aja. Gak usah pulang." si Paul, salah satu temanku, mengatakan bahwa ia takkan bisa tidur kalau di rumah, pertandingan ini begitu menjajah pikirannya. Sensasi yang mirip saat malam hari menjelang pergi ke bandung bersama satu angkatan sekolah waktu Paul SMP dulu. Perbicangan pun menyudutkanku. Bicara tentang Totti pensiun, prediksi final, sampai bursa taruhan. Aku gigit jari. Aku mati kutu. Tatkala bicara soal sepak bola, pasti aku ditertawakan.

"Doi nanya, Nedved masih ada atau enggak yak..."

"Haha masak kemarin Thuram main apa enggak" Itu wajar, sebab aku ikuti sepak bola melalui Play Station I kecil hadiah khitanan dulu. Jadi, aku sangat ingin pulang. Aku takut tertidur dan terjerat kebosanan. Selepas tikungan lapangan, pos kamling menanti kami. Aku memutar otak mencari alasan agar aku pulang dan takkan kembali.

“Makan yak, makan!” Baru hendak aku upayakan strategi itu tiba-tiba, dari atas pos Rw, yang terbangun di atas tanggul, terdengar suara serak, bernada medok.

"Waduh. Jagoan-jagoan kita nih. Sini. Gorengan masih banyak. Nonton final!" Itu suara om Totok. Tumben sekali bulan puasa beliau masih di sini. Biasanya romadhon minggu pertama, warung nasi HIK dekat lapangan RW miliknya sudah ditinggalnya balik kampung, mudik. Sampai di pos, kami pun sambut-menyambut.

"Kopi udah siap belum om"

"Halah! Ini dispenser tinggal colok. Anak sekarang kan jago nyolok!" Beliaulah salah satu penyebab aku mengurungkan niat pulang. Om Totok selalu punya kisah-kisah menarik, aku selalu senang mendengarnya.. Aku juga teringat seorang bijak yang berkata di parkiran Taman Ismail Marzuki, pada jumat dini hari,

" ..rela melakukan hal yang ndak kamu senangi, ya itu puasa."

Walhasil, aku pun merelakan diri terjebak agenda nonton bareng Final Camphion itu, walau aku tak suka. Oya, aku sebut beliau karena usia om Totok seangkatan ayahku. Malam itu, beliau bercerita tentang perjalanan menyupir truk, pedangdut lokal kaya-raya, hingga tentang begal, geng motor. Bocah tengik, sebutnya. Ia utarakan keprihatinannya pada maraknya sikap brutal.

"Kalian sudah besar, jangan ikut gaya orang primitif, pacaran saja yang banyak. Ga usah ikut-ikut kekerasan" Terangnya. Sambil mengemukakan gawai androidnya, beliau juga sempat menunjukan sebuah rekaman video,

"Ini mereka sudah mengacau sampai sini Lihat! Ini kan ruko sebelah pasar Jatiasih.."

Kawan-kawan pun sahut-menyahut menanggapi.

"Gak disekolahin kali tuh om!"

"Dasar, Gak ada akhlaknya! Bikin resah!" Suasana keresahan itu pun padam, tatkala Christian Ronaldo cs memasuki lapangan. Aku menguap. Gelas kopi terisi kembali. Kudengar om Totok berkata

"Bismillah! Aku pasang banyak di Juve. Temen bosku berani pur satu loh. Edan!” Asap rokok membubung dari bibirnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

                                                            ***

Gol ke dua Ronaldo membuat om Toto begitu cepat menghirup rokoknya. Terlebih saat pemain juve terganjar kartu merah, muka beliau pun ikut memerah. Dan menjelang gol terakhir, tiba- tiba Lufi tetangga kami, berlari terburu buru. Lantas naik menghampiri.

"Babe mana mas?" Lufi gugup.

"Tuh lagi nabun di bawah, kenapa?” responku. Yodi dan Aga sedang berseru-.merayakan gol ke 4 Madrid. Sedangkan perhatian Paul dan om Totok masih tenggelam di sudut atas layar kaca.

" Ada orang di gang, bawa golok!" Lutfi meningkatkan suaranya. Akhirnya satu pos tersita perhatianya.

“Ada yang nenteng-nenteng golok, beh!” Ulang Lufi seraya menghampiri Babe satpam di bawah tanggul. Kata Lufi, remaja itu tak dikenal. Ia berjalan ke arah makam, akses ke luar Rw menuju jalan raya. Sontak si Babe satpam mengontek semua rekan yang ada di gang depan. Tiba-tiba, om Totok turun dari pos menuju rumahnya, yang berada sangat dekat, di seberang pos. Kami masih saling tanya. Beberapa jenak kemudian. om Totok berseru dari depan rumahnya,

"Ayo, di mana tuh bocah!" Beliau memegang benda yang panjangnya mirip pedang, lebarnya mirip golok. Aku tak tau namanya. Benda itu memiliki semacam warangka atau wadah dari bambu.

"Macem-macem bocah tengik, cincang!" Benda yang beliau pegang itu terseok-seok di tanah, om Totok nampak begitu marah. Lufi beriringan dengan babe dan om Totok, ia sambil memperagakan ciri dan gerak-gerik si penenteng golok itu. Aku, Paul, Yodi dan Age membuntuti. Babe mendapatkan jejak anak itu masuk ke kontrakan baru, di samping bilik makam. Penghuni kontrakan begitu asing bagi kami. Mereka warga baru.

" Permisi! yang mana Fi?" Pekik om Totok. Sambil menatap Lufi.

"Bu, tadi lihat orang bawa golok pakai baju polos lewat sini?" Tanya Lufi kepada seorang ibu yang membuka pintu. Tak lama berselang, yang dimaksud muncul.

"Iya, itu tadi saya,” Sambut penenteng golok.

"Mau ngapain lo! Tadi di depan bocah-bocah motor kabur. Itu temen lo!?" Tanya Paul yang pakai jersi belang hitam-putih punya tim kebanggaannya itu, Raut wajahnya layaknya kucing kampung yang melihat ikan asin. Aku baru sadar, ternyata ia menngepal batu bata.

“Tadi saya papasan sama akangnya. Cuma akang nunduk aja tadi". Penenteng golok menjelaskan pada Lufi.

"Sekarang lagi rawan geng. " Ucap babe satpam.

"Awas jangan macem-macem, kamu bisa mampus!" Sambar om Totok yang masih bergetar tangannya.

"Ohh, Sumpah pak. Saya habis belah kelapa, di rumah Bu Desi. RT 4" jelas remaja tersebut dengan nada takut.

                                                                 ***

Seorang remaja yang kami kenal datang bersama teman-temannya. Anak bu Desi itu membawa kelapa hijau sebagai bukti. Walhasil, satu persatu yang menyemuti kontrakan itu terurai. Aku, teman-teman dan beberapa satpam rekan Babe, menarik diri hilang dari pandangan. Anjuran sahur pun terdengar dari masjid sebelah. Kulihat om Totok berjalan penuh kecewa. Oh Tuhan, betapa tipis batas antara waspada, dan su’uzan, ketika emosi kalah taruhan.

Phenomena Watcher Photo Verified Writer Phenomena Watcher

A man. Rare information catcher. Say to me in : https://www.instagram.com/pemantix

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya