[CERPEN] Pembunuh di Rumah Tua

Bila dengan pisau kau tidak akan mati, dengan racun apalagi kau dapat mati, sayangku

"Main saja ke kerumahku, nanti aku sajikan selusin nyamuk tuk menghisap darahmu."

"Bagaimana atas tawaranku?"

"Jika kau minat, selain nyamuk, kecoak dan tikuspun nanti akan aku suguhkan untuk kau, sayangku. Itu pun bilamana kau berkenan singgah kerumahku, bila tidak maka akan aku teror kau disetiap malam sebelum menjelang tidur."

tutt...tutt..tutt...

Dasar tidak sopan! salam tidak, senaknya saja langsung menutup.

Aku harus buat rencana baru untuk meracuni dia, bila dengan hadiah ini dan itu ia enggan singgah ke rumahku untuk merayakan pesta kecil-kecilan, lalu harus dengan apa lagi kau cepat binasa sayangku. Ahh.. aku punya ide, bagaimana jika ia aku ajak ke cafe tua di pinggir pantai itu, selain tempatnya bersih, pemandangannya pun tak kalah menariknya. Tapi alangkah indahnya bila aku membuat jadwal acara dan aku konsep secara baik.

Mula-mula ia aku ajak makan siang sekalian aku beri hadiah kecil-kecilan seperti cincin yang terbuat dari perak dan di tengahnya bermata berlian, lalu aku berikan padanya seusai makan. Tapi sebelum pesanan datang kesempatan yang tak pernah terlupakan, aku akan membubuhkan serbuk racun ke dalam makanannya. Ketika beberapa menit kemudian racunya bereaksi, aku buru-buru memberikan kejutan dan pastinya ia akan sangat senang sekali. Aku membayangkan ketika berkali-kali ia memelukku karena kegirangan, berkali-kali pula ia menciumi pipi dan keningku karena senangnya yang luar biasa hebatnya.

Lalu...

Racun yang telah aku bubuhi ke makanan mulai bereaksi di dalam mobilku, sontak ia kejang-kejang yang hebat, mulutnya mengeluarkan buih-buih kecil yang semakin banyak. Badanya yang mulus dan putih seakan sirna menjadi pucat pasi. Bibirnya mulai terlihat kering dan pecah-pecah. Buih-buih racun yang menyiksa metabolisme tubuhnya seakan berhenti sejenak. Wajah cantiknya berubah drastis menjadi keriput.

Aku berpikir, racun macam apa ini yang mengubah fisik wanita yang cantik jelita seakan dengan mudahnya menjadi wanita buruk rupa. Ternyata racun yang aku peroleh dari Dokter William sangat ampuh sekali. Beberapa detik kemudian aku mengecek denyut nadinya ia masih saja berdetak seakan konstan seperti rotasi jam. Lalu wanita malang itu seakan sakaratul maut dengan sendirinya, berteriak-teriak tak jelas, memukul-mukul kaca jendela sekeras-kerasnya. Padahal aku yakin ia sudah kehabisan energinya karena racun telah menggrogoti seluruh energi di dalam tubuhnya.

Dalam perjalanan, ia sama sekali tak bergerak. Kali kedua aku dekatkan jariku ke depan hidungnya, ternyata ia sudah tidak bernapas lagi. Aku sentuh denyut nadi di tangan kirinya pun sudah tidak berdetak, ternyata ia sudah tidak bernyawa. Aku tak habis fikir ternyata wanita secantik ini mudah sekali menjadi buruk rupa akibat zat kimia yang aku bubuhi ke dalam minumannya.

Ketika tiba di pinggir hutan, dengan lekas aku buru-buru membopong mayat wanita malang yang mengenaskan ini. Aku mengintai area sekitar ternyata di pinggir hutan ini tampak sepi. Tak ada satu orangpun yang melintasi jalan kearah hutan. Aku bawa wanita ini ke dalam hutan yang sepi. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, suara auman singa dari kejauhan, dan pekikan burung-burung hutan membuat bulu kuduk seakan tegang dengan sendirinya. 

Aku masih menggendong wanita malang ini ke dalam hutan. Aku masih berfikir akan aku kuburkan dimana mayat yang membuat hatiku seakan cepat berdebar-debar di buru ketakutan. Aku menjadi resah seketika. Badanku yang tadinya segar bugar seakan dengan mudahnya menjadi lemas. Otakku selalu digelayuti rasa bersalah, seakan-akan jiwanya telah menghantui di sekelilingku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ah, entah apalagi yang ada di dalam otaku ini, semuanya membuatku merasa bersalah dan di hantui ketidak tenangan ini. Tapi ada satu cara yang membuatku rileks kembali yaitu aku tarik dalam-dalam nafasku secara perlahan. Ah, ini pun tak membuahkan hasil. Aku tatap keatas langit sambil memandangi cahaya matahari yang cerah yang membuatku tenang kembali.

Tak lama kemudian, aku melihat dari kejauhan gubuk tua yang di selimuti lumut hijau. Langsung saja aku bawakan mayat ini ke rumah tua itu. Rumah ini terbuat dari kayu jati yang kokoh, hanya saja lumut hidup yang menyelimuti dinding rumah tua yang membuat suasana menjadi sejuk. Terbesit oleh pikiranku untuk meninggalkan mayat wanita ini di rumah tua yang kosong. Aku baringkan mayat ini di atas sofa yang sudah sobek. Kainnya berwarna kecoklatan. Aku penasaran dengan rumah tua yang kosong ini.

Aku telusuri ruangan demi ruangan, ternyata aku tak menemukan seorangpun di dalam rumah ini. Di lorong yang gelap, aku masuki ruangan yang terakhir. Aku menemukan album foto di dalam lemari kayu kotak kecil beserta dokumen-dokumen pemilik rumah tua ini. Aku baca perlahan lembaran dokumen ini, tak sengaja ada amplop berwarna coklat muda jatuh ke lantai. Perlahan aku buka amplop ini dan dimuka amplop ini bertuliskan “Untuk Berlin Di Masa Depan”.

Surat itu bertuliskan :

 

Berlin,

Suatu hari di masa depan nanti kau akan tahu

Rahasia di masa lalu

Tersembunyi erat dalam mimpi

Tak ada yang tahu

Bukan hanya mimpi

Takdirpun menyertai

Garis waktu merotasi

Bersembunyi di balik dimensi

Tak ada yang tahu

Kelak, kau akan tahu

2090.

 

Bibi Rose

Setelah semua kata demi kata aku baca, aku masih belum memahami maksud dari tulisan ini. Aku berfikir apakah surat ini di tulis tuk seseorang yang bernama Berlin untuk masa depan? Ataukah surat ini adalah surat rahasia yang hanya di pahami Bibi Rose dan seorang yang bernama Berlin. Ah, aku tak paham sama sekali isi surat ini. Aku masih bingung untuk apa dan maksud apa Bibi Rose mengirimkan surat yang tersembunyi makna di balik semua ini.

Rumah tua ini menyimpan sejuta misteri yang tak pernah aku tahu. Oh, aku melupakan tentang mayat wanita malang itu. Aku pikir ini adalah ide yang terbaik. Aku tinggalkan saja mayat wanita malang ini di rumah tua, atau aku kubur saja ia di samping rumah ini. Aku bergegas keluar rumah utuk menguburkan mayat wanita malang ini.

Tak berapa lama kemudian hujan turun.

Aku segera bergegas keluar dari rumah tua yang menyimpan sejuta misteri. Dalam perjalanan pulang aku masih bimbang soal rumah tua dan surat yang di kirim Bibi Rose untuk Berlin. Hujan turun semakin deras dan awan hitam mengepul di atas perjalanan pulang. Matahari menjemput senja kala dan malam pun tiba.

**

Tidak! Jangan kau ganggu aku..! Kumohon, jangan ganggu aku! Tolong..tolong..tolong! Jangan bunuh, aku masih ingin hidup!

Ternyata aku hanya mimpi buruk. Cerita di alam mimpi seakan sungguh amat nyata. Apa maksud dari semua mimpi buruk yang terjadi ini. Aku tak paham. Aku lihat jam yang duduk diatas meja menujukan pukul tujuh pagi. Segera aku telpon wanita itu. Apakah ia mau aku ajak kencan. Bila ia tak mau? Maka akan aku terror ia.

 

Dwitra Hanifi Ahnaf Photo Writer Dwitra Hanifi Ahnaf

penikmat kopi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya