[CERPEN] Bocah Penjual Koran

Aku bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhanku, namun penderitaanku seakan tak pernah berakhir...

Di persimpangan jalan. Terlihat seorang anak kecil yang sedang asik menghitung lembaran kertas media cetak yang sedari tadi pagi masih tak kunjung habis dibeli oleh pelangganya.

Matahari panas terik di atas kepala seorang bocah laki-laki yang sedang menyebrang jalan dari utara ke selatan. Kendaraan yang lalu-lalang terdengar sangat bising, ketika bocah kecil sedang melintasi trotoar. Klakson-klakson mobil dan motor seketika menampar telinga bocah itu dengan garang.

Terlihat bapak tua yang sedang mendorong gerobak kayu yang hampir reot termakan oleh rayap melintas berhadapan dengan bocah kecil itu. Lalu, bapak tua itu menyapa sang bocah yang lugu tanpa malu.

“Hei, dari mana saja kau hendak?” sapa bapak tua.

“Kau tidak lihat aku sedang mencari makan dengan menjual koran ini!” ketus bocah kecil.

“Sedari pagi ayahmu mencarimu nak, ia sedang sakit katanya.”

“Di mana ayah sekarang pak?” tanya bocah kecil.

“Di rumah nak, pulanglah kau ke rumah” ujar pak tua.

Dengan langkah gontai dan terburu-buru anak itu cepat berlari sekencang-kencangnya, tanpa memikirkan hal yang ada di sekitarnya. Di persimpangan jalan menuju rumah ia teringat akan sesuatu, bahwasalnya ibu pernah berpesan sebelum kepergiannya untuk menjaga ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Ia tahu bahwa ayahnya sering kambuh atas penyakit yang di deritanya itu, terkadang pula panas demamnya amat tinggi.

Kerap kali ayahnya muntah-muntah sehabis makan. Penyakit yang di deritanya sungguh menyiksa ayahnya, ketika ayahnya sedang merasakan demam yang tidak turun-turun. Bocah kecil yang usianya belasan tahun dan harus bekerja keras siang dan malam hanya untuk menafkahi dirinya sendiri dan untuk membeli obat ayahnya.

Tempo lalu, koran yang ia jual tidak habis terbeli oleh pelanggan, sebab dari pagi hingga larut malam hujan tak kunjung reda dan pembeli enggan membeli koran yang basah akibat terkena air hujan. Dan hari itu ia dan ayahnya tidak makan.

Sebelum ia pulang kerumah ia singgah ke warung sembako untuk membeli obat parasetamol buat ayahnya, untuk menunurunkan demam yang diderita ayahnya. Hanya itu yang terpikir olehnya.

Dengan uang recehan yang ada di kantongnya, ia mengeluarkan beberapa koin untuk membeli obat pabrikan tanpa resep dokter. “Mau bagaimana lagi, makan saja sulit apalagi untuk berobat ayah di rumah sakit” pikir bocah kecil itu sambil membeli obat di warung.

Seusai dari warung sembako ia ke rumah dengan tergopoh-gopoh, lalu ia menemui ayahnya yang sedang sekarat. Tetangga-tetangga yang membantu memberi makanan dan membawakan wedang teh ke rumahnya merasa iba dan sedih. Beberapa tetangga yang dekat dengan rumahnya menyarankan bocah kecil itu agar dibawa ke rumah sakit saja. Tapi bocah kecil itu menolak sarannya.

Ketika para tetangganya yang mengerumuni ayahnya pergi, bocah kecil itu memberikan satu kaplet obat warung untuk meminumkannya ke ayah bocah kecil itu. Demamnya semakin tinggi dan tak mau pergi dari ayahnya, seperti melekat dan tak mau menjauh darinya.

Beberapa jam kemudian.

Ayahnya tertidur di atas dipan. Bocah kecil itu tanpa sadar tertidur lelap juga di samping ayahnya. Ketika sore menjelang dan awan hitam datang tanpa diundang, gerimis pun datang pada sore itu membawa isyarat dalam mimpi tidurnya.

Ia bermimpi tentang ayah dan ibunya yang sedang bertemu dan bahagia di sebuah taman yang indah dan berbunga, walaupun sejak ia dilahirkan, bocah kecil itu belum pernah bertemu ibunya. Tanda-tanda pada isyarat hujan di sore itu menjadi sebuah kenyataan yang pahit. Bocah kecil itu lalu terbangun dari mimpi dan memandangi ayahnya, seusai ia memimpikan kedua orang tuanya itu.

Ketakutan yang muncul setelah bermimpi buruk membuat ia merasa akan kehilangan orang satu-satunya yang ia sayangi, yaitu ayahnya. Lalu dengan tangan bergemetar dan mata yang masih merah akibat terbangun dari mimpi buruknya, perlahan ia membangunkan ayahnya yang sedang tidur setelah meminum obat.

Ayah…

Ayah…

Bangun...

Ayah bangun...

Ayah…

Ayahnya pun tak bangun-bangun ketika bocah kecil itu memanggil-manggil ayahnya yang sedang tidur. Lalu bocah kecil itu menangis sejadi-jadinya saat ayahnya tak bangun-bangun. Lalu ia berkata :

Tuhan mengapa engkau tidak membangunkan ayah, aku sudah bangunkan ayah tapi ia tidak bangun. Tuhan apakah engkau telah memanggil ayah dalam hujan-Mu senja ini? Tuhan jangan engkau cabut nyawa ayahku dulu Tuhan...

Hanya ayah satu-satunya yang aku punya dan aku sayangi. Tuhan engkau telah memanggil ibuku saat aku belum tahu kehidupan, sekarang engkau telah memanggil ayah yang aku cintai. Tuhan hanya ayah yang aku miliki terakhir kali, tapi engkau telah meniadakannya, lalu aku sekarang tak punya siapa-siapa lagi.

Tuhan aku tak sanggup lagi menderita seperti ini. Ayah dan ibu sudah tiada lagi... dan aku hidup hanya sendiri.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Butiran-butiran air mata bocah kecil itu menetes di atas kasur. Bocah kecil itu tak sanggup lagi membendung tangisannya. Matanya semakin memerah. Ia menatap wajah ayahnya penuh derita. Ia menatap mata ayahnya dengan berlinang air mata penuh pengharapan kembali lagi.

Kesedihan telah membawa kepergian ibunya dulu. Sekarang kesedihan itu datang lagi saat kepergian ayahnya. Mengapa semua ini cepat sekali datang dan pergi tanpa di rencanakan, pikir bocah kecil itu sambil menderaikan air matanya.

Hujan di sore itu telah membawa pertanda atas kepergian ayahnya selama-lamanya. Hujan sore itu membawa tangisan dan kepedihan yang dalam atas duka yang dirasakannya. Hujan telah membawa sejarah baru atas apa yang telah dialaminya.

Hujan juga telah memberikan pelajaran berharga atas kesedihan dari kepergian ayahnya. Ketika itu ia tidak ingin mengingat masa lalu yang diderita selama bersama ayahnya lagi. Bocah kecil itu telah membuka lembaran baru. Dan ia hidup dengan seorang diri tanpa ayah dan ibunya yang telah tiada, yang telah meninggalkan seorang diri.

**

Pagi hari yang suram. Mentari belum menampakan dirinya. Ia masih saja murung atas kepergian ayahnya. Burung-burung berkicau tak teratur. Embun pagi yang menetes lembut dari dahan pohon ke tanah masih saja enggan turun.

Dingin di pagi itu menusuk kulit hingga tembus ke dalam hatinya yang sedang sesak. Bocah kecil masih saja murung memikirkan kejadian itu. Sambil berjalan di antara lorong gang-gang sempit, ia menembus dinginnya pagi.

Sembari membawa lembaran berita baru di pagi yang baru, ia berjalan ke arah jalan raya yang biasa dilaluinya. Lalu, ia memegang koran yang baru saja diambil dari tengkulak. Ia duduk di pinggir jalan dengan hati yang masih sesak dan masih mengingat-ingat pada waktu itu.

Orang-orang sibuk berlalu lalang seakan-akan tak menghiraukan orang yang ada di sekitarnya. Bocah kecil itu berdiri sambil menawarkan berita baru di pagi hari.

“Koran... koran… koran...” teriaknya sambil murung. Ia menawarkan ibu-ibu yang melintas dihadapannya. Ia pun menawari koran pada orang yang lewat di depannya juga. Tapi mereka seakan-akan acuh terhadap bocah itu.

Dan mereka seperti orang pintar yang tak ingin membeli koran dan membaca berita untuk memenuhi pengetahuan dan informasi didalam kepalanya. Bocah kecil itu pun mulai letih berteriak-teriak sambil menawari koran. Lalu ia duduk di halte tempat pemberhentian bus sambil membaca koran yang ada di tangannya.

Sedari tadi ia berkeliling untuk mendapatkan sesuap nasi dari hasil penjualannya. Lapar menggerogoti perutnya hingga cacing-cacing di perut merintih kesakitan karena kekurangan asupan bahan pangan. Ia merasakan kelaparan sebab belum ada juga yang mau membeli koran yang ia dagangkan. Belum ada uang juga yang masuk ke dalam saku kantongnya.

Koran-koran itu ia tata sedemikian rupa dan digelar diatas plastik untuk mewadahinya agar tidak basah. Ia berharap ada satu atau dua orang yang peduli akan dirinya. Dengan cara menjual koran ia tetap dapat hidup. Ia tak pernah sekali pun berpikir untuk mengemis. Karena mengemis menurutnya tidak baik.

Pagi itu awan menjadi kelabu, seperti hatinya yang dirundung pilu. Angin semilir berhembus menggerakan rambutnya yang tipis dan pendek itu. Hujan nampaknya ragu-ragu ingin turun ke tanah. Tapi suasana menjadi dingin dan tubuhnya yang tinggal seonggok daging dan tulang diselimuti kulit menggigil.

Ia menahan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Hampir tak merasakan dingin, terlebih lagi yang ia rasakan adalah kelaparan karena belum sarapan.

“Dik, ini harganya berapa?” tanya bapak itu sambil menunjukan korannya.

“Tiga Ribu Rupiah pak!” ujar bocah itu.

Ia berharap agar bapak itu dapat membeli koran yang dijual untuk makan pagi ini. Bapak itu masih melihat koran halaman demi halaman di tangannya. Seperti sedang menantikan berita hangat yang sedang terjadi pagi itu. Mencari berita yang sedang menggemparkan di negri ini.

Di headline muka tertera judul besar ‘Korupsi Membuat Rakyat Menjadi Menderita’, bapak itu membolak balikan lembaran koran, dan kembali lagi ke halaman depan. Ia mengerutkan dahi membaca judul sebesar itu tertera di muka koran. Ia mengira bapak itu sedang memikirkan sesuatu hal tentang tulisan yang terpampang jelas, atau memikirkan tentang berita yang dimuat koran dengan judul tersebut.

“Dik, saya ambil yang ini satu” katanya

“Terimakasih pak” jawab anak itu dengan senang karena dagangannya laku terbeli.

Akhirnya ia bisa membeli makan untuk mengisi perutnya yang sedari tadi merasa kelaparan. Barangkali dengan uang tiga ribu rupiah ia dapat menjajakan roti untuk mengganjal perut, dan sisanya ia dapat menyimpan bahkan menabung apabila suatu saat dibutuhkan untuk keperluan yang mendadak.

Sirene mobil SatPol PP terdengar dari kejauhan, bocah itu dengan buru-buru merapihkan koran-koran yang berserakan di pinggir jalan. Baru melangkah lima meter jauhnya ia sudah di tangkap petugas itu yang berlari dengan gesit.

Bocah malang itu diangkut layaknya gelandangan dan pengamen. Ia berseru dengan nada keras “Pak, saya hanya mencari uang tuk bertahan hidup pak, saya bukan pengemis!” ujarnya.

Tapi petugas itu berkata, “Nanti kau jelaskan dikantor saja nak,” sambil mengeratkan leher bocah itu di tangannya petugas. Bocah itu menangis sambil meronta-ronta untuk dilepaskan, alhasil ia dipaksa ke mobil oleh petugas tanpa pandang bulu.

Namun, kemalangan bocah itu seakan tiada habis-habisnya, penderitaan juga tiada berakhir oleh bocah kecil itu, seolah-olah kepedihan menyelimuti hati dan kehidupannya. Kini bocah itu dimasukan ke dalam Dinas Sosial oleh petugas Satpol PP. ***

 

Yogyakarta, 2018.

 

Dwitra Hanifi Ahnaf Photo Writer Dwitra Hanifi Ahnaf

penikmat kopi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya