[CERPEN] Dendam Bedugul

Bagaimana dendamku dapat kubalas dengan tuntas?

 

SORE ITU Bedugul dipukulin oleh kawan-kawannya. Ia menjerit-jerit merintih kesakitan. Secepat mungkin berlari tuk menghindari pukulan kawannya—melewati semak-semak hingga hampir terpleset di pinggir kali.

Setibanya di rumah ia mengadu kepada ayahnya. Menceritakan semua kejadian pertikaian itu. Lebih tepatnya kawan-kawanya yang memulai. Ia hanya menjadi korban bulan-bulanan saja dalam kasus pengeroyokan ini. Hingga tak seorang pun menghentikannya kecuali ia kabur dari kawanan pemukul yang memang suka menyiksa bocah yang lemah.

Semenjak itu kerap kali bocah itu murung tiada henti-hentinya.

**

“Tumben Bedugul tidak lewat sini?” ujar bocah yang berperawakan besar dan matanya lebar.

“Kita tunggu saja, sebentar lagi juga lewat,” timpal temannya yang setia bersamanya.

“Oke, kita lihat saja nanti,” ia masih geram tanpa sebab alih-alih sambil menatap tajam bocah kurus.

Seusai bermain layang-layang dipinggir sawah dengan hamparan yang hijau-kekuningan, mereka duduk dibangku usang yang hampir reot—yang terbuat dari kayu yang lapuk karena termakan oleh hujan.

Sambil menikmati es orson didalam plastik, bocah kurus yang berambut pendek menyeka ingus dilengan baju yang terlihat kumal. Mereka masih menanti-nanti Bedugul datang. Tapi yang di tunggu-tunggu tak datang juga.

Si gendut mulai murka, digenggam tangannya dengan kuat-kuat. Ia belum puas setelah sore kemari memukulinya habis-habisan. Bocah yang kuat akan terus-terusan menghabisi bocah yang lemah. Dan yang lemah dengan sukarela dan pasrah tanpa daya menerima begitu saja tanpa perlawanan. Tapi yang lemah bisa saja memberontak bila ada kesempatan yang tepat dan adanya celah dari si bocah gemuk.

Sore yang cerah membuat mereka berdua diliputi murka didalam batinnya. Bayangan dirinya dan pohon mulai menampakkan diri karena mentari hampir punah dari peredaran bumi hari itu. Burung-burung mulai berhamburan kesana-kemari mencari rumahnya. Padi yang hampir tertunduk dengan sopannya menghargai kedatangan gelap. Nampak dikejauhan para petani berbondong-bondong silih berganti pulang ke kediamannya.

Bocah-bocah itu tak bosan-bosannya menunggu, walau matahari hampir kembali ke peraduannya. Bedugul yang diliputi luka memar di mukanya telah di obati. Semalaman Bedugul tak bisa tidur sebab gerak kesana-kemari tetap saja merasa sakit di sisi kanan dan kiri mukanya. Hingga ia terlelap seusai azan berkumandang.

Sebelum tidur Bedugul berdoa pada Tuhan yang menciptakan Maha Kekuatan. “Ya, Tuhan berikanlah Bedugul kekuatan, agar bisa membalas dendam kepada teman-teman Bedugul,” akan tetapi entah doa itu terkabul atau tidak—itu urusan belakang, pikir Bedugul.

Barangkali doa ini tak terkabulkan sebab Bedugul meminta kekuatan hanya untuk dendam, dan Tuhan masih mempertimbangkan permintaannya karena  dengan embel-embel dendam. Sedangkan disisi lain Tuhan akan mendengarkan doa hambanya yang tertindas.

Bocah yang sedari tadi menunggu lawannya untuk disiksa tak datang juga. Dan mereka kembali dengan tangan hampa.

“Mungkin ia tak datang hari ini, besok kita kembali lagi,” keluhnya dengan kecewa.

“Kita tunggu besok di tempat ini, barangkali ia akan datang,” gerutu si gemuk dengan penuh sesal.

**

Ayah Bedugul sangat murka ketika anaknya pulang kerumah dengan muka babak belur. Ayahnya mencari siapa pelaku yang dengan tega-teganya menganiaya. Sesampainya di rumah, Bedugul diam saja tak sepatah kata pun melayang dari mulutnya.

“Siapa yang telah memukulimu, nak!” bentak ayahnya dengan rasa peduli.

“…” Ia tak menjawab sepatah kata pun.

“Jawab! Siapa yang tega melakukan hal demikian?” Ayahnya mulai naik darah ketika Bedugul diam saja.

“Mereka, Yah.”

Dengan bibir gemetar disertai air mata berderai Bedugul menunjuk ke arah dua bocah yang biasanya menunggu ia.

“Tunjukkan sama ayah, di mana mereka memukulimu hingga begini!” Ayahnya yang bekas pereman terminal, yang kini telah insaf menarik lengan kirinya Bedugul dan mereka berdua menemui dua bocah yang menyebabkan Bedugul babak belur.

Mereka berdua sudah menunggu Bedugul ditempat biasa. Bukan untuk memukuli tapi untuk dipukuli. Dari kejauhan mereka nampak gelisah. Mukanya pucat pasi karena tidak sesuai apa yang mereka harapkan.

“Bedugul membawa ayahnya kemari, pasti ia mengadu,” gemetar si bocah gemuk disekujur tubuhnya

“Kita harus bagaimana?” Ia berkata sambil menggigit bibir dan mengerutkan dahi. “Celakalah kita ini sekarang, habislah riwayat hidup kita,” si kurus mulai menampakan ketakutannya.

Si gemuk mulai menggigil di sekujur tubuhnya. Mereka pasti mengira akan membalas dendamnya. Dan kenyataan itu akan terjadi. Mereka tahu bahwa ayahnya adalah mantan pereman—cepat atau lambat mereka akan dihabisi.

Ayah Bedugul yang bergambar tato naga di lengan kirinya dan tato elang di lengan kanannya menandakan bahwa betapa jantannya lelaki yang telah menjadi ayah anak satu ini. Wajahnya yang mengalahkan hatinya membuat orang disekitarnya mewaspadainya.

Walaupun begitu ayah Bedugul berhati lembut. Lain persoalannya ketika ia terusik, hati lembutnya berubah seperti bongkahan batu kali yang keras dan hitam lebam. Tak pandang bulu siapapun yang berani mengusiknya maka ia akan menghajarnya.

Mereka menghampiri kedua bocah tersebut. Ditanyailah satu per satu siapa yang saban hari telah berlaku sedengki dan sekejam itu. Mereka berdua diam saja, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir tebalnya. Mereka berdua—bocah itu menggigil disertai keringat basah yang mengucur ditubuhnya saat ditanyai. Bedugul yang bersembunyi dibalik punggung ayahnya masih merasakan takut disertai trauma.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ayahnya menyeringai didepan kedua wajah bocah itu, lalu ayahnya berkata “Kalau kalian tidak mau mengaku…” Tiba-tiba bocah gemuk dengan penuh keberanian hati berkata “Saya yang melakukannya.” Dengan terpaksa ia mengaku sebelum dihabisi.

“Oh, ternyata kau!” Ayahnya menatap tajam bocah itu.

“Tidak hanya saya saja, dia juga,” menunjuk kearah temannya sambil menyeka keringat yang sebesar biji jagung diwajahnya.

Dengan begitu mereka mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya, namun Bedugul masih menyimpan dendam. Seakan Tuhan tiada mengabulkan doa yang mengindahkan Bedugul itu. Angin sepoi-sepoi membuat gesekan padi-padi disawah berbunyi ringan. Nampaknya alam pun membuat mereka berdamai dan saling berlapang dada.

**

Tiada yang tahu seseorang masih menyimpan rapih dendamnya didalam hati. Hingga suatu saat waktunya telah tiba. Waktunya tepat—sesuai rencana yang telah dicatat didalam pikirannya. Luka lamanya akan keluar secara tiba-tiba tapi pada kenyataannya belum terjadi.

Kini Bedugul menginjak usia dewasa. Perasaan lamanya masih membekas. Ia masih memikirkan balas dendam yang pernah dialami atas kekerasan pada musuhnya dimasa kecil dulu. Sementara itu dendamnya akan terbalaskan esok atau lusa nanti sebelum Bedugul mati. Yang terpenting dendamnya harus sudah terbayar lunas.

“Ya, aku harus membalas dendamnya, sebelum dendam itu pudar dimakan oleh waktu,” ujarnya.

Kini ia tak tahu dimana si gemuk dan kurus itu tinggal. Sudah hampir dua puluh tahun lamanya tak pernah bertemu. Bahkan mereka pun sudah pindah rumah semenjak tanah itu digusur oleh pemerintah. Dan Bedugul menempati rumah tidak jauh dari tempat lamanya. Hanya berjarak dua kilometer.

Bedugul yang kini tinggal bersama istrinya dan telah mendapatkan pekerjaan yang mapan, masih belum merasakan kebahagiaan. Masih ada sesuatu yang mengganjal hatinya. “Apalah arti sebuah hidup mewah jika aku belum menemukan sesuatu yang aku cari,” pikir Bedugul penuh ambisi.

Ayahnya telah lama meninggal dunia. Ia tidak mewarisi harta benda yang dimilikinya kepada anaknya. Hanya sebuah secarik kertas yang di tulis ayahnya dengan sebuah pesan yang hingga kini menjadi sebuah prinsip hidupnya.

Kata-kata itu bertuliskan:

‘seorang lelaki harus bersikap berani, bila ditindas hendaknya kau melawan’.

Pesan terakhir ayahnya yang membuat Bedugul menjadi seorang lelaki sejati—menjadi lelaki pemberani. Tapi ia selalu menimang-nimang pesan itu “Apakah ini sebuah prinsip untuk pegangan hidupku, ataukah ayah memotivasiku untuk membalas dendam. Aku ingat dulu karena perkara itu, hingga kini aku masih belum berdamai,” kata Bedugul dalam hatinya.

Lantas apa yang ingin Bedugul harapkan dari dua orang brengsek itu. Toh, juga Bedugul tidak mengetahui keberadaan mereka lagi sekarang.

**

Istri Bedugul telah pulang dari kerjanya. Ia adalah wanita karier yang bekerja menjadi marketing di sebuah perusahaan ternama. Selepas pulang kerja ia menunggu seperti biasanya di depan kantor—menunggu di jemput oleh suaminya.

Ia sudah mengabari Bedugul untuk menjemput tepat waktu sebelum matahari tenggelam. Akan tetapi Bedugul belum juga membalas pesan singkatnya. Dan juga belum datang untuk menjemput istrinya.

Istri Bedugul yang telah lama menunggu akhirnya ia menggunakan taksi untuk pulang. Ia menunggu taksi di pinggir jalan raya dekat dengan kantornya. Tapi ada dua orang yang mengintai istri Bedugul dari belakang. Taksi yang di tunggu pun belum lewat-lewat.

Akhirnya dua orang yang mengintai itu mendekati dan merampok istri Bedugul—mengancamnya ingin membunuh dengan sebilah pisau lipat. Lalu ia berteriak minta tolong. Salah satu orang perampok diantaranya itu mengarahkan pisaunya ke perut istri Bedugul.

“Jangan teriak kalau kau tak ingin mati!” Ancam perampok yang berbadan besar dan gemuk. Ia diam dan mematung serta mematuhi instruksi perampok itu. Istri Bedugul tidak melawan tapi perampok itu menyuruhnya untuk jalan ke sebuah gang yang kecil dan sepi.

Perampok itu memperkosa istri Bedugul dengan paksa. Ia pasrah, tidak bisa sekalipun melawan ataupun berteriak meminta pertolongan, sebab pisau lipat perampok masih mengancam bila tidak menuruti perintahnya. Perampok yang kurus disuruh mengamankan serta menjaga situasi di depan gang tersebut.

Tiba-tiba Bedugul datang ke kantor istrinya sore itu. Ia baru sempat melihat ponselnya lalu ia menanyai seorang satpam yang berjaga di pos jaga. Katanya, ia baru saja melihat istri Bedugul pulang sendiri ke arah jalan raya. Bedugul yang khawatir diliputi perasaan cemas langsung menelpon istrinya dan tidak ada jawaban darinya. Kemudian ia mencari istrinya ke arah yang dimaksud satpam tersebut.

Ketika ia mencari kemana-mana tak juga di dapat, akhirnya ia berjalan ke arah gang dan disana Bedugul melihat seorang kurus nampak seperti seorang pereman pasar. Seorang kurus yang sedang menjaga gang tersebut—matanya pun tetap berjaga.

Namun Bedugul menghampirinya lalu seperti ia teringat akan sesuatu didalam benak pikirannya. “Kau si kurus yang pernah...” tanyanya. “Iya, memangnya kenapa?” Jawab si kurus yang sedang berjaga. Akhirnya Bedugul mengetahui bahwa istrinya telah diperkosa ia sangat murka. Selain ia murka karena istrinya di perkosa oleh dua manusia yang dicarinya, ia pun murka akan masa lalunya.

Tanpa sepatah kata, Bedugul yang menyimpan hasrat dendam akhirnya menghabisi si kurus dan si gemuk. Ia mengambil pisau yang terlempar dari tangannya si gemuk karena perkelahian. Dengan membabi buta karena amarah dan dendamnya ia menusuk perut kedua perampok itu.

Istrinya yang sambil menangis berkata, “Sudah, sayang..sudah..!”

Darah yang berceceran di mana-mana, juga di baju Bedugul. Ia mendengar teriakan istrinya dan menghentikan pertikaian itu. Dalam hatinya ia berkata penuh bangga. “Akhirnya dendamku dapat terwujud.”

Sementara itu Bedugul dapat membalas dendamnya. Akan tetapi ia dijerat hukuman 20 tahun penjara bahkan diancam hukuman mati oleh pengadilan.***

 

Blandongan, 2018

 

 

Dwitra Hanifi Ahnaf Photo Writer Dwitra Hanifi Ahnaf

penikmat kopi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya