[CERPEN] Kisah Seorang Anak yang Keluar dari Rumah

Kemana lagi aku harus mencarinya?

ANAK itu lari bukan kepalang di bawah terik sinar mentari pagi. Dikejar-kejar oleh masalah hidup yang menghantuinya. Kemana pun ia berlari dari kenyataan tetap saja ada yang mengikutinya. Secepat kilat ia bersembunyi agar tidak ada yang tahu.

Di bawah jembatan kota tua, bersembunyi di dalam karung goni, di dalam lemari es yang sudah rusak, hingga di balik pohon yang rindang. Celakanya setiap kali ia bersembunyi di bawah pohon yang rindang selalu saja burung-burung sialan itu buang hajat di atas kepalanya. Burung-burung yang buang hajat di atas kepalanya biasanya burung yang keluar dari sangkarnya dan tidak betah buang hajat di rumahnya sendiri. Sebab di sangkarnya sendiri banyak hajat yang belum dibersihkan. Ada saja gangguan ketika ia bersembunyi di mana pun dan kapan pun.

Klakson-klakson kendaraan bermesin yang tidak pernah ramah lingkungan di jalan raya membuat bising kupingnya sendiri. Tak pernah sedikit pun ia merasa tenang dengan hidupnya. Koran-koran bekas yang memberitakan kriminal hingga informasi tentang korupsi yang kotor dinegara ini menjadi alas tidur sehari-hari di emperan toko. Setiap hari ia selalu saja berpindah-pindah tempat. Dari toko sembako, depan ruko kosong yang belum laku terjual, toko perabotan rumah tangga hingga kantor Dinas Sosial pernah ia singgahi. Pernah suatu ketika ia bermalam hingga datang sang fajar hari. Tepatnya didepan toko minimarket. Dengan paksanya ia diusir secara kasar oleh petugas keamanan minimarket.

Anak itu bukan pengemis, pengamen, maupun gelandangan kotor. Ia hanya ingin mencari kenyamanan di luar rumah. Mengusir keresahan hidupnya yang kerap kali selalu dihantui bahkan diikuti setiap saat. Bahkan petugas sialan itu pun mengikuti dan menambah bebah hidupnya. Seketika dengan jurus silat yang pernah diajarkan ketika masuk padepokan ia lawan petugas. Menangkis pukulan petugas. Menghindar serangan petugas. Hingga akhirnya ia babak belur disekujur tubuhnya karena postur tubuhnya tidak sebanding dengan lawannya.

**

Senja tampak kemerahan di ufuk barat semburatnya di bawah garis cakrawala. Sejak sepuluh tahun yang lalu ia tak pernah bertemu ibunya. Ia pernah menghubungi ayahnya dengan menggunakan telepon koin biasa di pinggiran jalan. Percakapan itu berujung konflik. Ayahnya memarahi habis-habisan karena tidak pernah pulang ke rumah. Ia mencari ibunya yang minggat sebab dipukuli ayahnya ketika masa kanak-kanak hingga membuat ia menderita beban pikiran.

Dan akhirnya ia minggat untuk mencari ibunya dengan tekanan batin. Alih-alih ia sering di perlakukan seperti orang gila dan diberi stigma buruk oleh orang awam. Banyak yang menjauhi dirinya dari kehidupan sosial. Hingga ia saat ini tak memiliki tempat tinggal yang tetap. Hidup yang nomaden membuat dirinya harus berlama-lama tinggal di luar rumah dan tidak akan pernah kembali lagi kerumah. Ketidaknyamanan dan ketidakbahagiaan membuat ia harus tetap kuat dan tegar menjalani hidup di jalanan.

**

Garis waktu yang telah mempertemukan ia dengan keberuntungan di setiap kesempatan. Peristiwa-peristiwa yang telah ia alami dengan sukar. Takdir baik yang selalu Tuhan berikan kepada anak malang itu, serta alam semesta yang telah mendukung ia tetap berjuang dan tak pernah patah arang. Jalan-jalan yang terjal dan duri yang menusuk kakinya telah ia lalui untuk mencari kebahagiaan dalam mempertemukan ia dengan ibunya. Ia berharap bisa meneteskan air mata bahagianya dihadapan ibunya.

Pernah ia berpikir untuk membelikan baju baru untuk ibunya agar terlihat gembira hati dan tersenyum. Tapi semua pikiran itu pupus sudah terbawa angin menuju lautan dan pecah bersama ombak. Ia sangat rindu sekali untuk bertemu. Bukan soal rindu kepada kekasihnya seperti anak muda pada umumnya. Bukan soal kasih sayang yang mudah pudar dan sirna terhadap pacarnya. Tapi ia memikirkan soal surga yang berada dibawah telapak kaki ibunya. Soal kasih sayang yang pernah diciptakan ibunya ketika di dekapan hangat ibunya.

Semasa kecil dulu, sebelum ia tidur selalu didongengi di bawah sinar rembulan di kamar tidurnya. Dimandikan menjelang sore seusai bermain di sawah. Dipakaikan seragam sebelum berangkat sekolah. Yang terakhir yang ia ingat sebelum ibunya pergi minggat adalah ibunya berpesan sebelum menjelang tidur. Pesan itu yang selalu melekat di ingatannya. Dan kasih sayang ibu yang menyertainya melekat di dalam dada. Pesan itu begini:

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Nak, ibu sangat menyayangimu, jaga dirimu baik-baik ya," lalu ia terdiam sejenak dan sambil meneteskan air mata kemudian berkata, “juga jaga ayahmu.”

"Minggat!!!" Teriak ayah kepada ibunya yang hampir sempoyongan.

"Ibu, mau kemana Bu? Jangan tinggalkan Budi. Budi takut."

"Diam bocah tengik! Tidak usah ikut campur urusan ayah dan ibu!"

"Tapi Budi takut, Bu," ujar bocah itu dengan isak tangisnya.

Sebelum meninggalkan rumah, ayah memukuli ibu hingga lebam di sekujur tubuhnya. Ia tak melawan dan pasrah begitu saja. Ibunya lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan kebahagiaan yang dulu. Meninggalkan tanggung jawab rumah. Dan meninggalkan pesan terakhir yang belum usai kepada anaknya.

Ayahnya yang suka mabuk-mabukan dan berjudi yang membuat rumah tangganya retak. Setiap hari. Setiap malam. Hanya memukuli istrinya ketika tiba di rumah. Lalu minggat lagi dan berjudi. Kerjaannya memang begitu, sampai tetangga samping rumah paham dengan kesehariannya. Perabotan rumah yang mulai habis terjual, memicu perselisihan dengan istrinya. Akibatnya ia tidak dapat membayar hutang pada teman judinya. Semakin hari semakin tempramental ayahnya. Hingga ayahnya berorientasi atas candunya itu.

Ayahnya tak pernah bekerja selain berjudi, berjudi dan berjudi.

**

Ia tak tahu ibunya pergi ke mana dan sedang berada di mana. Yang ia tahu adalah ibunya meninggalkan ia ketika masih kecil. Meninggalkan pesan terakhir bahwa ibunya akan pergi untuk selama-lamanya. Lalu ia tak pernah bertemu setelah sekian lama mencarinya. Perasaannya yang terluka yang membuat ia selalu diliputi perasaan serba salah. Perasaan itu yang selalu memburunya.

Kini anak itu pasrah dengan segala keadaannya. Segala keterpurukannya ia serahkan dengan sehimpun akar pohon beringin yang menggantung. Dibawah pohon beringin ia pandangi sekumpulan burung gagak. Burung-burung yang biasanya buang hajat dikepala bocah itu kini menahan buang hajatnya seketika. Lalu burung-burung itu menyaksikan akhir dari cerita bocah yang malang. Sementara, burung gagak itu pergi dengan pekikan yang melengking hingga terdengar oleh telinganya.***

 

Dwitra Hanifi Ahnaf Photo Writer Dwitra Hanifi Ahnaf

penikmat kopi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya