[CERPEN] Kaki-Kaki Istimewa

Tuhan tak pernah salah mencipta

 

Matahari yang perlahan terbit di ufuk timur mulai memendarkan cahaya keemasannya ke atas tubuh tegapku. Hangatnya dengan cepat merayap ke seluruh bagian tubuhku. Aku tetap berdiri diam di tempatku berada. Bersiap menyaksikan roda kehidupan hari ini. Seperti hari-hari lalu.

Satu menit lagi Bapak pedagang koran akan datang dengan setumpuk surat kabarnya yang rangkaian beritanya tak pernah bisa kubaca hingga tuntas. Bapak penjaja koran ini istimewa sekali bagiku. Dia berbeda dengan sesamanya. Seharusnya dia berdiri diatas dua kaki seperti yang lainnya, tapi yang aku tahu, sejak awal si Bapak bergerak dengan dua setengah kaki. Satu kaki normal, setengah kaki yang terlihat menggantung, dan satu kaki yang ukurannya lebih panjang hingga bisa ia jepit di bawah lengannya. Anehnya lagi, kaki itu bisa ia lepas dan pasang kembali dengan mudahnya.

Nah itu dia si Bapak istimewa datang. Ah, gembira sekali aku melihat wajahnya yang penuh semangat itu. Sayangnya aku tidak bisa melompat gembira karena kakiku yang tertanam kuat di atas aspal padat ini. Kutatap lekat-lekat bagaimana Bapak dengan lincah menata surat kabar yang berbeda-beda jenisnya ke atas lengannya. Tetap ku perhatikan bagaimana Bapak menumpuk surat kabarnya dengan rapi di atas rumput pembatas jalan. Tepat di sampingku.

Satu dua kendaraan mulai berdatangan ke sekitar kami. Bapak mulai bergerak lincah dengan sedikit melompat-lompat dari sisi ke sisi di sekitar deretan kendaraan itu. Bergidik rasanya aku melihat senyum Bapak yang tidak pernah berhenti merekah.

"Koran, Pak? Bu? Mas? Mulai seribu rupiah saja." Kalimat berulang Bapak lebih terdengar seperti lagu untukku. Melodi yang lebih indah dari kicau burung gereja yang sering bertengger di puncak kepalaku. Aku terus menjadi pendengar dan penonton setia Bapak. Masih dari tempatku berada. Tenang, Pak! Saya yang menjaga dagangan Bapak dari tepi jalan ini.

Tubuhku mulai terasa panas. Kulirik posisi matahari yang rupanya sudah sedikit condong ke arah barat. Ah, hari sudah lewat siang ternyata. Kulihat Bapak yang masih tetap menari lincah di antara kepulan asap kendaran. Rupanya Bapak sudah menambahkan topi caping di atas kepalanya. Kulihat sesekali Bapak menyeka peluh yang mengucur di dahi dan lehernya. Bapak terlihat lelah, tapi senyum Bapak masih tetap disana. Tersungging ke arah kanan dan kiri pipinya.

Kulihat Bapak pelan-pelan menepi menghampiriku. Dilepasnya satu kaki dari tubuhnya dan Bapak sandarkan ke tubuhku. Bapak menghela nafas sembari mengibaskan topi caping ke tubuhnya. Bapak mendongak menatapku lalu terkekeh.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Terima kasih ya! Kamu masih setia jadi teman sekaligus pelindungku. Ah, segar sekali berada di dekatmu," puji Bapak padaku. Kugoyangkan sedikit ujung-ujung jemariku sebagai tanda setuju. Bapak makin terkekeh.

Kubiarkan Bapak beristirahat dan menyantap sebungkus nasi bekal yang ia bawa sedari pagi. Hari ini lauknya kerupuk, ikan asin, dan sayur tauge. Wajah Bapak tampaknya senang. Mungkin rasanya enak. Entahlah karena aku sendiri tidak tahu seperti apa rasanya.

Angin bertiup menggelitik puncak kepalaku. Mengalirkan kesejukan ke sekeliling area kami. Bapak sepertinya ikut terbuai. Ia sandarkan tubuhnya padaku sebelum terlelap beberapa menit kemudian. Wajah Bapak tampak sangat damai. Aku senang memperhatikan garis-garis di wajah Bapak yang tampak semakin jelas dari hari ke hari. Helai-helai rambut Bapak pun makin banyak yang memutih meski masih menutup sempurna kulit kepala Bapak.

Satu jam berlalu. Matahari makin condong ke arah barat. Kulirik tumpukan dagangan Bapak. Masih ada setumpuk koran lagi. Kubujuk angin untuk kembali bermain di sekitarku. Aku ingin mengundang beberapa orang mendekat dan berteduh di sekitarku. Siapa tahu mereka tertarik membeli dagangan Bapak.

Ketika matahari sepenuhnya menghilang di ufuk barat, kulihat Bapak merapikan sisa sedikit dari dagangannya hari ini. Bapak tersenyum gembira saat menghitung tumpukan kertas berukuran kecil dan beberapa keping logam di balik saku celananya.

"Alhamdulillah. Allah maha baik." Bapak mengedarkan pandangannya ke penjuru jalanan yang mulai sepi. Bapak kembali mendongak menatapku. Ditepuknya lembut kakiku.

"Kawan, aku pulang dulu ya! Semoga malam ini tidak ada lagi yang mengusikmu dengan tumpukan sampah ataupun berbagai brosur yang menusuk tubuhmu ya. Besok aku kembali lagi, kawan!" Bapak menepuk kakiku sekali lagi lalu perlahan berjalan pergi dengan tertatih.

Kupandang kawan spesialku ini menghilang ke balik gapura gang sempit di ujung jalan. Penjaja koran tua dengan semangat dan gairah yang tak turut menua. Pria dengan senyuman paling cerah. Si Bapak dengan kaki istimewa.

 

Dian Lestari Wilianingtyas Photo Verified Writer Dian Lestari Wilianingtyas

Numpang nulis buat lepas penat.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya