[CERPEN] Berdamai Dengan Perlakuan Tak Acuh

Cukup tempat dan waktu yang berjarak, hatimu jangan

Jam masih berdetak teratur, seperti menalu tepat di titik cemasku. Aku masih menunggu. Satu saja pesan. Satu saja berita. Ku ketuk berulang layar handphone, berharap itu bisa memanggilmu untuk segera membalas pesanku.

Kemarin lalu jariku masih berani menari, menekan tuts-tuts digital sembari bercerita tentang hariku, aktivitasku, dan tentang semua berita yang kurasa kau anggap penting. Aku terbiasa menunggu balas di antara tuntutan pengertian akan jarak dan waktu. Singkat pun tak apa. Tapi ada, itu sudah bisa mencipta senyum untukku.

Sedikit perubahan yang aku abaikan, hari ke hari. Kuantitas. Barangkali aku lupa berhitung, sudah seberapa banyak kata-kata kita saling bercengkrama hari ini. Aku hanya terlalu gembira menemukan foto dan namamu muncul di kotak pesanku. Aku lupa menyadari singkatnya waktu yang terpakai atau singkatnya kata-katamu yang kuserap dalam memori.

Suatu saat, tanpa ada rasa siap, aku bertubi seolah menerima serbuan amarah. Aku sesak seolah lupa cara untuk bernafas: apa yang salah? Dengan lugas bahasamu memintaku berhenti. Katamu kita sudah tak pantas untuk bersama karena status. Klise. Jariku balas menari dengan hentak redup, aku mengurai awal mula cerita: alasan dan tujuan bersama. Rupanya hari itu hati dan logikamu beku. Aku tutup cerita hari itu dengan janji yang tak berubah sedikit pun: aku akan tetap menjaga mimpi bersama kita.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku sedikit berjalan mundur ke belakang. Aku coba memberimu ruang untuk bernafas. Satu hari. Dua hari. Sekian hari. Aku menunggu dengan berbagai pikiran yang bergerak liar. Aku terbiasa menunggu. Aku sudah berkawan baik dengan jarak dan waktu, tapi aku belum kenal dengan ketidakacuhanmu. Siapa aku? Kenapa aku harus mengenalnya? Bukankah sejauh ini kita sudah cukup berjibaku dengan jauhnya jarak dan waktu? Kenapa harus ada ketidakacuhan disini?

Aku mengalah, aku mulai kembali bergerak lambat ke arahmu. Mencari alasan. Itu saja. Kau masih bergeming. Menolak dengan diam. Tonggak patah, aku kehilangan keseimbangan. Aku tilik kembali semua cerita silam. Hitam putih. Kemana semua warna pergi?

Sesuatu menarikku kuat. Menenggelamkanku entah kemana. Sesaat semua samar. Aku termenung melihatmu perlahan berdiri dan menghilang. Tanpa credit apapun layaknya kisah-kisah layar lebar. Ah, mungkin akan ada sekuel kedua. Aku berkata lebih ke titik cemas dalam hatiku. Satu kali. Dua kali. Setiap detik.

Aku masih tetap dengan janji yang sama: aku akan tetap menjaga mimpi bersama kita.

Dian Lestari Wilianingtyas Photo Verified Writer Dian Lestari Wilianingtyas

Numpang nulis buat lepas penat.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya