[CERPEN] WALDEN TWO: Degupan Pertama Di Bandara

Ia benci musim semi. Seakan taman, jalan-jalan, bahkan seluruh kota dijejali perasaan cinta yang tidak tergapai olehnya.

 

Sebuah surat datang pagi ini. Seperti biasa, melayang sendiri dengan anggunnya, tanpa pengantar. Rasa bergidik horor, takjub, sekaligus indah selalu bercampur di benakku tiap kali surat itu datang. “Begitu canggih...namun juga begitu klasik” pikirku. Aku membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat selembar kertas kosong dan botol kecil berisi serbuk berwarna perak. Kertas kosong itu, tanpa tulisan, namun penuh dengan informasi. Cukup dengan menatapnya beberapa detik, ia akan seolah memberi informasi serta komando pada seluruh tubuhku tentang misi hari ini.

Baik. Aku mengerti. Misi hari ini,  tujuan: Bandara di Kota A, Gate 7, pukul 15.00. Targetnya adalah seorang wanita bernama Binar Tjahaja berusia 30 tahun, pewaris utama keluarga konglomerat Sucipto. Pada waktu yang ditentukan aku harus menebarkan serbuk keperakan ini di atas Binar. Dosis disesuaikan dengan kondisi target.

“Wah...serbuk perak...” gumamku. Helper yang bertugas di DAP (Divisi Asmara dan Perpisahan) secara umum bertugas menebarkan serbuk-serbuk tertentu demi terjadinya, berlangsungnya, sampai berakhirnya sebuah jalinan asmara. Yah...kurang lebih kami ini mirip dengan peri cinta yang sering diimajinasikan orang-orang. Ada banyak sekali jenis serbuk. Serbuk warna perak yang berada di tanganku saat ini, adalah serbuk degupan. Sebagaimana namanya, ketika serbuk ini ditaburkan, ia akan memicu jantung target berdegup lebih kencang dari normal selama beberapa saat. Namun tidak setiap saat ketika seseorang jantungnya berdegup lebih cepat maka berarti helper sedang berada disana dan menebarkan serbuk perak. Kami hanya menebarkan serbuk perak pada ‘momen penting’. Momen yang akan menandai bagaimana suatu perasaan cinta akan tumbuh dan bersemi. Jadi... serbuk perak akan memicu degupan cinta pertama dari sebuah kisah asmara.

“Hari ini seseorang akan mengawali kisah cintanya” tanpa sadar aku tersenyum simpul. Betapa hari yang cerah untuk jatuh cinta!. Sebaiknya aku bergegas untuk menjelang kisah manis hari ini.

Tidak perlu lama. Cukup sekejap mata saja, aku sudah berada di samping target, Binar Tjahaja. Seperti gambaran dirinya yang terlintas sebelumnya, ia memang gadis yang anggun selayaknya bangsawan. Mengenakan setelan kerja bernuansa abu-abu putih, ia sungguh nampak cantik. Kakinya yang jenjang di balik celana panjangnya sungguh menjadi daya tarik tersendiri dari penampilannya. Sepintas ia lebih cocok menjadi model dibanding pekerja kantoran.

Binar menyibakkan rambut hitamnya yang menjuntai sebahu. Wajahnya nampak kelelahan dan kurang tidur. Ia menarik nafas panjang...begitu dalam...beberapa kali. Aku rasa ini bukan pertanda baik. Apakah dia kelelahan? Ataukah dia sedang menanggung beban tertentu? Apakah ini hari yang tepat untuk membuat ia berdebar jatuh cinta?

Binar membuka map hitam yang sedari tadi dipeluknya. Aku menatap  isinya dengan penuh minat. ‘Surat Perceraian’ begitu tulisan besar di bagian kepala surat. Surat Perceraian? Ia akan bercerai? Aku kira dia akan jatuh cinta hari ini. Apa dia akan bercerai sekaligus jatuh cinta hari ini?

Whuaaa.... benar-benar situasi yang membuatku heran. Ah... kenapa aku tidak menatap surat tugasku lebih lama. Mungkin saja ada informasi lebih lanjut tentang ini. Ck... sebenernya aku tidak harus tahu tentang situasinya saat ini, namun aku sungguh penasaran. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Tatanan kehidupan Binar dapat rusak. Aaahh...aku sungguh penasaran.

Aku kemudian berjongkok di hadapan Binar, menatap ke dalam matanya, mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi.

Setelah beberapa saat. “Oh...ternyata begitu...”. Aku membelai rambutnya pelan. Binar tentu saja tidak dapat merasakannya. Akan tetapi aku sungguh kasihan padanya. Tujuh tahun yang lalu, Binar menikah dengan cucu dari adik bungsu kakeknya, alias sepupu jauhnya, Andalan Sucipto. Pernikahan itu dilangsungkan atas dasar bisnis. Alan, nama kecil Andalan, saat itu kehilangan ayah dan ibunya secara beruntut dalam kurun waktu dua tahun. Kakek Binar dan Kakek Alan menyadari kondisi Alan kurang menguntungkan karena ia tidak lagi memiliki wali. Sedangkan kakek Binar maupun Kakek Alan dalam usia lanjut. Tidak ada solusi yang lebih baik saat itu yang terbesit di pikiran keduanya selain dengan menikahkan Alan dan Binar. Orang tua binar tidak dapat berkata apa-apa saat itu karena mereka pun menyadari situasi yang sedang terjadi. Dan akhirnya pernikahan itu terjadi.

Setelah menikah, Alan melanjutkan studinya di luar negeri karena memang saat itu ia baru saja lulus SMA. Sedangkan Binar, yang terpaut usia 5 tahun lebih tua, mulai bekerja di perusahaan kakeknya, menjaga posisi yang akan diwarisi Alan. Keduanya sangat jarang bertemu kecuali liburan singkat Alan 3 tahun lalu. Meskipun komunikasi tidak langsung cukup teratur melalui SMS, namun hanya sebatas interaksi layaknya kakak dan adik.

Tujuh tahun berlalu dengan keadaan seperti itu. Sebulan yang lalu, Binar membulatkan tekad untuk bercerai. Binar rasa inilah saat yang tepat setelah menahan sekian lama. Alan sudah berusia 25 tahun dan kini sudah menyelesaikan semua studinya. Ia sudah siap untuk menempati posisinya. Perceraian tidak akan terlalu memengaruhi kedudukannya. Binar sudah mengantisipasi segala hal yang dapat merugikan Alan.

Setelah sekian lama, Binar ingin memulai hidup baru. Ia ingin lepas dari pernikahan bisnisnya, ia ingin bebas dari pernikahan canggungnya. Binar ingin seperti teman-temannya yang lain. Jatuh cinta, menikah juga memiliki anak. Memulai sebuah keluarga yang sebenarnya sebagaimana yang dilakukan orang tuanya adalah keinginan yang ia tahan begitu kuat selama ini.

Beberapa tahun belakangan, akun-akun media sosialnya selalu disesaki foto-foto teman-temannya yang membagikan momen bahagia pernikahan, kehamilan, sampai persalinan. Apalah daya Binar, ia hanya dapat membenci semua kebahagiaan yang tidak dapat ia tiru kemudian mematikan ponselnya. Ketika memikirkan tentang Alan, Binar merasa tidak ada harapan bagi mereka berdua untuk menjalani pernikahan yang normal dan bahagia. Alan selalu menunjukkan rasa hormatnya kepada Binar sebagai kakak sepupunya bahkan ketika Binar telah menjadi istrinya. Memang bukan salah Alan dan tidak akan pernah bisa Alan disalahkan. Kenyataan yang tidak akan berubah adalah Alan lahir 5 tahun kemudian setelah Binar. Angka 5 cukup membuat jarak kedewasaan yang berarti di antara keduanya.

Binar menyenderkan kepalanya ke dinding, menengadah, menatap langit biru yang demikian cerah di musim semi. Ia benci musim semi. Suasana musim semi adalah suasana yang sempurna untuk membuat adegan-adegan penuh romansa. Seakan taman, jalan-jalan, bahkan seluruh kota dijejali perasaan cinta yang tidak tergapai oleh Binar. Seolah semua orang berpasangan kecuali Binar. Ia seakan akan terbunuh oleh rasa iri sepanjang musim semi.

Tiba-tiba terdengar pemberitahuan bahwa pesawat dari Negara Y telah mendarat. Lamunan Binar terpecah. Ia segera berdiri merapikan bajunya dan membenahi posisi mapnya. Aku pun ikut berdiri di sebelahnya, menanti dengan cemas apa yang akan terjadi setelah ini. Binar mengamati dengan seksama satu demi satu pria yang muncul dari gerbang kedatangan. Matanya dengan hati-hati memilah sosok pria berusia 25 tahun. “Kemungkinan Alan memakai singlet hitam dan jeans belelnya dengan kemeja kotak-kotak yang diikatkan di pinggang seperti liburan tiga tahun lalu” pikir Binar.

Aku melihat matahari. Pukul 15.00 masih kurang 15 menit lagi.

Binar tidak melepaskan pandangannya dari gerbang kedatangan. Akan tetapi hingga sepi lalu lalang penumpang yang keluar dari gerbang kedatangan, Binar tidak juga menemukan sosok yang dicarinya. “Apa Alan tidak jadi datang hari ini?” Pikirnya.

Tanpa terduga, sebuah tepukan dari belakang mendarat di bahu Binar. “Binar?” sebuah suara khas seorang pria dewasa terdengar memanggilnya. Binar berbalik. Apa yang didapatinya benar-benar membuat jantungnya serasa akan copot. Di hadapannya kini, berdiri seorang pria yang lebih tinggi sejengkal darinya, dalam balutan kemeja dan jas yang serasi dengan celana panjang serta sepatu pantovel. Rambutnya disisir rapi dengan gaya yang sungguh menunjukkan kharismanya. Priaitu tersenyum dengan cerahnya menatap Binar. Binar sampai lupa bernafas selama beberapa saat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Binar...,” panggil pria itu. “Heh...A...Alan kan?” Tanya Binar dengan tergagap-gagap. “Iya. Siapa lagi?” jawabnya dengan setengah terkekeh mendengar pertanyaan lucu Binar.

“Sejak kapan, kamu setinggi ini?” tanya Binar lagi. “Sudah sejak liburan tiga tahun lalu, Binar tidak ingat?” Jawabnya. Entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulut Alan membuat Binar sulit bernafas. Terlebih tiap Alan menyebut nama Binar. Rasanya sungguh tidak biasa. Binar menatap Alan dengan risih. “Sejak kapan kamu memanggilku tanpa embel-embel kak?” Binar membatin.

Alan terus memandangi Binar lekat-lekat dengan senyum polosnya yang sungguh-sungguh membuat Binar salah tingkah. “Ini” Binar menyodorkan map hitam. “Pak supir sudah menunggu, kamu pulang dengan mobilku saja, Lan. Aku mau liburan dulu. Setelah ini aku akan naik bis ke desa ibu. Tolong tanda tangani lembaran dalam map ini. Jika ada yang tidak kamu mengerti. Kamu bisa telpon Pengacara keluarga atau aku lima hari lagi. Aku benar-benar ingin istirahat, jadi hape akan  ku matikan selama beberapa hari. Ok?”

Alan membuka map itu dan nampak membatu. “Aku pergi duluan kalau gitu,” pamit Binar. Binar melangkah pergi, namun tangan Alan menggapainya.

Triring ring ring!!!!!!!!!!

Lonceng gelangku berdering. Waktunya telah tiba! Aku melayang ke atas Binar dan menaburkan bubuk perak. Ah...jadi inilah momen degupan pertama itu.

Deg! Deg! Deg! Tangan Alan yang kini menggenggam tangan Binar, sungguh asing rasanya, seperti pria dewasa. Adik sepupunya yang sejak dahulu bergantung padanya kini telah tumbuh besar hingga menghadirkan perasaan yang sama sekali tidak biasa. Perasaan binar menjadi kacau.

 “Apa maksudnya ini, Binar?” tanya Alan. Sorot matanya yang semula lembut berganti dengan sorot mata yang tajam. Binar menggenggam balik tangan Alan dengan kedua tangannya. “Alan...kamu sekarang tidak akan kekurangan sesuatu apapun lagi. Posisimu telah ajeg. Kamu juga sudah cakap sekarang. Aku sudah mendiskusikan hal ini dengan pengacara, perceraian ini tidak akan menimbulkan efek negatif yang cukup berarti bagimu,” jelas Binar.

Alan tertunduk sesaat, “Binar...apa maksudnya ini?” Alan mengulangi pertanyaannya lagi. “Ini adalah momen yang tepat, bagi kamu juga bagi aku untuk memulai hidup baru. Pernikahan kita tidak lagi dibutuhkan. Amanah kakek sudah berhasil ditunaikan. Kita berhak untuk mendapatkan lagi kebebasan kita."

Tangan Alan melepas genggaman Binar, lalu memegang kedua bahu Binar. “Binar...tolong jelaskan apa maksudnya?”untuk ketiga kalinya Alan melontarkan pertanyaan yang sama. Air mata Binar mulai meleleh, “Lan...aku hanya wanita biasa. Aku berusaha bertahan semampuku. Namun, aku hanya sanggup sejauh ini. Aku juga ingin menikah, Lan”.

“Baiklah...mari kita menikah lagi,” ucap Alan.

Deg deg deg! Degupan keras kedua terjadi!

Binar tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Hah?”.

“Mari kita menikah lagi Binar...kali ini dengan benar,” ujar Alan.

“Alan.... Jangan bercanda! Aku tidak ingin lagi mengulang pernikahan yang seperti ini! Aku ingin jatuh cinta, kemudian menikah, dan memiliki anak...sesuatu yang benar-benar berbeda dari pernikahan yang kini kita jalani."

Alan merengkuh Binar lalu menenggelamkannya dalam dekapan yang amat erat. “Kalau begitu berikan aku kesempatan untuk mewujudkan itu semua. Ku akui aku terlambat untuk menggapaimu sebagai seorang pria dewasa, Binar. Namun percayalah, aku telah banyak berlatih untuk pantas berada di sisimu saat ini. Bagaimana aku dapat menangani hatiku jika kita tiba-tiba berpisah seperti ini?”

Deg deg deg! Degupan keras kembali terdengar! Kali ini bukan hanya jantung Binar yang berdenyut tak karuan, namun juga jantung Alan.

“Aku tidak mau kehilangan kamu. Aku mencintai kamu” ucapan Alan mengunci niat bercerai Binar dalam pelukan hangatnya.

Sebuah benih cinta disemai di hari ini, di tengah musim semi yang berkilauan, dan kali ini cinta itu milik Binar.

Mission Complete!

 

Froscentalavya Photo Writer Froscentalavya

Write passionately

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya