[CERPEN] Kereta senja

Aku menunggumu jauh disini

Matahari mulai menghilang dari pandanganku ketika aku menyusuri jalan setapak dekat rumah. Gelap, dingin, dan menakutkan. Hal biasa yang tiap hari kujalani sehabis pulang dari tempatku bekerja, warung Mbok Inung. Tak sampai aku menginjak halaman rumah, aku sudah di panggil seseorang dari kejauhan. Ahh.. orang ini lagi.
“ Mira..!!”

Hanya tolehan dan senyum kecil yang ku beri. Malas sekali aku mendatanginya. Pasti ia akan bertanya hal yang sama. Ia mendatangiku. Dengan gaya congkaknya, rokok dengan asap mengepul, baju dengan bagian dada sedikit terbuka, seperti Elvis Presley, kalung emas melingkar di lehernya yang pendek. Juragan Juri.

“Mira.. makin hari makin cantik saja kau. Tak inginkah engkau mencari pasangan ?”

“ Saya masih muda juragan. Nanti saja. Kalau pekerjaan saya sudah baik, saya akan mencari pasangan.”

“ Ahh.. kau ini. Buat apa aku dilahirkan kalau tidak untuk menjadi jodohmu ? Hah ?”

“ Maaf juragan, saya punya banyak pekerjaan. Besok saja kita lanjutkan perbincangan ini.”

Segeralah aku masuk rumah. Ibu sudah duduk menunggu di kursi ruang tamu.

“ Juragan Juri ?”

“ Iya.”

“ Kenapa? “

“ Sama.”

“ Terima saja. Kapan lagi dapat orang sekaya Juragan Juri.”

“ Dikasih apa lagi ibu sama Juragan Juri?”

“ Di kasih?”

“ Kemarin ibu di kasih sembako, kan?”

“ Itu buatmu. Bukan buat Ibu.”

“ Buang saja.”

“ Buang ? jangan sok kamu, Mir ! Kita orang kere pake’ acara mau buang sembako.”

“ Terserah ibu saja.”

Seketika aku menghindari perdebatan yang hampir terjadi antara aku dan ibu dengan masuk ke kamarku. Kami hanya tinggal berdua. Bapak, sudah meninggal 18 tahun lalu. Kakak laki-lakiku, Bang Rozak, sudah tak ada kabarnya setelah ia merantau ke Riau 4 tahun lalu. Aku hanya bisa mengelus dada ketika ibu sudah mulai berbicara tentang perkawinan. Apalagi dengan Juragan Juri. Sudah punya istri 3, masih saja ingin menikahiku. Tapi aku akan tetap pada pendirianku, aku belum ingin menikah.

“ Mir..Miraa..!!” teriak Ibuku dengan kerasnya.

“ Apa bu ? baru saja aku pulang, jangan ajak Mira bertengkar lagi.”

“ Ada tamu.”

“ Siapa ? kalau Juragan Juri lagi, bilang Mira sudah tidur.”

“ Bukan. Si pengangguran datang..”

Siapa lagi orang yang paling tidak disukai ibu di kampung ini, kalau bukan Mas Aryo. Laki-laki yang kusukai sejak SMA. Segera aku keluar dari kamarku.

“ Ibu jangan panggil Mas Aryo pengangguran. Nggak enak, Bu.”

“ Kenyataannya?”

“ Iya. Tapi jangan ada orangnya. Mira ke depan dulu.”

Rasanya apa saja yang kulakukan selalu saja membuatku dan Ibu hampir bertengkar. Kami memang tidak pernah sejalan.
“ Mira.. maaf mengganggumu malam-malam. Aku hanya ingin bicara padamu sebentar saja. Besok, aku sudah tidak disini lagi.”

Aku hanya bisa diam dan aku seperti mati rasa mendengar kata-kata Mas Aryo.

“ Ada apa, Mas?”

“ Aku akan bekerja di Jakarta. Aku tak tau kapan bisa kembali. Mungkin agak lama. Tapi aku pasti kembali..”

“ Apa aku harus menunggu?”

“ Itu terserah padamu. Aku mencintaimu, Mir.“

Di peluklah aku dengan hangat oleh Mas Aryo. Aku hanya bisa menitikkan air mata tanpa suara. Aku sangat mencintai Mas Aryo. Bagaimanapun, ialah cinta pertamaku. Tapi bagaimana, aku tidak bisa melarangnya pergi. Ini demi kebaikannya juga.

“ Jam berapa berangkat ?”

“ Sore. Jam 4 atau jam 5-an. Maukah kau mengantarku ke stasiun kereta, untuk melihatku terakhir kalinya ?”

“ Tentu. Aku akan datang ke stasiun jam 4. Pulanglah, sudah malam..”

“ Terima kasih. Aku menunggumu besok.”

Kapan aku bisa merasa bahagia dengan orang yang ku cintai. Di restui saja tidak. Sekarang ia akan pergi. Mas Aryo adalah orang yang kusayangi melebihi sayangku pada Ibuku sendiri. Aku akan berdosa jika mencegahnya pergi untuk mengejar cita-citanya. Menjadi orang sukses. Ahh.. sebaiknya aku tidur saja. Bersiap menunggu senja perpisahanku dengan Mas Aryo.

Pagi akhirnya menjemputku untuk kembali mencari rupiah demi sesuap nasi. “ kurang 8 jam..” gumamku. Mas Aryo yang sangat ku sayangi akan pergi ke Jakarta 8 jam lagi. Langkahku ringan menuju warung Mbok Inung.

“ Mira .. kamu sakit ? wajahmu pucat, nduk..” kata Mbok Inung sambil memegang dahiku.

“ Nggak papa mbok..” kataku sambil tersenyum kecil.

Selama aku membantu Mbok Inung sepanjang hari ini, aku merasa diriku tak seperti biasa. Kesalahan terjadi disana sini. Akhirnya, saat warung Mbok Inung tutup datang. Masih terasa gemetar tubuhku, menunggu waktu ketika aku melihat Mas Aryo akan meninggalkanku. Aku hanya bisa terdiam duduk sendiri di depan warung. Sepintas aku melihat seekor burung di atas pohon yang meninggalkan anaknya dari sarangnya yang hangat untuk mencari makan. Aku hanya bisa tersenyum dan merasakan bagaimana rasanya orang yang kita sayangi akan meninggalkan kita sebentar lagi walau hanya untuk sementara. Melihatku seperti orang ling-lung, Mbok Inung mendatangiku dan duduk di sebelahku.

“ Kamu mau ditinggal ya, nduk ?”

 “ Bagaimana mbok tau?”

“ Mbok Inah, tetangga sebelah Aryo tadi cerita di warung mbok. ”

“ Oh, Mbok Inah..”

“ Dia akan kembali, kan ?”

“ Nggak tau. Jakarta itu liar, mbok. ” Kataku sambil menghela nafas

“ Aryo anak baik. Pasti dia kembali, entah kapan. Dia akan baik nduk di Jakarta.”

“ Semoga..”

“ Untuk apa Tuhan menciptakan perpisahan, kalau pada akhirnya memang pertemuanlah yang sebenarnya diinginkan?”
“ Kalau nggak ada perpisahan, nggak akan ada pertemuan..” kataku sambil menitikkan air mata.

“ Antar dia ke stasiun. “

“ Iya mbok. Mira berangkat dulu ya..”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“ Hati-hati nduk..”

Sekali lagi ku lewati jalan setapak ini. Senja mulai datang, pertanda kereta akan pulang. Ku menunggu di peron sambil berdiri mencari-cari Mas Aryo. Kutemukan ia sedang duduk menunggu kereta. Atau, menungguku ?

“ Mira..”

“ Mas Aryo baik-baik disana.. Mira menunggu.”

Pelukan hangat darinya pertanda pertemuan kali terakhir kami. Keretapun pada akhirnya tiba menjemput Mas Aryo.
Perlahan Mas Aryo berjalan menuju gerbong kereta. Penuh sesak berbagai macam profesi, laki-laki maupun perempuan, tua muda, berkumpul menjadi satu dengan tujuan sama, Jakarta dan uang. Ku lambaikan tangan begitu ringannya. Air mata tak terbendung menetes membasahi pipi.

Mas Aryo hanya bisa memberi isyarat dari dalam gerbong, “ Jangan menangis..” ia melihatku sambil mengusap pipinya, bagai seorang pantomim yang hebat, aku mau memberhentikan air mataku.

Batu kerikil dasar rel kereta api, mulai hangat karena batu bara mulai dipanaskan. Decitan roda kereta dengan rel terdengar nyaring, kereta senja akan berangkat. Kulihat sekeliling, semua sama. Melambaikan tangan. Anak kecil yang masih dalam gendongan ibunya, mulai menangis. Ayahnya pergi ..

Kereta senja itu menjauh dari stasiun sederhana ini. Semakin ku lihat, semakin tak terlihat. Semakin ku amati, semakin tak teramati. Aku akan kembali pulang. Dan untuk ke sekian kalinya, aku melewati jalan setapak. Pulang, mengumpulkan tenaga dan membuang kesedihanku. Akan ku simpan air mataku untuk tangis haru ketika Mas Aryo kembali dari Jakarta.

6 bulan penuh dengan air mata dan senang, aku terus menunggu Mas Aryo. Kepergiannya yang sementara telah mengubah segalanya. Ibuku, tak lagi membencinya. Ia bukan pengangguran lagi. Ibu tau, kalau Mas Aryo sukses di Jakarta. “ Kapan Aryo pulang ?” selalu saja ibu mengajukan pertanyaan itu. Aku hanya tersenyum. Mengingat ibu sudah berubah kepada Mas Aryo.

“ Kenapa nggak di susul ke Jakarta aja, dari pada dia diambil orang.” Kata Ibu ketus

“ Jangan ngomong gitu, bu. Mira belum pernah ke Jakarta, mana tau tempat.”

“ Makanya, ke Jakarta biar tau!”

“ Ibu pernah ke Jakarta?”

“ Emangnya bapakmu dulu ketemu dimana kalau nggak di Jakarta. Ibu pikir dia kaya, eh..ternyata, kere juga..”

“ Ibu kenapa sih ? bapak udah nggak ada, jangan di omongin ah..”

Ibu dan bapak bertemu di Jakarta 30 tahun lalu. Bapak bekerja sebagai pedagang di Tanah Abang. Ibu pikir, bapak memiliki kios yang besar. Pada kenyataannya, hanya pedagang baju ibu-ibu dan anak-anak tanpa kios yang berjajar di sepanjang tepi jalan masuk ke pasar Tanah Abang.

Hampir terjadi perdebatan antara aku dengan ibu. Tapi, kupikir-pikir, ke Jakarta ? membuat kejutan bagus sepertinya untuk Mas Aryo. Kupikirkan terus saran ibu. Dan pada akhirnya aku memutuskan ke Jakarta. Ibu benar-benar setuju dengan keputusanku. Tapi ketika aku bertanya pada Mbok Inung,

“ Jangan ! Pokoknya jangan ke Jakarta!”

“ Kenapa Mbok ? Mira pikir, bagus juga mengunjungi Mas Aryo.“

“ Mira, gadis cantik sepertimu rawan kalau ke Jakarta. Apalagi dari desa.”

“ Maksud mbok?”

“ Sudahlah nduk.. Mbok mohon, jangan pergi ke Jakarta. “

“ Maaf, Mbok. Mira sudah terlalu lama menunggu Mas Aryo pulang. Mira akan tetap ke Jakarta.”

“ Kalau kamu memaksa, Mbok hanya bisa mendoakan kamu selamat nduk. Hati-hati..”

Sebenarnya aku merasa sedikit ragu atas keputusanku, karena Mbok Inung tak mengijinkanku. Tapi aku berusaha untuk tetap pada pendirianku. Segalanya ku persiapkan, ku catat dalam lembar sederhana alamat Mas Aryo tinggal. Besok sore aku akan berangkat. 

“ Bu, besok sore Mira berangkat. Doakan Mira selamat ya, Bu.”


“ Iya. Kalau kamu pulang sama Aryo, langsung ibu nikahkan.”

“ Nunggu keputusan Mas Aryo..”

“ Dia pasti mau..”

Sepanjang malam menjelang kepergianku, rasanya mata berat untuk tertutup. Aku membaca surat-surat kenangan dari Mas Aryo. Saat-saat kami satu sekolah dulu. Dan aku tertawa ketika membaca ceritanya, saat aku dan Mas Aryo mecoba mencuri tomat di kebun orang karena perjalanan pulang sekolah yang sangat melelahkan. Bodohnya, pemilik kebun itu sekarang mencoba melamarku. Iya, Juragan Juri. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, aku harus segera tidur. 

Pagi menjelang, matahari sudah bersiap menerangi dunia. Tak banyak yang ku lakukan pagi ini. Hanya menyapu, dan sekedar merapikan ruang tamu. Seharusnya aku senang akan bertemu Mas Aryo. Tapi, aku merasa aku akan merindukan segalanya yang ada di desa ini.

“ Mira.. kamu nanti berangkat jam berapa ?” teriak ibu dari dapur.

“ Jam 4 sore, bu. Ibu mau mengantar?”

“ Buat apa, memangnya kamu anak umur 5 tahun.”

“ Mana ada anak umur 5 tahun di ijinkan ibunya ke Jakarta sendirian .” gumamku.

Tiba-tiba di depan pintu rumah ada tamu. Ku lihat ke depan, Mbok Inung. Ia datang hanya sekedar untuk melepasku pergi ke Jakarta.

“ Kabari Mbok kalau sudah sampai.”

“ Iya, Mbok.”

Sore yang kutunggu akhirnya datang juga.aku bersiap berangkat ke stasiun.

“ Bu, Mira berangkat. Doakan Mira selamat ya, bu.”

Berat langkahku meninggalkan rumah yang sederhana ini. Aku berjalan membawa tas sederhana berisi barang seperlunya. Jalan setapak ini lagi. Aku takkan melewatinya untuk beberapa saat. Aku akan merindukan saat aku menyapa para petani yang sedang mengejar kambingnya yang terlepas dari ikatan, atau memberi beberapa cuil roti kering yang ke lemparkan ke tambak ikan milik Pak Sugi, tak jauh dari jalan setapak ini. Berjalan membuatku lelah. Meskipun stasiun tak begitu jauh, lelah aku membawa badan kurus ku ini. Dan pada akhirnya, seorang lelaki tua penjual koran meyambutku di stasiun. Dengan terbungkuk-bungkuk dan tersenyum kecil, ia menyodorkan korannya padaku.

“ Mbak, mau beli koran ? hanya 2000 saja, mbak..”

Melihatnya, aku kasihan. Ku beli koran itu meski uangku sendiri juga tak banyak. Antrian tiket begitu panjang. Aku akan selalu sabar menanti, dan ini untuk Mas Aryo. Aku memasuki peron. Membawa koran seharga 2000 rupiah ini kesana kemari mencari tempat duduk menunggu kereta senja datang.

Kursi besi yang sedikit berkarat warna biru tua –atau mungkin hijau yang sudah berubah warna- dekat ruang operasional kereta menjadi tempatku menunggu. Ku baca headline koran tersebut “Seorang pendatang meninggal jatuh dari Lt.8”. Kubaca berita tersebut. Dekat halaman lanjutan berita terdapat foto korban semasa hidup. Aku melihatnya, mencermatinya, dan sepertinya aku mengenal. Mas Aryo ! Berita mengatakan bahwa ia terjatuh dari rumah susun tempat ia tinggal. 

Aku tak dapat mempercayainya. Dadaku sesak. Nafasku tersengal-sengal. Dan benarlah, aku menangis. Beberapa orang memperhatikanku. Tak ada yang berani bertanya. Aku berdiri dan mulai menghampiri telpon umum. Ku telpon Mbok Inung, bukan Ibu. 10 menit kemudian Mbok Inung datang. Ia mendapatiku masih menangis di kursi itu. Mbok Inung memelukku. Segera ia mengajakku pulang untuk menenangkan diriku.

Aku langsung mendatangi rumah Mas Aryo, yang ternyata sudah ramai akan kunjungan para pelayat. Mas Aryo yang yatim piatu sejak umur 5 tahun, tinggal bersama neneknya. Semua menunggu kedatangan jenazah Mas Aryo. Pada akhirnya tibalah jenazah orang yang sangat kucintai tersebut. Aku tak berani melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.

3 tahun berlalu setelah kematian orang yang ku cintai. Aku tak bisa dan takkan pernah bisa melupakannya. Dia yang slalu menjadi pengisi hati. Menjadi mimpi. Dan kini telah pergi. Aku tak bisa menanggung beban ini. Aku mulai gila.

Sepertinya hidupku tak ada harapan ke depan. Aku, anak perempuan ibu yang diperebutkan banyak laki-laki kaya, sekarang tak berarti apa-apa. Aku termenung duduk di balik pintu kamarku. Diam dan hanya mendengarkan percakapan antara ibuku dan Mbok Inung dari dalam kamar.

“ Mira, ku anggap seperti cucuku sendiri. Dia cantik, dia baik. Tapi sekarang dia seperti burung kecil kehilangan akal. Kesana kemari tak tau tujuan. Kadang dia menangis tersedu-sedu. Kadang juga, ia tiba-tiba tertawa, apalagi saat membaca puisi-puisi buatan Aryo. Setiap hari ia datang ke stasiun. Lewat jalan setapak sambil membuang banyak roti di empang Pak Sugi. Ia duduk termangu, sampai larut malam.

Sampai kereta tak ada yang beroperasi. Petugas stasiun sampai menyuruhnya pulang, tapi ia melawan. Kalau ia tak ku jemput, ia tak mau pulang. 3 tahun di tinggal Aryo, 3 tahun pula ia setiap hari bolak-balik stasiun menunggu kereta senja..” kata Mbok Inung pada Ibu.

“ Mungkin dia menunggu Aryo. Dia pikir ia masih di Jakarta, dan ia menunggunya pulang..”

“ Biarkan, mungkin itu jalan terbaik untuk Mira sekarang..”

Tak kusangka, stasiun kenanganku itu akan di pindah ke tempat yang lebih strategis. Ketika aku mendatangi stasiun yang dalam keadaan di bongkar tersebut, aku menangis. Berteriak sejadi-jadinya, menyuruh para tukang untuk menghentikan aktivitasnya membongkar stasiun. Mengetahui hal itu, security langsung mendatangiku, memegangku erat agar segera pergi.

Beberapa orang yang mengetahui kebiasaanku ke stasiun, langsung menelepon Mbok Inung untuk menjemputku.
Tak ada lagi kenangan antara aku dan Mas Aryo. Tak ada lagi saksi bisu saat terakhir aku bertemu Mas Aryo. Kereta senja itu takkan ada lagi. Takkan. Aku mulai memberontak. Dan apa lah yang terjadi. Aku berdiri di tengah rel kereta api. Dan kereta senja datang menjemputku. Aku akan pergi untuk menemui Mas Aryo. Mbok Inung, hanya berteriak karena tak mampu mengendalikanku.

Semua cerita telah berakhir. Takkan ada lagi yang memberi roti pada ikan-ikan di empang Pak Sugi. Tak ada lagi yang setiap hari menginjakkan kakinya di jalan setapak. Takkan ada lagi yang menunggu kereta senja datang. Dan takkan ada lagi, kisah Aryo dan Mira...

---Selesai---

 

Chanastalia Photo Writer Chanastalia

Newbie here

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya