[CERPEN] Kisah-kisah dan Nyata

Saya terima nikahnya...

 

Prediksi kisah 1

   Ver. TKVDW

“Saya terima nikahnya, Nurul Qolbi binti Zaenal Abidin, dengan mas kawin dua buah mobil avanza, uang tunai 50 juta rupiah, emas 500 gram, dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Sah ?”

“Saaaaaahhhhh !!!”

“Alhamdulillah…”

A’uudzuillaahi minasy-syaithoonirrojiim. Allahumma baarik lahuma, wa baarik ‘alaihima, wajma’ bainahuma fil khaiir...”

Amiiiiinn!”

Acara selesai. Para tamu undangan silih berganti menyalami dua pengantin yang tersenyum. Beberapa orang menyempatkan berfoto bersama mereka dan yang lainnya menikmati hidangan makanan yang disuguhkan.

Oh, andaikan akulah yang mengucapkan ijab qabul itu, yang didoakan sang penghulu tadi, dan yang disalami para hadirin. Oh, seandainya. Seandainya saja begitu.

Perih sekali hatiku, harus mendekam dalam nestapa teater yang menyakitkan ini : Orang-orang yang berlalu lalang, dua pengantin yang tersenyum, semua keluarga yang berbahagia. Meskipun aku tau, seorang dengan dandanan pakaian kebaya khas adat yang tersenyum di sana itu pun tengah tergugu dalam tangisan berbalut senyuman.

**

“Sudahlah, Bay. Perempuan tak hanya ia seorang. Tak biskah kau bangkit darinya?” Rais menasehati.

“Tak malukah kau pada dirimu sendiri? Yang sudah menimba ilmu agama bertahun-tahun, menyandang gelar Q.H., namun akhirnya terpuruk begitu dalam hanya karena ditinggal seorang wanita.” Ia masih terus mencoba menghibur.

“Kau sendiri yang mengatakan, ‘Cinta sejati yang asli hanyalah Allah sang Maha Cinta, yang menyemai cinta, juga mengeringkannya’, Bay. Lupakah kau?”

Aku masih terdiam.

“Bay… Bahkan bila seluruh cinta yang dimiliki semua yang mencintaimu di bumi ini dicabut, hingga yang tersisa hanya cinta dari Allah, itu sudah sangat cukup, bukan?”

Aku memandangnya. Itu juga kata-kata yang sering kuucapkan padanya saat ia broken heart.

“Akan kau kemanakan kata-katamu sendiri itu, Bay?”

Benar sekali kata-katanya, tentang diriku yang lemah terhadap cinta, seperti melawan pada takdir. Tentang aku yang punya ilmu agama ini—walau tak banyak—tetap saja tak pantas menangisi wanita berhari-hari, hingga lupa makan, lupa minum, jatuh sakit, dan sekarang sudah hampir gila. Ya, sudah saatnya aku bangkit. Sudah saatnya aku berbenah. Cinta dari Allah selalu ada. Dan seperti yang dikatakan ibuku dahulu, itu sudah sangat sangat cukup.

**

Maka aku pun bangkit, mulai menapaki hidup baru. Mulai menyulam asa, mulai merajut mimpi. Bersama Rais aku merantau ke kota, bekerja keras banting tulang. Siang malam, tak peduli lelah dan letih. Hingga bertahun-tahun berlalu. Alhamdulillah, kini kami bukan lagi orang miskin papa di pelosok desa. Kini kami telah menapaki nasib yang lebih baik, memiliki rumah mewah, mobil terparkir sana-sini, bisnis yang maju, perusahaan dengan ratusan katyawan, dan sebagai rasa syukur atas limpahan pemberian Allah ini, kami membangun beberapa panti asuhan untuk orang-orang terlantar macam kami dahulu.

Begitulah roda kehidupan, berputar sangat cepat. Terkadang kita hanya bisa meneteskan air mata, memandang nasib yang suram dan kelam. Tapi seiring waktu belalu, kita kemudian berubah menjadi masa depan yang cerah, dikagumi dan didambakan orang-orang.

Namun benar, roda kehidupan memang tak hanya berputar pada diriku seorang. Kudengar rumah tangga Nur kini berantakan karena suaminya itu—yang dipilih bapaknya dahulu—ternyata seorang penjudi akut stadium 3. Semua perusahaannya bangkrut, aset-asetnya dijual, dan hutang-hutangnya menumpuk. Rumahnya memang masih tegap mentereng saat kulihat, tapi hal yang tersenyum di luar memang tak menjamin tersenyum di dalam pula. Reza—suami Nur—yang tahu bahwa aku kini telah mapan meminjam uang dengan nominal yang cukup mencengangkan. Ya, memang takkan cukup dibayar dengan hasil penjualan rumah mereka itu.

Dan akupun dengan penuh keikhlasan, tak memiliki sediktpun rasa pamrih memberinya pinjaman uang. Sungguh, tak ada niat apapun dalam hatiku untuk mendapatkan sesuatu dari jasaku itu. Meskipun sakit, telah kuikhlaskan semua kepedihanku yang dahulu.

Waktu berlalu, semuanya pun membaik. Baik rumah tangga Nur maupun usahaku. Reza sudah tak lagi berjudi. Yah, ternyata rasa malu memang pengingat yang sangat efektif untuk orang-orang seperti kita. Hingga satu bulan berlalu, entah karena apa, tak ada angin tak ada hujan, Reza memutuskan menceraikan Nur dan harta gono-gininya sepenuhnya diserahkan kepada pihak perempuan. Kemudian ia, pergi ke luar negeri dan memulai hidup baru. Setidaknya aku sedikit lega karena ia sudah sembuh dari penyakit judi stadium 3-nya. Ya, sekali lagi, Roda Kehidupan.

Satu minggu setelah kejadian itu, akhirnya semuanya menjadi jelas. Reza mengirimiku pesan yang sangat sangat mengejutkan. Tentang rasa bersalahnya karena dahulu merebut Nur dariku, bahwa semua yang ia lakukan dan kebaikan dariku membuatnya tersiksa begitu dalam. Ia kemudian mengungkpakan ucapan rasa maaf yang sebesar-besarnya padaku. Dan mulai sekarang, aku bisa kembali bersama Nur. Aku memang belum menikah.

Mendesah aku ketika selesai membacanya. Bagaimanapun, rasa sakit yang dahulu masih belum bisa kuhapus bersih seperti sedia kala. Dan juga, apakah aku yang masih perjaka, belum menikah dan mapan ini akan meminang janda yang dicerai sepertinya. Rasanya kurang srek saja, begitu.

Tiga bulan pun berlalu.

“Aaaahhh kau ini!. Dulu ketika ia menikah dengan orang lain kau sedih sepenggal nyawa karenanya. Kini ia tak bersuami dan telah habis masa iddah-nya kau malah masih ragu-ragu begitu. Bingung aku dengan sikapmu.” Rais mengomel. “Aku tahu kau masih mencintainya, Bay. Kejar dia!”

Sekali lagi. Kata-kata Rais-lah yang menyadarkanku.

Baiklah. Aku tak mau menunggu dan mengulur waktu lagi, hari ini juga aku akan melamarnya. Bahkan jika perlu, hari ini juga kami menikah. Ya, begitu lebih baik.

Semangat sekali aku hari itu. Meraih kunci mobil dan langsung meluncur menuju rumahnya. Tak pernah terpikir olehku hari-hari panjang penantian itu telah begitu menyiksa Nur. Satu orang meninggalkannya tanpa penjelasan, dan satu orang lagi yang ia tunggu-tunggu tak kunjung datang. Semuanya membuat ia tak punya gairah hidup, jarang makan, jarang mandi, konsentrasinya menurun karena ia sakit-sakitan.

Maka di sinilah aku, membelai-belai rambutnya yang hitam pekat. Di ruangan putih bersama infus tergantung, monitor penunjuk detak jantung yang telah dimatikan, alat-alat medis yang sudah dilepas, dan sebuah tubuh dingin tak lagi bernyawa. Mataku sembap menangis menahan kesedihan yang panjang tak berujung ini. Hanya satu kalimat yang kudengar darinya tadi, ketika menggotongnya keluar dari mobil yang remuk separuh, menabrak pembatas jalan dan terjun ke sungai kecil berbatu-batu.

“Bay.. kamu datang?”

Prediksi kisah 2

   Ver. Laila Majnun

Mengagumkan.

Itu satu kata yang tepat sekali untuk sosoknya yang cantik menawan. Sosoknya yang anggun mengangguk tersenyum saat kupandang ia penuh pesona. Sungguh, seharian penuh aku membayangkan saat-saat itu, seperti berusaha menghentikan waktu. Dan antara sepasang matanya yang mengangguk tadi, begitu jelas kulihat getar-getar perasaan yang sama seperti yang kurasa untuknya.

Tapi.

Oh alangkah malangnya aku, sepertinya. Meskipun dengan wajah cukup tampan seperti kata teman-teman, aku tetap saja masih terlalu rendah untuk keluarganya yang konglomerat itu. Naasnya, ternyata keluarga Nur juga sebuah keluarga yang sangat selektif dalam urusan jodoh anak-anak mereka. Aku yang miskin ini, yatim pula, sepertinya untuk dilirik saja masih harus bersyukur.

Tapi begitulah cinta. Ternyata dugaanku tak meleset barang sejengkal pun. Nur yang cantik jelita, anak konglomerat itu benar-benar menaruh perasaan padaku juga, seperti perasaanku padanya. Rasanya bukan seperti mendapat durian runtuh lagi, mungkin tepatnya seperti rembulan yang dirindu mengunjungi si pungguk. Beruntung sekali, kami bersekolah di tempat yang sama—ia adik kelasku, dan letak kelas kami yang berdekatan membuat kami mudah saling melirik. Ah, cinta. Bahkan jika ia di pojok utara dan kelasku di pojok selatan pun tentu tak akan masalah.

Sudah beberapa bulan sejak ia menerima cintaku lewat surat, dan untuk menjaga rahasia, hubungan antara kami berdua masih tetap lewat surat-surat cinta dan tatapan-tatapan jarak jauh.

Sayangnya nasib berkata lain. Entah siapa yang membongkar rahasia itu, namun yang pasti, kini Nur sudah tak lagi sekolah di sini. Ia pindah ke Singapura, sekolah di luar negeri—tentu atas perintah dari keluarganya. Belakangan aku tahu siapa yang paling tak setuju ia dekat-dekat denganku : Bapaknya. Rais yang mendengar sendiri omelan beliau saat mengambil surat pindah ke kantor minggu lalu.

Miris sekali nasibku. Perih hatiku serasa diiris sembilu. Rasa cinta yang begitu dahsyat kurasa direnggut secara paksa. Sakit sekali, ketika hal-hal yang terlalu indah untuk kita pikirkan terlanjur menjadi kenyataan, dan malah dicopot paksa oleh tangan kekar yang tak sangup kita lawan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hari-hari berlalu, berganti bulan, tahun, dan aku masih merenungi nasib. Merenungi indahnya wajah itu. Bergulat dengan kesedihan yang mendalam. Lambat laun hidupku jadi tak teururus. Aku malas makan, jarang mandi, dan tak punya semangat lagi. Semua kata-kata Rais tak ada yang bisa masuk ke dalam pikiranku. Satu dua puisi kutulis untuk membendung kesedihan mendalam ini, juga roman-roman dan cerita pendek. Lama kelamaan menumpuk juga kertas-kertas itu, memenuhi ruang lemari dan menumpuk di atas meja. Biarlah. Aku tak mau membuangnya. Biar kusimpan seluruh perasaan ini bersama kertas-kertas yang bisu, untuk kujadikan tumbal atas perpisahanku yang tanpa kata-kata dan tanpa tatap mata.

Rais. Bukan Rais namanya kalau tidak ikut campur urusan hidup sahabatnya. Entah sejak kapan ia mengirim tulisan-tulisanku diam-diam ke media-media masa. Yang kutahu, tiba-tiba saja aku jadi terkenal dan dapat uang entah dari mana. Beberapa buku roman yang terbit juga ternyata mencantumkan namaku. Lambat laun, aku jadi populer juga. Mulai merangkak menapaki nasib.

Jika saja keadaan jiwaku tidak sedang sakit seperti ini, pastilah aku akan berterima kasih sebesar-besarnya pada Rais. Memeluknya, atas setiap kebaikan yang ia lakukan kepadaku. Namun, begitulah. Hidupku telah terlanjur terbelenggu cinta dan kesedihan. Rasanya tak penting lagi semuanya kecuali ada Nur di sana.

Sayangnya, tulisan-tulisan fenomenal itu tak mengubah penilaian keluarganya tentangku, malah membuat diriku semakin dipandang rendah mereka. Seorang yang tak berpendirian, urak-urakan, meskipun populer tetap saja tetap saja seperti orang gila. Dan satu bagian yang lebih parah lagi, aku telah mempermalukan mereka. Banyak tulisan tulisan itu yang menyebut langsung nama Nur, seperti tokoh Starla atau Siti Nurbaya, begitu.—yang meskipun tak disadari pembacanya, tetap saja penghinaan atas mereka.

Lagi-lagi kisah sedih berlanjut.

Ketika Nur kembali dari pendidikan universitasnya di Singapura, ia ternyata telah dijodohkan dengan dengan seorang anak teman ayahnya—konglomerat juga tentunya. Hancur lagi hatiku. Hancur sehancur-hancurnya. Sekali bara tercoreng di dahi, berbekas terus hingga ajal menjelang.Naas sekali nasibku, dulu harus terpisah, kini benar-benar tak mungkin ku genggam lagi. Pupus sudah harapan itu. Hancur sudah semua cita-cita dan mimpi-mimpi. Bahkan meskipun aku tahu, bahwa cintanya masih tetap untukku. Ya Allah, sepahit inikah Kau pahat takdir kami?.

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, melihatnyya duduk di samping kursi kemudi mobil suaminya benar-benar membuat seluruh sendi jiwa dan pikirku remuk redam. Cemburu, namun itu suaminya sendiri. Sakit, namun sakit yang kurasakan juga adalah sakit yang ia rasakan. Rindu, siapakah yang dapat mempertemukanku dengan sosok ia yang telah kokoh terperangkap dalam sangkar emas itu. Nelangsa sekali aku. Nelangsa di ujung bebatuan karang terjal dan amukan ganas badai.

Lambat laun, bukan hanya hidupku yang tak terurus. Pakaian compang-camping dan badan tak pernah mandi itu hal yang biasa. Kini bicaraku juga mulai melantur, kadang-kadang tiba-tiba berteriak, dan mengigau nama Nur terus di malam hari. Sungguh, aku bahkan tidak tau apa yang kutulis ini*. Psikopat akut  mungkin aku sekarang.

Di tempat yang jauh sana, meskipun tak kulihat langsung, Nur pun pasti tengah merana sepertiku. Tak tau apa yang harus dan masih bisa ia lakukan. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, menghabiskan waktu panjang penuh penderitaan.

**

Terkejut aku oleh Rais. Kali ini aku harus benar-benar berterima kasih padanya. Seperti biasanya, ia dengan otak cemerlangnya selalu berhasil memberiku sebuah jalan keluar. Dan kali ini kesempatan bertemu dengan Nur. Berkali-kali aku menyalaminya, menaik-turunkan tangannya, memeluknya penuh penghargaan. Ia memang seorang yang paling peduli dengan hidupku sejak dahulu. Semoga kita senantiasa menjadi teman dunia akhirat, kawan.

Tak salah dugaanku. Tak salah sejengkal senti pun. Nur masih menyimpan perasaan yang dulu itu. Tak pernah padam, terus membara sampai kini. Bahkan kata ia, sampai detik ini ia belum pernah disentuh suaminya itu. Karena apa? Karena cintanya padaku. Dan suaminya? Sepertinya ia juga psikopat macam aku—hanya saja lebih pandai menjaga fashion. Ya, bersama cintanya yang tulus, ia rela menunggu hingga cinta tumbuh di hati Nur suatu hari nanti. Tragis sekali hidup ini, disini seseorang memiliki hati dan jiwanya, di tempat lain seseorang memiliki raganya. Dan dua-duanya—kenyataan yang lebih pahit—sama-sama merana dan nelangsa.

Tambahan satu lagi personil yang tersiksa dalam pahatan takdir : Reza si suami Nur. Bertahun-tahun berlalu dan Reza masih setia menunggu Nur—yang memegang teguh janji setia kepadaku, seseorang yang tak punya kesempatan memilikinya. Maka jadilah kami terkurung dalam kerangkeng pahatan takdir, yang kokoh menjulang tak mempu ditembus sayap-sayap lemah.

Satu tahun berlalu, disini kesempatan justru menjelma menjadi mimipi buruk. Saat ketika Reza meninggal, justru Nur-lah yang kemudian ditekuk rasa bersalah. Ia hanya meratap dalam rumahnya, merenungi nasibnya yang malang juga ditahan kenyataan dirinya yang kejam, membiarkan seseorang dalam penantian hingga ajalnya tiba.

Sekali lagi, kawan. Sekali lagi. Pahatan takdir yang perih mungkin memang ingin menegaskan : Hidup yang kau dambakan bersama cinta dan cita, hanya bisa kau kunyah di tempat setelah ini. Bahagia yang tanpa akhir. Surga!. Ya! Sama seperti Reza yang malang, Nur yang lelah pun pergi pun pergi meninggalkanku. Buram sekali kisah ini. Aku yag dicinta, dan ia yang di-rasa-bersalah-i. Kami semua makhluk nestapa yang hanya akan bersama dalam khayal.

Brukk !!

Seperti kisah sebelumya, di akhir cerita, akulah yang mengelus-elus tanah—karena kini tak ada lagi rambur hitam. Menitikkan air mata, meratapi nasib. Menjadi orang yang terakhir berdansa dalam kesedihan.

***

Tragis sekali bukan ?

Baik kisah pertama maupun kedua—yang entah aku kaya maupun miskin, hidup mewah ataupun melarat, normal atau psikopat—tetap saja aku yang terakhir: terakhir menari dalam kenestapaan, terakhir yang harus berdamai dengan kesedihan, terakhir bersama dengan cinta yang didamba-damba.

Dua kisah itulah yang terus menghantuiku, ketika seorang lelaki tampan dan kaya, sudah menjadi bos besar memimpin perusahaan, datang melamar Nur—kekasihku. Reza namanya. Rais bahkan sampai berlari ngos-ngosan membawa kabar itu.

Berhari-hari aku sulit tidur, sulit makan, mandi pun sekali sehari, khawatir bapaknya mungkin akan menerima pinangan itu. Keadaanku kini benar-benar mirip Zainuddin-nya si Hayati dan Majnun-nya si Laila. Menyedihkan.

“Triiiiiiing!!” telepon berdering. Aku segera mengangkatnya.

“Halo.. Assalamu ‘alaikum..” bunyi suara di seberang sana.

“Wa ‘alaikumussalam...” jawabku.

“Mmm... Bay... bisa ke rumah siang ini? Kali ini aku mohon.. ini demi masa depan kita...” itu suara Nur, sepertinya ada hal yang sangat penting. Sejujurnya aku belum pernah ke rumahnya atau bertemu bapaknya karena malu.

Masa depan? Ah, apa benar kisahku akan sepelik dua kisah tadi?

Ya Allah.. jangan buat kisahku setragis itu.. kumohon..

“B.. Baiklah,” aku menjawabnya singkat. Kali ini rasa malu sepertinya ku kubur dalam-dalam, bersama makam Hayati-nya Zainuddin atau Laila-nya Majnun. Kawan, beberapa hal yang hilang tak pernah punya kesempatan terlihat kembali. Dan sejarah kepedihan cinta menurutku adalah hal paling menyedihkan di dunia ini. Tanpa pikir panjang, kusambar kunci motor dengan perasaan menderu-deru. Ah, bahkan jika Nur mengajakku kawin lari hari ini pun tak masalah. Takkan kutolak.

Satu menit. Rekorbaru pengemudi sepeda motor abad ini, menempuh 5 kilometer dalam setengah menit—atau mungkin aku yang terlalu lebay? Ah! Sudahlah! Tidak ada waktu memikirkan itu. Kini aku sudah sampai di Nur. Tak ku parkirkan motor di depan rumahnya agar membawanya lari jika dugaanku benar. Aku menengok ke belakang rumahnya lebih dulu, barangkali ia telah menunggu di sana. Tak ada.

Kemudian aku berjalan perlahan-lahan ke bagian samping rumah, mengendap-endap. Tak ada pula. Aku kembali ke jalan raya, kali ini aku akan melalui halaman depan. Mungkin ia dikurung di dalam kamar sehingga tidak bisa menungguku di belakang rumah. Tak apa, aku akan bertamu seperti biasa terlebih dahulu, walaupun selanjutnya harus dengan cara yang agak “kriminal”.

“Bayang!”

Baru saja aku muncul di halaman depan Nur sudah memanggilku.

“Ayo cepat bapak sudah menunggu di dalam.”

Oh, jadi bukan kawin lari.

Aku pun melangkah masuk, malu-malu duduk di depan bapaknya. Penampilan beliau sederhana, dengan kopiah putih di kepala, baju kaos polos, dan sarung warna hijau bermotif kotak-kotak.Kau benar-benar takkan menyangka pondok pesantren megah dengan ribuan santri satu kilometer dari rumah ini adalah milik beliau. Itulah kenapa aku menggambarkannya sebagai seorang konglomerat.

“Kata Nur nak Bayang pernah ma’had, ya?” katanya setelah beberapa basa-basi. Kata-kataya ramah dan lembut.

“Eh.. I.. Iya, pak.. dulupernah ma’had di Kediri,” jawabku gugup.

“Mmm... sudah kerja?” Lanjutnya.

“Su.. Sudah.. Tapi cuma guru honorer, pak.”

“Ah... tidak apa-apa.. itu bukan masalah buat bapak. Yang penting ilmu agamanya mumpuni, tidak malas mencari nafkah untuk keluarga. Esok atau lusa nasib bisa berubah. Toh, bapak juga seorang guru,” katanya sambil tersenyum, benar-benar tanpa kesan merendahkan.

Ya, secara harfiah dia memang seorang guru. Tapi guru dalam versi yang berbeda. Pekerjaanku mengajarkan anak-anak ingusan, dengan ilmu-ilmu yang akupun tak tau apakah akan mereka gunakan suatu hari nanti. Berbeda dengan beliau, Tuan Guru, yang ia ajar adalah para orang-orang dewasa.

Di antara mereka ada yang bos perusahaan besar, saudagar kaya, pemilik saham perusahaan multinasional, hingga guru-guru cetek macam aku ini. Dan ilmu yang diajarkan puntak perlu diragukan lagi manfaatnya—ilmu tentang hidup dan kehidupan setelah hidup. Entah bapak-bapak tua bau tanah sampai anak-anak kecil bau kencur pun butuh itu. Ya, jadi jelas, kami ini berbeda.

Nur di sebelahnya tersenyum simpul. Merasa lega sepertinya. Sama seperti yangaku rasakan.

“Hmm.. Jadi.. kapan kalian akan menikah?”

Menikah? tak salah dengar aku?

Jadi?

Semudah itu?

---

Cahaya Bayangan Photo Writer Cahaya Bayangan

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya