Emia, Aku Gak Ingin Ketakutan ke Kamar Mandi Lagi

“Karina, tolong..... kepang rambutku.”

Masa kecilku dipenuhi kebahagiaan yang tulus.

Hidup di suatu desa yang asri dengan udara sejuk serta hangatnya keluarga sudah cukup membuatku bersyukur. Di usiaku yang saat itu masih 5 tahun, aku berlarian merasakan terik matahari, sejuknya angin dan basahnya hujan atas nama pengalaman. Bagaimana aku gak makin bersyukur, teman mainku pun di desa begitu banyak. Dari mereka yang selalu menghebohkan desa dengan berbagai permainan tradisional sampai sahabat yang selalu menemaniku saat senang dan sedih, Emia.

Emia kukenalkan khusus pada ibuku saat itu, karena ia yang paling kompak denganku dibandingkan teman yang lainnya.

Ibuku hanya mengusap rambutku sambil berkata, “Karina anak ibu yang cantik, main yang benar ya sama teman-teman kamu. Jangan nakal.”

Emia selalu mendengarkan semua ceritaku, ia kadang memberikanku bermacam bunga yang bergantian macamnya tiap hari. Orangtuanya lah yang menanamnya di desa seberang. Namun, Emia gak pernah minta macam-macam dariku, ia hanya minta rambut indahnya dikepang. Awalnya aku gak bisa, Emia menyemangatiku sampai akhirnya aku bisa mengepang rambutnya dengan rapi.

Aku dan Emia bertemu sampai akhirnya kenal akrab karena kami selalu bermain sore hari di jembatan yang sama. Jembatan kecil yang menghubungkan desaku dan desanya. Air di bawahnya sangat jernih dan tenang sehingga aku beserta banyak anak lainnya suka menangkap ikan kecil di sana, kadang kami dapat kodok.

Sampai suatu hari, saat aku di pertengahan jenjang sekolah dasar, harus pindah karena mengikuti bisnis ayah yang dikomersilkan di kota. Aku pun berpisah dengan semua orang dan kehidupan desa asriku, termasuk Emia. Sedih, tapi mau bagaimana lagi.

Terbiasa dengan kehidupan kota, akhirnya aku menjalani hingga akan masuk kuliah di kota yang berbeda dengan ibu dan ayahku. Ibuku membantuku mengemas barang yang akan dibawa ke kosanku nanti, tapi sekalian membersihkan rumah agar rapi. Selama beberes, aku menemukan benda-benda kenangan semasa kecil dari tumpukan di gudang. Kemudian aku menemukan secarik kertas bergambar yang bertuliskan Karina dan Emia sahabat selamanya.

Aku lupa-lupa ingat.

Yang aku ingat adalah ini tugas menggambar saat SD di desa dulu tentang orang paling dekat denganmu selain ayah dan ibu. Emia, nama itu jelas sangat gak asing. Namun ini sudah lebih dari 10 tahun, aku gak begitu ingat dia yang mana. Jadi aku tanya ke ibuku.

“Bu, Emia itu anaknya yang mana ya?”

Barang yang dipegang ibuku perlahan diletakkannya.

Ia menoleh padaku dengan bibirnya dalam kondisi dirapatkan. Seperti ada hal yang susah ingin ibuku ungkapkan, sampai akhirnya ia memelukku dan mengusap punggungku. Dengan wajah agak memelas, beliau memegang leherku dan menatapku, beliau bilang,

“Karina, Emia sahabat masa kecilmu yang dulu selalu kamu banggakan itu ....

 

.... dia sebenarnya gak ada.”

Hah? Aku ingat kok dengan nama itu. Aku masih agak ingat dengan perawakannya seperti apa, sesuai gambar yang aku buat di kertas tugas SDku. Aku cuma gak ingat wajahnya. Lalu ibuku menceritakan bahwa banyak anak yang mengejekku karena aku suka terlihat berbicara sendiri, tapi aku gak menggubris mereka karena aku punya Emia yang selalu mengerti aku dan dengan kepedeanku, aku tetap bermain bersama mereka sehingga aku gak kuper. Terlepas dari itu, sekarang aku mengerti sesuatu. Ya, ada sesuatu yang salah dan ibuku bingung cara untuk menyampaikannya padaku saat aku masih kecil. Ibuku memutuskan untuk membiarkan saja karena aku supel, gak kekurangan teman.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadikannya itu cerita pengalaman masa kecil saja. Toh aku siap menghadapi kehidupan yang baru, kehidupan kampus. Kusimpan kertas gambar itu untuk barangkali nanti bisa jadi cerita lucu di antara teman di kamupusku.

Sesampainya di kos, aku merapikan semua barangku. Melepas penat dan peluh yang sudah menetes gak terbendung, aku memutuskan untuk mandi sebelum berkenalan dengan anak kos yang lain. Untung belum terlalu malam, jadi aku gak perlu takut dengan risiko rematik karena mandi.

Kugantungkan handukku beserta pakaianku. Kunyalakan keran dan kusiram sedikit air di gayung ke kakiku. Wah, segar! Di kota ini airnya lebih dingin dan segar dibandingkan kota sebelumnya tempat tinggal ayah ibu. Ini makin membuat mood-ku bertambah semangat. Aku mandi sambil membayangkan kehidupan kampus yang menyenangkan, seiring kubilas busa sabun dari badanku. Begitu segar.

Kutuang sampo sedikit ke telapak tanganku dan kuusapkan ke seluruh rambutku sambil bersenandung. Dengan semangat kuambil lagi air dalam gayung dan kuguyurkan ke seluruh rambut dan mukaku menikmati dingin segarnya air di kosku.

Kuusap mataku sedikit untuk menyingkirkan air dari mataku. Masih senang banget dengan segarnya air ini, bakal betah mandi terus nih.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Setelah samponya terbilas semua, kubuka mata perlahan.

Di saat itulah rasanya nafasku seakan mau berhenti.

Rambut sekujur badanku terasa berdiri. Gemetar dan lemas.

Aku melihat sesosok perempuan di pojok kamar mandi, tepat di samping pintu. Berdiri tegak dengan rambut panjang terurai nyaris seperutnya. Tingginya hampir sama denganku. Aku gak tahu apakah ia melihatku atau tidak, sepenglihatanku sekilas tadi seluruh wajahnya tertutup oleh rambutnya.

Ini di luar kewaspadaanku, aku bahagia mandi dengan segar tadinya.

Aku terlalu gemetar untuk memberanikan diri memastikannya lagi, aku gak mau kalo ternyata matanya bisa melihatku dari balik helai demi helai rambutnya itu.

Aku juga gak mau langsung berbalik badan yang bisa menunjukkan bahwa aku terkejut melihatnya. Nanti dia tahu. Siapa dia? Yang jelas aku sadar, dia bukan orang yang menyelinap masuk ke kamar mandi.

Ibu, tolong aku.

Mataku hanya melihat agak kebawah darinya, masih bisa terlihat rambutnya, tapi aku gak ingin melihat ke arah wajahnya.

Ia mengenakan daster lusuh berwarna putih tulang, dengan aksen batik bunga yang jarang-jarang. Tangan kanannya menggenggam sesuatu. Apa itu? Bunga? Aku ingin bersikap biasa saja, mengambil handuk dan segera keluar, tapi ia berdiri di dekat pintu. Kuusap pelan rambutku, sambil mataku tetap menatap ke arah yang sama.

Aku bersenandung pelan... Aduh... suaraku gemetar. Aku khawatir ia mulai menyadari bahwa aku tahu keberadaannya.

Hanya suara air dari keran yang terdengar, kubiarkan mengalir deras untuk sedikit mengurangi kegelisahanku.

Aku berharap ada suara penghuni kos lain yang melegakanku.

Minimal dari anak kos laki-laki yang teriak sambil bermain Dota.

Atau para anak kos perempuan yang tertawa di tengah bergurau.

Tapi tidak, cuma suara air dari keran yang kudengar.

Ibu, aku takut.

Tanganku gemetar meraih handuk di gantungan,

Dan keran air di atas bak kumatikan perlahan, hingga akhirnya ....

“Karina, tolong .....

kepang rambutku.”

Bayu Dwityo Wicaksono Photo Verified Writer Bayu Dwityo Wicaksono

A Disney dude who wants to fulfill the purpose of life like Desmond Doss. The story teller in an uncertain gaea. Freelance writer, editor, journo, and creator. Nakama. 🎗🧩

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya