[CERPEN] Salah Sang Mentari

Ketika mentari patut disalahkan atas semua yang terjadi di hari itu

 

Pagi itu seperti biasa ibu selalu menyuruhku untuk segera mandi dan bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Namun, aku tetap memberi jawaban klasik seperti tahun-tahun sebelumnya.,“Nanti bu,” sembari menunggu kehangatan dari sang mentari.

Hampir setiap tahun aku selalu berada di urutan terakhir ‘lomba mandi sekeluarga’ itu. Tubuhku yang benci dengan hawa dingin selalu menolak ‘air es’ pada bak mandi.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya sang mentari bersedia memberikan kehangatannya. Aku akhirnya beranjak menuju kamar mandi. Satu gayung, dua gayung, tiga gayung…hingga puluhan gayung air aku habiskan.

Aku keluar dari kamar mandi, panik mendengar suara takbir dari masjid yang terdekat dari rumahku. Seketika aku mengeluarkan motor dari dalam rumah, mencoba mencari masjid lain yang belum mulai melaksanakan sholat.

Segera kutancap gas sembari mendengarkan ‘suara alam’ yang keluar dari toa masjid. Kemudian terdengar suara ceramah dari masjid yang tidak jauh dari lokasiku saat itu. Tanpa pikir panjang aku lansung ‘memandu’ motorku menuju sumber suara.

Motor langsung kuparkir di tempat yang kosong sambil tersenyum tipis pada penjaga parkir. Kaki sedikit kupercepat langkahnya menuju shaf kosong yang ada di depan. Akupun duduk di shaf tersebut sambil bernafas lega karena masih sempat melaksanakan sholat Id di masjid ini.

Beberapa menit berlalu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Segelintir orang mulai meninggalkan masjid dan seketika aku langsung tersadar bahwa shalat Id sudah berakhir.

Berbeda dengan shalat Jumat yang ceramahnya dilakukan sebelum shalat, pada shalat Id ceramahnya dilakukan usai melaksanakan sholat.

Itu artinya aku melakukan hal yang sia-sia belaka.

Mengapa juga aku tersenyum tanpa dosa kepada penjaga parkir tadi? Malu. Saking malunya, aku jadi tidak fokus pada isi ceramah lagi. Mendadak aku merasa semua tatapan dari jamaah yang aku lewati sewaktu mencari shaf kosong tadi menuju padaku.

Waktu terasa sangat lambat, padahal aku ingin segera pulang saking malunya. Aku merasa seperti orang asing di antara ratusan penduduk pribumi yang menatap curiga.

Aku merasa seperti maling sendal yang datang ke masjid di akhir waktu hanya untuk ‘mencari nafkah’.

Semua salah sang mentari.

Ya, semua itu salah sang mentari. Kalau saja dia mau memberikan kehangatannya lebih cepat. Kalau saja dia segera bangun dan menendang bulan dari langit. Semua hal ini tidak perlu terjadi.

 

Bash Ovee Photo Writer Bash Ovee

Seorang penulis yang meniti karya di masa kritis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya