[CERPEN] Hypopituitarism

Sakit hati Riani yang tak terbayarkan.

 

Barangkali Riani telah melanggar pamali saat dirinya hamil, barangkali dirinya sering minum obat pusing ketika sedang sakit kepala dalam keadaan hamil lima bulan. Atau barangkali suaminya tidak mengabulkan keinginannya mengusap kepala botak saat ngidam dulu. Banyak sekali dugaan yang selalu dia lamunkan, saat putri semata wayangnya, Anjani mengidap penyakit langka, hypopituitarism.

Anjani memang sudah berusia 15 tahun, tapi jiwanya terperangkap di tubuh anak umur 9 tahun. Dia mengalami kondisi dimana kelenjar hipofisis gagal menghasilkan bahkan tidak menghasilkan hormon yang cukup sehingga dapat mempengaruhi fungsi rutin di dalam tubuh, seperti pertumbuhan dan reproduksi. Begitu yang dikatakan dokter padanya kala itu, ketika Riani melihat ada yang ganjil dengan kondisi putrinya yang tidak berkembang meskipun usianya sudah 15 tahun. Intinya Anjani memiliki kelainan hormon sehingga pertumbuhannya tersendat.

Putrinya memang tidak tumbuh, tetapi jiwanya tumbuh. Dia seperti gadis-gadis ABG lain yang beranjak dewasa, senang berdandan dan juga jatuh cinta. Mula-mula Anjani tidak menyadari pertumbuhannya mati, ketika dia melihat teman-teman sebayanya yang lain tumbuh menjadi gadis-gadis yang ranum dengan buah dada yang berkembang, tetapi dirinya tidak. Tubuhnya statis. Kemarahannya memuncak ketika Galih, laki-laki yang disukainya memilih Tyra karena memiliki buah dada yang menyembul dan tubuh yang menjulang.

Di sekolah bahkan di lingkungan rumah, Anjani menjadi bahan bully yang mengasyikkan, bahan gunjingan yang menggiurkan tetangganya sebagai tranding topic. Anjani menjadi sosok yang pendiam, dia selalu mengepalkan tangan kala melihat remaja-remaja seusianya membicarakan kencan pertama mereka. Terkadang dia juga marah pada dirinya sendiri, menyakiti diri sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya.

Dia seolah menyalahkan takdirnya yang tidak bisa seperti teman-temannya, belajar, tertawa, dan jatuh cinta. Dari hari ke hari emosi Anjani tak terbendung, dia dikeluarkan dari sekolah, karena mencelakai Tyra, dengan mendorongnya dari gedung sekolah lantai dua, sehingga menyebabkan Tyra koma di rumah sakit.

Riani dan Jati suaminya terpaksa mengikat Anjani dengan tali, di kamar putrinya yang pengap. Ketika Anjani kembali berulah, dengan menjebloskan Salman, anak tetangganya yang masih balita ke dalam sumur. Riani akhirnya menyetujui gagasan suaminya untuk membawa putrinya ke rumah sakit jiwa.

Riani hanya menurunkan gerimis di pelupuk matanya yang berwarna coklat kebiru-biruan itu, mendendangkan rasa sakit di ulu hatinya yang membiru, seolah di tonjok oleh pukulan yang maha dahsyat ketika dia melihat putri tunggalnya menjerit-jerit di kamar yang dipenuhi oleh terali besi. Dia mencoba menguatkan diri, tapi tak berhasil.

Riani semakin stres. Anjani berulah, dia hampir menghilangkan nyawa teman sekamarnya. Terpaksa Anjani diisolasi. Suaminya kini sudah tidak pernah lagi memperhatikan Anjani bahkan dirinya. Jati selalu beralasan sibuk rapat dengan klien-klien yang entah siapa dan selalu pulang larut bahkan berhari-hari tak pulang. Mertua perempuannya hanya datang untuk menyalahkan ketidakbecusannya sebagai istri dan seorang ibu. Orangtua kandung Riani, sudah terlalu tua untuk dimintai tolong, atau untuk sekedar melayangkan sebuah cerita kesedihan.

Riani tergugu sendiri menatap cermin di hadapannya, wajahnya tirus, rambutnya sudah ditumbuhi helai demi helai berwarna putih, matanya cekung karena jarang memejamkan mata. Dulu, alasan suaminya menikahinya adalah karena ia jatuh cinta dengan matanya, mata berwarna coklat kebiru-biruan yang sedikit memanjang, mirip mata kucing, warisan dari kakeknya yang orang Portugis. Dan mata itu juga dia wariskan pada Anjani.

Riani ingat, di usia ke empat tahun pernikahannya dengan Jati, dia begitu gelisah karena belum hamil. Tapi Jati selalu menyemangatinya, meskipun mertua perempuan yang tak henti membulinya setiap hari, dia tabah, karena Jati setia di sampingnya. Ketika tahun berganti lagi, akhirnya Riani divonis hamil, semua keluarga berbahagia, termasuk mertua perempuannya. Apalagi saat seorang bayi perempuan bernama Anjani lahir ke dunia, semakin semarak keluarganya.

Tapi kebahagiaan itu terhenti ketika vonis dokter menyatakan Anjani mengidap penyakit langka. Ibu mana yang tidak hancur mendengar putri yang dikasihinya mengidap penyakit aneh begitu rupa? Hati Riani kelu, mertua perempuannya kembali membulinya, kali ini lebih parah, seolah-olah ini semua kehendak Riani. Riani tak berkutik, dia diam seribu bahasa, dia hanya menyalahkan dirinya sendiri yang tak becus menjadi seorang ibu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kerap kali pertengkaran demi pertengkaran terjadi setiap hari dengan suaminya, Jati yang dulunya lembut dan romantis, berubah menjadi pemarah dan ringan tangan. Riani hanya bisa menangis dalam hati, perasaannya mati tiba-tiba, dia kehilangan akalnya sebagai wanita. Riani hanya duduk membeku ketika Jati, suami yang dicintainya pergi meninggalkannya, dan tak pernah kembali.

Hujan, menjelma jarum-jarum yang menggertak bumi, menyusuri alur perjalanan waktu, Rasa sunyi adalah sahabat Riani kini, dia sering berdiam diri di kamarnya yang apek. Dulu sebelum suaminya pergi, kamar itu penuh dengan wangi-wangian aneka bunga, rapih dan nyaman. Ketika Anjani masih bayi, Riani sering meletakan Anjani untuk sekedar bermain di kamar penuh cinta itu. tapi kini seolah semua dunia beserta isinya memusuhinya, menyalahkannya.

Sudah lama Riani tak bertatap muka dengan Anjani, semua pihak di rumah sakit jiwa itu memusuhi putrinya. Tak kuasa berderai air mata Riani, menatap dari kejauhan putri satu-satunya itu dalam keadaan yang mengenaskan, tak ada rasa kemanusiaan di dalamnya. Seolah-olah Anjani adalah makhluk astral, yang patut untuk dimusnahkan. Riani tak bisa melarangnya, karena dia tak kan sanggup membayar biaya rumah sakit jiwa yang melangit dari waktu ke waktu, secara tidak langsung, Riani telah menyerahkan putrinya. Dia hanya datang menengok, kemudian pergi. Hati dan akal Riani telah kebal dengan segala tetek bengek musibah yang menimpa kehidupannya.

Nurani seorang ibu yang masih Riani akui, berbisik di telinganya, bahwa semestinya dia sendiri yang harus menanggung semua rasa sakit hati Anjani. Rasa kecewa putrinya itu pada dirinya yang dengan sengaja telah membelenggu masa kebebasannya harus segera diakhiri. Riani berpikir cepat, dia harus melakukan sesuatu, agar kesunyian yang mengerubunginya segera berakhir.  

**

Di suatu pagi yang dingin, ketika burung-burung gereja bertengger di sebuah batang pohon angsana, publik memberitakan kabar mengejutkan yang datang dari rumah sakit jiwa.

 Anjani kabur. Dia melukai banyak pasien dan perawat yang berada di area rumah sakit. Putri kecilnya berubah menjadi mutan yang membahayakan. Sebagai seorang ibu yang melahirkannya, Riani merasakan sakit hati putrinya, dia ingin melakukan protes, tapi entah kepada siapa. Semua orang bahkan pejabat pemerintah pun ikut serta mencari putrinya, karena dinilai berbahaya. Rumah Riani dikepung oleh banyak wartawan, Riani tak bisa keluar.

Riani tahu Anjani tak akan kembali lagi karena putrinya menelan kekecewaan yang besar kepada dirinya karena telah bersekongkol memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Padahal sesungguhnya, Anjani tidak gila. Semakin terpuruklah Riani dalam kesepian dan rasa bersalah. Dia telah merubah Anjani menjadi monster yang berbahaya. Ya, Riani sendiri penyebabnya.

Tapi rasa kecewa Anjani kepada Riani sedikit terbayarkan,. Riani sendirilah yang membawa kabur Anjani. Namun, Riani melepaskan Anjani, untuk pergi seorang diri, merestui sakit hati putrinya itu kepada siapapun yang merasa hidupnya begitu sempurna. Anjani pergi tanpa mengatakan apapun pada Riani, bahkan mencium pipinya pun tidak.

Kesunyian itu sedikit demi sedikit terkikis, setelah membayar sakit hati Anjani. Hidup Riani kini hanya menghitung hari, dia ingin mempercepat laju kematiannya, agar kesunyian itu terbang ke langit. Tapi Riani masih memiliki keyakinan, bahwa kelak, keluarga kecilnya akan berkumpul lagi di sana, ya di sana. Entah di mana.  

***

Tasikmalaya, 13 April 2016

 

asih purwanti Photo Verified Writer asih purwanti

Perempuan biasa yang suka membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya