[CERPEN] Ketika Sakura Mekar

Keyakinan kepada Tuhan, lebih penting daripada cinta sepasang manusia

 

Gerbang Tsuzumi-mon yang dihiasi berbagai ornamen selamat datang, serasa seperti obat mujarab untuk hati yang tengah patah. Udara Kanazawa yang segar membuat nafasku yang sesak menjadi terasa lapang. Musim semi baru saja datang, di sepanjang jalan menuju tempat tinggalku, bunga-bunga sakura bermekaran.

Aku dan Febi, temanku yang sama-sama mengikuti program arubaito serasa tak percaya bahwa kami sudah tiba di Negeri Sakura ini. Pak Mitsuo, selaku pembimbing kami selama di Jepang membawa kami ke sebuah desa dengan pemandangan alam yang indah, rumah-rumah kayu khas Jepang berderet rapi, penduduk yang ramah dan sungai Asano yang jernih, membuat aku dan Febi takjub dengan keindahannya.

 “Kokoni anatatachi wa sundeiru basho desu!” Pak Mitsuo menuduhkan satu rumah kayu yang akan ditempati olehku dan Febi seraya menyerahkan dua buah kunci rumah.

Tanoshimini shite kudasai,” kata Pak Mitsuo lagi, aku dan Febi hanya mengangguk.

Osakini sitsuraishimasu.” Sergah Pak Mitsuo sebelum pergi. Aku dan Febi masuk ke dalam rumah yang terbuat dari kayu tersebut, menempati kamar masing-masing. Perjalanan yang memakan waktu 16 jam membuatku kelelahan dan langsung merebahkan diri diatas kasur.

*

Aku memandang langit Kanazawa dengan perasaan masygul, teringat kedua orangtuaku yang sudah renta di Tasikmalaya sana, sedang apa mereka? Seketika hatiku kembali merasa nyeri, mengingat alasanku pergi ke Jepang gara-gara Kang Salman, calon suamiku yang tega membatalkan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari karena tergoda perempuan lain.

Saat itu aku seperti kehilangan arah, kehilangan tujuan hidup. Aku hidup layaknya seperti zombie, tanpa cahaya. Untungnya Wafa, sepupuku datang mengusulkanku untuk kursus bahasa Jepang, mengingat aku terobsesi dengan Negeri Doraemon itu. Ketika hampir lulus, Miss. Hiroko memberi saran kepada para muridnya untuk mengikuti program arubaito. Tanpa banyak berfikir lagi, aku menerima tawaran itu. Aku menggunakan biaya penggantian pernikahanku yang batal itu lalu terbang ke Jepang, saat itu di pikiranku hanya ada satu tujuan, yaitu lari sejauh-jauhnya.

Dari kamar Febi, aku mendengar sebuah lagu kenangan saat aku masih bersama dengan Kang Salman.

You are always gonna be my love

Itsuka dareka to mata koi ni ochitemo

I’ll remember to love

You taught me how

You are always gonna be the one

Mada kanashii love song

Now and forever...

Aku kembali menumpahkan tangis, kali ini aku ingin menyelesaikan kesedihanku dan menjadi orang yang memiliki harapan baru.

*

Keesokkan paginya dengan mata sembab, aku bersama duapuluh orang dari berbagai negara berkumpul di sekolah bahasa, Pak Mitsuo dan beberapa pembimbing lainnya tengah memberikan arahan mengenai penempatan kerja kami selama di Jepang. Karena bahasa Jepangku bagus, aku cepat mendapatkan pekerjaan, sedangkan beberapa temanku dari Indonesia masih menunggu ditempatkan.

Aku bekerja di restoran yakiniku Sumiyakiya, restoran satu-satunya di Kanazawa yang memiliki sertifikat halal dan terkenal dari restoran lainnya. Tapi aku ditempatkan di bagian yang tidak kuinginkan, sebagai pelayan restoran, padahal aku memiliki ijazah S1 Akuntansi dengan IPK 3,95. Lain lagi dengan Febi, dia ditempatkan di restoran sushi yang kecil, sebagai pelayan, padahal dia lulusan design interior.

Terlihat dari luar Jepang merupakan negeri yang kaya, makmur dan pantas untuk dijadikan tempat yang pas mendapatkan pundi-pundi uang. Seperti orenji, terlihat manis diluar, namun asam ketika dinikmati. Tapi, bukankah tujuanku ke Jepang adalah untuk lari? Aku ingin terus berlari sampai tiba saatnya aku merasa lelah dan berhenti di tempat yang tepat. Aku merencanakan diluar ekspektasiku, aku akan melanjutkan S2, sebuah impian yang ingin kuraih, dan aku akan meraihnya di sini, di negeri sakura.

*

Tidak terasa sudah satu tahun aku berada di negerinya Detective Conan, aku merasa, aku dan kota Kanazawa sudah menyatu. Selama satu tahun ini, aku mendapatkan banyak sahabat dari negara lain, kami banyak bertukar pikiran mengenai budaya kami masing-masing. Bayangan Kang Salman sudah menghilang ketika aku berbaur dengan orang-orang Jepang. Aku tidak mengira akan secepat ini melupakan calon suami yang berkhianat itu. Dan lebih tak menyangka lagi ketika betapa mudahnya membuka hati untuk laki-laki lain. Haruto Aso. Laki-laki sipit dengan senyum yang tak pernah lepas itu menarik hatiku, dan membuat hatiku condong padanya.

Awal pertemuan kami yaitu ketika perayaan Ganjitsu, aku dan orang-orang desa merayakan perayaan itu di dekat asanogawa, saat itu aku memakai yukata dan geta. Karena tak terbiasa memakai geta yang tebal dan tinggi, aku terpeleset dan jatuh ke sungai Asano. Saat itu Haruto yang menolongku dan berujung pada perkenalan yang akhirnya dekat satu sama lain. Haruto sangat baik, dia amat ramah dan sopan, wajahnya mengingatkanku dengan aktor Jepang yang terkenal di tahun 90an, Hideaki Takizawa.

Saat Haruto mengungkapkan isi hatinya padaku, aku ragu, bisakah aku menjalin hubungan serius dengan laki-laki Jepang? Aku juga tidak bisa membayangkan jika orangtuaku yang agamis mengetahui bahwa aku memiliki kekasih yang berbeda keyakinan. Orangtuaku mewanti-wantiku untuk memilih pasangan hidup yang seiman. Tapi, melihat kebaikan hati Haruto, aku tak bisa menolak sinyal-sinyal cinta yang terus menyala di hatiku.

*

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hujan membasahi tanah Kanazawa, aku duduk di sebuah bangku kecil di tepi kuil. kulihat Haruto tengah berdoa di depan kuil. kalau sudah seperti ini, kontras sekali perbedaan kami, aku tak bisa menafikan amanat orangtuaku lagi. Orangtuaku pasti akan bersedih melihat hal ini, hatiku diliputi keraguan.

Doushita?” Tanya Haruto sambil mengambil air minumnya dari ransel yang dititipkannya padaku. Aku tak menjawab pertanyaan laki-laki sipit baik hati itu.

“Nisa, ada apa?” Tanya Haruto lagi dalam bahasa Jepang, airmataku akhirnya tak bisa ditahan lagi, tumpah dengan sendirinya, Haruto panik, dia mengelap airmataku menggunakan lengan kemeja panjangnya, berusaha menenangkanku.

“Aku tidak bisa Haruto,” kataku di sela-sela isak tangis, dahi Haruto berkerut.

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini!” Kataku akhirnya, Haruto terdiam beberapa lama, dia menundukkan wajahnya menahan tangis.

“Kita berbeda Haruto, kita tak bisa bersama,” ucapku lagi, kali ini dengan mantap, Haruto hanya diam, memalingkan wajahnya dari wajahku. Dia hanya tersenyum dan mengajakku pulang. Di perjalanan, kami tidak berbicara satu sama lain, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Mobil yang dikendarai Haruto berjalan pelan, sehingga dari jendela mobil aku bisa menikmati keindahan bunga sakura yang bermekaran dan hangatnya udara musim semi. Sejenak aku bisa melupakan persoalanku dengan Haruto.

*

Seminggu, pasca pembicaraan seriusku dengan Haruto di kuil itu, kami tak berkomunikasi lagi. Aku sudah mau melupakan sosok laki-laki sipit yang menarik hatiku itu. Mungkin ini yang terbaik untukku dengan Haruto, aku hanya membutuhkan beberapa minggu saja untuk melupakan bayang-bayang Haruto di pelupuk mataku dengan menyibukkan diri di kampus dan pekerjaan, aku akan memfokuskan pada impian S2ku saja.

Kulihat teman serumahku, Febi tengah mematut-matut dirinya di cermin besar, dengan penampilannya yang mirip tokoh animasi Cardcapture Sakura, dia akan menghadiri acara jumpa penulis manga di daerah Shinjuku. Terkadang aku iri pada Febi yang begitu bebas mengekspresikan dirinya, dia tak pernah memusingkan sesuatu yang sesungguhnya sudah ada dan sudah jelas.

Kulihat Febi dijemput oleh teman-temannya sesama penyuka manga dengan penampilan menyerupai tokoh animasi yang sering kutonton di televisi, mereka pergi setelah berpamitan padaku. Tiba-tiba ponselku berbunyi, layarnya menampakkan nama yang sangat kurindukan. “Halo?”

*

Bangunan Masjid Umar Bin Khatab yang hanya ada di daerah perfektur Ishikawa, Kanazawa itu terlihat indah. Kembali aku menikmati musim semi, bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, termasuk bunga favoritku yang menjadi ikon Jepang, sakura. Matahari pagi menampakkan sinarnya, aku sedikit menyipitkan mataku ketika menatap seseorang yang menarik perhatianku.

"Assalamualakum Nisa,” seorang laki-laki dengan kopiah putih yang bertengger di kepalanya mengucap salam. Aku tersenyum dan menjawab salamnya. Wajah laki-laki itu begitu bersih, titik-titik air whudu masih menempel di sela-sela alisnya yang tebal. Kami berjalan beriringan didampingi seorang imam mesjid.

Kami bertiga berbincang panjang lebar mengenai rencana keberangkatan laki-laki berkopiah putih itu dan keluarganya ke Indonesia, untuk melamarku. Aku mencuri pandang laki-laki berkopiah putih itu dengan pandangan kagum. Laki-laki berkopiah itu memergokiku dan balas menatapku dengan senyum yang selalu tersungging di bibirnya, pipiku merona, aku memalingkan wajahku.

Aku tak pernah merasa sebahagia ini. Kini giliran laki-laki berkopiah putih itu, Haruto Aso yang mencuri pandang ke arahku. Tidak, dia bukan hanya mencuri pandang tapi mencuri hatiku.

***

 

Kokoni anatatachi wa sundeiru basho desu = Di sini tempat tinggal kalian

Tanoshimini shite kudasai = Semoga betah disini

Osakini sitsuraishimasu = Saya permisi

Ganjitsu = Tahun baru

 

asih purwanti Photo Verified Writer asih purwanti

Perempuan biasa yang suka membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya