[CERPEN] Sepotong Hati Dalam Sunyi

Andai aku tidak hidup dalam kesunyian, mungkin kau dan aku akan bersama.

 

Aku mencintaimu...

Dua kata itu yang mampu kuucapkan dalam sunyi. Maaf aku tak bisa membendungnya lagi. Seperti halnya gunung yang memuntahkan lahar panasnya karena tak kuasa menahan erupsi.

Kau baru pulang dari kantormu kala itu, ketika senja telah menari-nari diatas langit, tak ada senyum, tak ada sapa, hanya bias kelelahan yang terpancar di wajah teduhmu. Aku menatapmu dengan gempita. Seharian aku menyapu wajahku dengan make up seadanya, meskipun aku tak suka wajah bulat telurku diolesi bedak tebal, pemerah untuk pipiku yang pada dasarnya sudah berwarna kemerah-merahan, serta gincu merah menyala yang dilapisi lipgloss. Membuat bibirku mirip ikan lele yang megap-megap tak bisa bernafas.

Sebenarnya aku lebih suka tampil polos tanpa sapuan make up apapun. Itu semua kulakukan hanya untuk menyenangkanmu. Tapi lagi-lagi, kau hanya berlalu tanpa kata. Bahkan sekedar melirikpun tidak. Aku protes dalam sunyi, menatap punggung kokohmu yang tak menyapa. Biarlah, besok petang aku akan menunggumu lagi.

***

Aku mencintaimu....

Masih seperti dulu, ketika kita masih berseragam putih abu. Saat kita berdua kena hukuman dijemur di lapangan sekolah menghadap tiang bendera negeri karena terlambat masuk sekolah. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Malu, murid berprestasipun terkena hukuman juga. Dalam hati aku marah pada Bulan, adik perempuanku yang merengek minta diantar bapak pakai motor, padahal jarak sekolahnya tidak lebih jauh dari sekolahku. Aku hanya menahan tangis saat waktu menunjukan pukul tujuh, dan aku masih harus menggunakan angkutan umum yang tak juga datang.

Aku semakin membenamkan kepalaku saat teman-teman sekolah menyoraki kita berdua. Tapi kau hanya memamerkan deretan gigi-gigimu yang putih ke arah mereka. Mentari yang tak memiliki belas kasihan malah menyemburkan hawa panas tiada tara, kepalaku seperti beruap. Tapi tiba-tiba kau malah memberikan topi abu-abumu ke arahku.

“Terimalah, nanti kau pingsan!” Suruhmu kala itu, mungkin kau melihat wajahku yang sudah seperti kepiting rebus karena paparan mentari yang ganas serta peluh yang kian mengalir deras di dahi. Aku tak kuasa menolak pemberianmu, meskipun aku tahu mukamu juga memerah karena santapan ultraviolet.

Saat itu untuk pertama kalinya mata kita bertemu, sepasang bola mata berwarna coklat menembus ulu hatiku yang kepayahan mengeluarkan virus-virus merah jambu, saat itu tanpa sadar aku mengenal kata cinta.

Semenjak itu aku mulai menjadi pengagum rahasiamu, aku menyukai apapun yang kau sukai, mengikuti ekstrakurikuler pecinta alam, karena kau juga mengikuti kegiatan ekstrim itu. Meskipun Bapak dan Ibu melarangku karena biayanya yang tak sedikit. Aku tetap bersikukuh dengan pendirianku, walaupun aku harus merelakan sebagian waktu belajarku untuk bekerja dengan menjahit baju-baju koko di tempat Ceu Inah, pemilik toko busana muslim di daerahku, aku tak tega meminta uang pada Bapak, karena aku tahu laki-laki paruh baya yang sangat kuhormati itu terlalu disibukkan oleh biaya-biaya yang lebih penting lainnya.

Sepotong cinta itu membuatku melakukan apa saja agar dapat melihat wajah teduhmu, menunggumu di halte dari jam enam pagi adalah kegiatan wajibku saat akan berangkat sekolah. Aku harus membujuk Bapak agar tak usah lagi mengantarku ke sekolah, karena aku ingin bersamamu dalam satu angkutan umum, agar dapat menatap rupamu sepuas hatiku.

***

Aku mencintaimu…

Karena dua kata ajaib itulah, hidupku jadi lebih terarah. Bahkan aku mendapatkan impian yang sejak dulu kukulum, menjadi guru. Melanjutkan ke perguruan tinggi adalah hal yang mustahil diilakukan oleh seorang anak tukang ojek. Tapi aku membuktikannya karena ada kekuatan yang maha dahsyat di belakangku sebagai motivator setiaku.

Kau pun sama, melanjutkan karirmu sebagai karyawan di sebuah Bank swasta. Tapi apakah itu impianmu? Kulihat wajahmu tak beriak kebahagiaan, mata coklatmu diliputi bias-bias kekecewaan. Padahal semenjak sekolah dulu kau begitu puitis mengkampanyekan karya-karyamu ke media.

Ingin sekali aku menghambur ke dada bidangmu, memberikan kalimat-kalimat penyemangat untuk kalbumu yang basah oleh ketiadaan. Tapi apalah dayaku, jiwa keperempuananku tak memihakku untuk mengatakan segala lara bahagia perasaanku. Tapi tak apa, Sang Maha Pemilik Cinta tahu, di balik hati ciptaanNya itu.

***

Aku mencintaimu…

Walau musim telah mengganti jubahnya dengan jubah yang baru. Bagiku, hatiku tetap sama. Rutinitasku di petang hari menunggumu tetap kujalankan. Karena itu merupakan kewajibanku sebagai kekasihmu, walau kau tak pernah menganggapku.

Angin senja yang membawa debu-debu jalanan berterbangan mengusap tubuh atletismu. Aku baru saja selesai mengguyur tubuh lelahku setelah hampir seharian berkutat dengan murid-murid lesku yang akan ujian akhir. Untung saja aku tak melewati momen-momen bahagiaku kala melihat rupamu. Tapi ada yang berbeda di bola mata coklatmu. Sekelebat rona merah muda tampak di sela-sela kelopak matamu ketika kau melewati rumahku.

Punggung kokohmu terlihat mengepakkan sayapnya yang putih pualam. Sedikit demi sedikit tubuh kekarmu menghilang ditelan gang-gang sempit menuju tempat kostmu.

***

Aku mencintaimu…

Biarpun waktu tak memihakku untuk menyapamu. Seharusnya aku tidak usah berimajinasi melayangkan pertanyaanmu padamu. Karena hal itu mungkin akan membawaku ke alam penasaran, meniti lembah tanda tanya setiap malam.

Aku merasakan tubuhku terhempas ke jagat khayalan paling tinggi. Apakah penantianku akan habis masanya? Perasaanku berkecamuk seolah tak sabar ingin segera menerobos lorong-lorong gelap ketidaktahuan.

“Mentari, kapan kau akan mengenalkan calonmu pada kami?” tanya Ibu menghalau imajinasiku dengan lelakiku. Ibu, perempuan berhati tangguh dengan rambut sepinggang miliknya yang sebagian warnanya tak lagi pekat, melainkan berganti warna menjadi putih, seputih sprei yang membungkus tempat tidurku.

“Aku…pasti aku kenalkan Bu, mungkin belum saatnya.” Jawabku sekenanya, aku sedang menunggu lelakiku Bu, hanya dia yang kuinginkan. Desisku dalam hati.

“Bulan sudah memiliki calon…,” sergah perempuan berhati tangguh itu lagi, kulirik Bulan yang sedang menonton acara televisi. Adik perempuanku satu-satunya, si manja yang selalu ingin tampil menawan. Gadis berkulit putih langsat yang usianya terpaut lima tahun dibawahku itu kini sudah menemukan pelabuhan hatinya sedang aku masih terombang ambing oleh ketidakpastian. Akankah penantianku sia-sia? Tidak, aku harus memperjuangkan lelakiku, aku telah menemukan adamku, mereka hanya tidak tahu.

“Usiamu sudah mau dua delapan, kenapa masih betah sendirian? Teman-teman sepermainanmu, Fitri, Ria, Nia. Mereka sudah berumah tangga, apa lagi yang kau tunggu?” Pertanyaan Ibu menohok ulu hatiku, bagai sengatan lebah yang menghantam semua organ vitalku. Ada Bu, suatu saat nanti pasti aku kenalkan padamu. Bisikku yang tertelan oleh angin malam. Kulihat Ibu berlalu sambil menghela nafas.

Bulan menggedor pintu kamarku yang berwarna hitam melukiskan malam, di langit-langit kamarku tersebar replika jutaan bintang.

“Kak, Bulan ingin tidur sama Kakak, bolehkan?” Pintanya manja seperti biasa, tapi aku mulai menyukai kemanjaannya yang tidak dibuat-buat itu. Tanpa menunggu jawabanku, gadis berambut panjang sepunggung itu menghempaskan tubuh jenjangnya ke tempat tidur bersprei putih milikku.

“Aku suka kamar Kakak, seolah-olah nyata tidur dibawah langit pekat bertabur gemintang.” Lirihnya, sambil memejamkan mata yang kecil sedikit memanjang itu, bulu matanya yang lentik, pekat melengkung, nyata sekali saat matanya terpejam. Aku tak habis pikir, sejak kapan dia sedikit puitis? Aku dan Bulan ibarat langit dan bumi.

Bulan yang terlahir jelita memiliki banyak talenta apalagi ketika beranjak remaja, setiap adam yang melihat pasti terpesona. Kini Bulan telah menapaki usia yang sempurna, begitupun dengan kejelitaannya, lelaki mana yang telah berhasil memikat sang dewi yang sedikit manja itu?

Kontras denganku. Aku yang terlahir dengan kulit yang sedikit gelap, meskipun tubuhku sedikit lebih tinggi dari adikku, tapi aku seperti tak terlihat jika disandingkan dengannya, walaupun kami sama-sama terlahir dari rahim yang sama.

Aku serupa bayang yang selalu berada di belakang, kaca mata yang selalu menggantung di kedua bola mataku yang pekat, dengan rambut panjang sebahu yang selalu kukucir satu, lalu tubuh jenjangku yang agak bungkuk. Aku bak si itik buruk rupa yang berharap berubah menjadi angsa yang jelita.

Bulan bercerita panjang lebar tentang lelaki yang berhasil merebut hatinya yang agak beku itu, seperti seorang remaja yang baru mendapatkan haid pertamanya. Kekasihnya yang amat berani bertarung dengan pencopet saat gadis berhidung bangir itu kecopetan di dalam bis ketika ia hendak ke kampus. Itulah kali pertama mata mereka bersirobok, lalu turun pada kedua hati masing-masing. Seperti sebuah lagu yang menyatakan kekuatan cinta pada pandangan pertama.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku hanya tersenyum, melihat gadis berbibir ranum itu dengan lincahnya menceritakan sosok kekasihnya yang amat dicintainya itu. Tak sabar aku ingin bertemu dengan lelaki yang membuat adik perempuanku terserang demam cinta tiada tara.  

Dan tibalah arah pembicaraan yang sesungguhnya. Adikku dilamar! Dengan hati-hati Bulan mengutarakan permintaan maafnya padaku karena berani melangkahiku. Aku hanya tersenyum tipis, aku mengusap rambut panjangnya yang hitam bagai burung gagak itu.

“Jodoh itu tidak ada yang memprediksi, kapan datangnya dan siapa yang lebih dulu mendapatkannya, kau beruntung mendapatkannya lebih cepat daripada aku. Aku ikhlas kau menikah lebih dulu.” Sergahku. Aku mencoba untuk bersikap bijak, aku tidak ingin terlihat kalah oleh adik perempuan yang kusayangi itu.

“Terimakasih Kak,” katanya sambil memelukku erat.

“Tapi apa kau yakin?” tanyaku, aku tak mau adikku menikah dengan sembarang lelaki, ketika ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan. Seperti yang dialami oleh sahabat-sahabatku yang kehidupan rumah tangganya meregang seumur jagung karena keberingasan lelaki bak buah orenji, kelihatan manis di luar namun terasa asam saat dimakan.

“Aku yakin dengan segenap hatiku, aku telah memilih lelaki paling baik yang pernah kukenal!” Katanya, mantap. Lagi-lagi aku tak bisa menyembunyikan senyumku.

***

Aku mencintaimu…

Detik ke detik aku semakin rindu padamu. Sudah dua minggu kau tak hadir di pelupuk mataku. Berbaur dengan asap knalpot kendaraan beroda dua yang menyulut mual, aku tetap menantimu. Penantian itu sudah mendarah daging di sumsum  tulangku. Padahal aku ingin sekali mengatakan seluruh isi hatiku yang tak terkatakan.

Hari-hariku larut dalam perasaan cinta yang terpasung di bilik-bilik hatiku yang kalut. Jika saja bisa kutukar hatiku dengan hatimu, kau pasti akan merasakan hal yang sama dengan apa yang pernah kurasakan saat cinta yang hanya bisa didekap dan dibungkam tanpa ada seorang manusiapun yang tahu. Cinta itu begitu berat kupikul.

Aku berlomba dengan usia, menangkis tiap pertanyaan serupa yang dilontarkan kedua orang tuaku setiap ada tetangga yang menikah. Aku ingin segera memperkenalkanmu pada orang tuaku di hari pernikahan Bulan. Kau tak menyangka aku memiliki seorang adik, kan? Bulan sangat cantik, kecantikannya melebihi artis-artis ibukota sekalipun.

           

***

Apa yang harus kukatakan pada dunia mimpiku? Kaukah itu yang bersanding dengan Bulan di pelaminan? Aku tak pernah menyangka bola mata coklat yang selalu beradu pandang denganku adalah milikmu.

Lelakiku, aku tak sanggup memijak kakiku dengan benar, seolah ada gravitasi lain yang memahat kakiku. Aku terperangkap dalam dimensi ruang dan waktu yang tak sempat kukenali lagi.

Sesuatu yang hangat seolah berlomba menjebol kedua bola mataku, lalu meluncur ke pipi dan jatuh ke tanah. Aku berharap sesuatu yang hangat itu tumbuh menjadi pohon kesedihan yang memasung kenyataan. Bagaimana rupa hatiku kini? Hati yang kini pecah bagai agar-agar yang jatuh menimpa tanah yang tetiba tandus. Di langit, gumpalan mendung yang berisi gerimis menimpa wajah bulat telurku. Bahkan langitpun menangisi kepedihanku.

Perasaanku robek dicakar-cakar realita. Aku bagai pesakitan yang tiba masanya eksekusi. Sepotong cinta itu kini menjelma algojo yang siap menebas kepalaku dengan senjata pamungkasnya.

Kau tersenyum memamerkan deretan gigi putihmu yang menawan, menyalami sanak keluarga dan karibmu, begitu bahagia. Bintang, lelakiku, kini bersanding Bulan yang sejatinya adalah pasangan, selamanya Mentari dan Bintang memang tidak seharusnya bersama.

Mataku tiba-tiba menjadi pekat, gravitasi sudah tidak mampu menampung bobot tubuhku lagi, aku terhempas ke pelukan bumi. Tidak akan ada lagi yang harus kutunggu di beranda.

 

****

Tasikmalaya,  Oktober  2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                          

 

 

 

 

 

 

asih purwanti Photo Verified Writer asih purwanti

Perempuan biasa yang suka membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya