[CERPEN] Febi

Tidak ada kesedihan yang abadi.

 

Febi, wanita berkulit hitam manis dengan senyum semili di wajahnya itu bertopang dagu di meja kafe, dia tengah memandang hujan yang turun di sore hari. Setiap sore tepat pukul empat, Febi selalu datang ke kafe itu dan duduk di dekat jendela, menopang dagunya yang lancip dan memandang keluar. Pegawai kafe sudah mengetahui kebiasaan pelanggannya yang satu itu. Secangkir caramel macchiatto tanpa bertanya macam-macam jika tidak ingin dibalas dengan tatapan dingin yang menusuk.

Pandangan Febi selalu kosong. Seolah jiwanya entah sedang berada dimana. Titik-titik air hujan seolah menyeret ingatannya kembali ke masa empat tahun yang lalu. Ke suatu waktu dimana untuk pertama kalinya dia merasakan cinta yang begitu besar pada seorang laki-laki. Laki-laki yang telah mengubah hidupnya. Karena tidak ada hal yang membuat jantungnya berdebar selain mengenang perasaan yang pernah datang.

**

Empat tahun yang lalu, Febi adalah gadis polos yang ceria. Dia bekerja sebagai staf admin di sebuah perusahaan kosmetik di Tasikmalaya. Febi merupakan gadis yang patuh, rajin, baik hati dan supel. Dia mudah bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya, sering menjadi relawan bagi teman-teman kantornya yang membutuhkan bantuannya.

Terkadang Febi berubah menjadi tong sampah ketika sahabat-sahabatnya curhat padanya. Semua orang menyukai Febi, keluarganya, sahabat-sahabatnya, bosnya dan teman-teman kantornya. Dunianya menjadi lebih berwarna setelah dia bertemu dengan laki-laki itu. Budiman.

Budiman, karyawan baru di perusahaan tempat Febi bekerja. Pertama kali bertemu, Febi langsung menyukainya. Budiman laki-laki yang tampan, ramah, sopan dan pekerja keras, sesuai dengan namanya. Jika Budiman keteteran dengan pekerjaannya, dengan senang hati Febi membantunya bahkan menemani Budiman saat lembur kerja. Karena hal itulah, akhirnya mereka menjadi dekat.

Budiman sering mengantarnya saat pulang kerja. Bahkan setiap weekend mereka sering menghabiskan waktu libur bersama. Terkadang ke bioskop, obyek wisata Situ Gede, Bukit Kacapi, Gunung Galunggung, Pangandaran dan ke tempat-tempat indah lainnya. Febi juga dekat dengan keluarga Budiman, begitupun Budiman.

Karena intensitas pertemuan mereka yang semakin intim, akhirnya hati Febi tidak kuasa menolak lagi ketika  getar-getar asmara menyeruak di kisi-kisi hati gadis ceria itu. Dan Febi meyakini bahwa Budiman pun memiliki perasaan yang sama dengannya.

Orang-orang di kantor juga mengetahui kedekatan Febi dengan Budiman. Mereka bahkan menyebut Febi dan Budiman dengan sebutan Dynamic Duo. Di mana ada Febi disitu ada Budiman, begitupun sebaliknya. Mereka seperti ditakdirkan untuk bersama.

Senyum Febi semakin manis, hidup Febi serasa sempurna karena kehadiran Budiman. Bagi Febi, Budiman adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhir, dia tidak ingin cinta yang lain. Febi mengucap syukur berkali-kali karena Tuhan begitu baik padanya karena telah mengirim Budiman untuknya.

Bagi Febi, Budiman adalah sosok yang cerdas, menyenangkan dan istimewa. Jika teman-temannya bertanya pendapatnya tentang Budiman. Febi sering mengatur nafasnya dengan benar sambil memejamkan matanya, Febi berkata, “aku belum pernah bertemu laki-laki sesempurna dia dan aku belum merasa seperti ini, seumur hidupku...”.

Waktu berputar dengan sangat cepat, empat tahun berlalu, namun hubungan Febi dan Budiman masih sama seperti biasanya. Usia Febi duapuluh delapan, namun Febi belum mendengar Budiman menyatakan tanda-tanda ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius lagi. Orangtua Febi semakin mendesaknya untuk segera menikah. Febi ingin sekali menanyakan kapan Budiman melamarnya, namun harga dirinya sebagai wanita terlalu tinggi untuk sekedar bertanya.

Malam itu malam minggu, malam yang tidak akan Febi lupakan seumur hidupnya. Budiman datang ke rumahnya dan membuat hidup Febi berubah. Saat itu Febi tengah mendengarkan lagu lawas kesukaannya sambil sesekali tubuh langsingnya bergoyang mengikuti irama dari lagu tersebut. Gerakannya terhenti ketika ibunya memanggilnya dan memberitahu bahwa Budiman datang.

“Feb, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting untukmu,” ucap Budiman dengan senyum manisnya. Hati Febi gembira, ‘inikah saatnya?’ batin Febi berbunga-bunga. Budiman mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah berbentuk hati, Febi menerka isinya pastilah sebuah cincin. Febi menyembunyikan senyumnya yang semakin manis. Lalu Budiman mengeluarkan selembar kertas bersampul biru dan hijau dari dalam jaket kulitnya.

“Inilah yang penting itu,” ucap Budiman lagi. Febi menunduk malu-malu.

“Aku yakin kau pasti akan mengatakannya,” ujar Febi tetap dengan senyum manisnya.

“Sebelum kau melihat cincinnya, lihatlah dulu yang satunya lagi. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang desainnya,” ujar Budiman. Febi menerima selembar kertas yang disodorkan Budiman ke arahnya, membukanya dan membaca isinya. Tangan Febi gemetar, airmatanya jatuh, tubuh Febi pun terjatuh. Budiman panik. Sayup-sayup di ujung kesadaran Febi, terdengar lagu lawas dari dalam kamarnya.

You come and go

You come and go.

**

Hari menjelang maghrib, Febi belum beranjak dari tempat duduknya. Dia masih berkelana di dunianya sendiri. Biasanya jam lima dia sudah pulang, namun karena hujan semakin deras dia terpaksa menunggu reda. Febi menatap cangkir berisi caramel macchiattonya yang kini sudah habis, dia melambaikan tangan ke arah pelayan kafe.

“Aku ingin menambah caramel macchiattoku” pesannya pada seorang pelayan kafe. Pelayan itu lalu mencatatnya di sebuah note.

“Ada yang lainnya Nona?” tanyanya lagi. Febi menggelengkan kepalanya.

“Baiklah,” kemudian pelayan kafe itu pergi. Febi masih bisa mendengar sedikit keributan dari para pelayan kafe di meja barista.

Febi memejamkan matanya mencoba mendengar bunyi hujan diantara lantunan lagu Karma Chameleon yang dinyanyikan oleh Boy George And Culture Club. Tapi lagu era 80an itu lebih dominan terdengar dibandingkan suara hujan, tak sadar bibirnya yang tipis mencoba mengikuti lagu tersebut.

Karma karma karma karma karma chameleon

You come and go

You come and go

Loving would be easy if your colours were like my dream

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Red gold and green

Red gold and green

Febi menyesap kenangan demi kenangan bersama lagu lawas itu. Ingatannya kembali ke masa di mana dia bahagia kemudian terjatuh dan semakin jatuh.

**

Kejadian malam minggu itu membuat dunia indah Febi dihancurkan oleh tokoh utama itu sendiri. Ternyata kebersamaannya dengan Budiman selama empat tahun itu hanya sebongkah kesalahpahaman yang fatal. Budiman hanya menganggapnya sebagai sahabat baik, tidak lebih.

Kedatangan Budiman malam minggu itu hanya untuk meminta pendapat Febi mengenai cincin dan design undangan pernikahan Budiman, dan nama yang bersanding dengan Budiman di undangan itu bukanlah nama Febi.

Febi merasa Budiman telah menipunya. Alasan Budiman dekat dan sering mengajaknya jalan-jalan itu merupakan sebuah ungkapan terimakasih, karena Febi sering membantu pekerjaannya di kantor. Harapan indah yang Febi bangun diruntuhkan oleh kebodohan dirinya sendiri.

Febi menyesal karena dulu tidak menegaskan kejelasan hubungannya dengan Budiman. Nasi telah menjadi bubur, hatinya terlanjur dia berikan seutuhnya kepada laki-laki bernama Budiman. Dan laki-laki itu pergi meninggalkan sejumput luka yang teramat dalam di hatinya.

Mungkin kisah cinta memang harus dibuat pedih dahulu agar menjadi kisah cinta klasik, seperti halnya Qois dan Laila. Namun Qois lebih beruntung karena Laila juga mencintainya. Berbeda dengan Febi, pada kasusnya dirinyalah yang seperti majnun tapi tanpa balasan cinta dari orang yang dicintainya. Febi terjatuh kian dalam, karena dirinya sudah diperbudak oleh perasaan cintanya sendiri.

Akibat kekecewaan yang teramat dalam, jiwa Febi mengalami sedikit goncangan. Febi hampir terkena skizofrenia. Bayang-bayang Budiman berikut kenangan demi kenangan yang telah dilewati bersama dengan Budiman selama empat tahun selalu mengikutinya.

Akhirnya tubuh Febi tak kuat memikul beban yang menghimpit jiwanya, fisiknya pun jatuh sakit. Dia tidak mau makan dan hanya ingin mengurung diri di kamar. Yang pada akhirnya Febi harus dilarikan ke rumah sakit karena penyakit lambung parah. Febi yang ceria dan supel kini berubah menjadi sosok yang pemurung dan dingin. Senyumnya yang dulu lebar dan manis kini hanya bisa dia sunggingkan satu miligram saja.

Febi resign dari perusahaan tempat dia bekerja, karena dia tidak sanggup meskipun sekedar menegakkan kepalanya di hadapan teman-teman kantornya yang sering menatapnya iba. Febi kemudian mencoba menjajal kembali keahliannya menulis yang menjadi hobinya sejak masih sekolah dasar, lalu membuka usaha penerbitan indie.

Febi membenamkan kesedihannya dengan bekerja siang dan malam. Dia akan tidur di atas pukul sebelas malam dan akan bangun pukul empat dini hari. Waktunya dia habiskan untuk bekerja. Belum ada setahun, usaha penerbitannya sukses. Kini dia tengah merambah bisnis fashion di toko online miliknya. Karena kesibukan yang menguras separuh waktunya, sedikit demi sedikit Febi terbebas dari penyakit halusinasi yang hampir merenggut kewarasannya itu.

**

Adzan maghrib berkumandang, hujan reda, hanya menyisakan titik-titik gerimis. Febi memutuskan untuk meninggalkan kafe itu dan berjanji tidak akan kembali lagi dalam keadaan yang sama. Dia ingin menikmati secangkir caramel macchiatto dengan hati yang tidak lagi hampa.

Hidupnya kembali melalui titik balik. Usia Febi tepat dua puluh sembilan tahun. Orangtuanya mencoba berbagai cara untuk mencarikan pasangan hidup untuknya, namun dengan berbagai cara pula Febi menolaknya. Hatinya masih diliputi oleh laki-laki penipu itu.

Febi mengeluarkan sebuah kertas bersampul biru dan hijau, sebuah design undangan pernikahan Budiman yang membuat Febi patah hati. Febi merobek undangan pernikahan itu dengan mimik muka yang datar. Sobekan itu menyisakan hari dan tanggal yang sudah kadaluarsa, dengan sedikit kesal Febi merobek-robek sobekan undangan itu menyerupai serpihan-serpihan kecil. Hati Febi akhirnya sedikit tenang, nafasnya kembali teratur. Dia kembali menenggak caramel macchiattonya sampai habis.

Tanpa disadari Febi, seorang pria berjaket kulit memandang ke arah Febi tanpa berkedip. Seolah dia mengetahui apa yang tengah Febi rasakan. Pria itu berwajah seperti aktor Reza Rahadian namun dengan sedikit brewok yang menghiasi kedua pipinya yang sedikit tirus. Lingkar matanya gelap, seolah dirinya dikepung oleh kesedihan yang amat dalam.

Setiap sore pria itu juga sering menghabiskan waktunya di kafe tersebut. Dan selalu memandang ke arah perempuan yang sering menopang dagu lancipnya sambil memandang keluar dengan sorot mata hampa. Pria itu seolah-olah bisa membaca apa yang tengah Febi rasakan. Si pria memberanikan diri berjalan menghampiri Febi yang sudah berdiri dan hendak meninggalkan kafe.

“Perpisahan itu memang menyedihkan,” sahut si pria itu kepada Febi. Febi menoleh ke arah suara di belakangnya.

“Namun tidak ada kesedihan yang abadi,” lanjut si pria itu. Febi hanya melihat sekilas penampilan si pria kemudian duduk kembali. Tanpa disuruh, si pria itu duduk di hadapan Febi dalam satu meja.

“Salman,” sergah si pria seraya mengulurkan tangannya ke arah Febi. Febi pun beringsut, menerima uluran tangan si pria.

“Febi.” Beberapa saat mereka hanya diam.

“Sepertinya mulai besok kita akan berada dalam satu meja untuk sekedar basa basi,” ujar Salman. Febi hanya diam menatap tanpa kedip pria beraroma kopi di hadapannya itu.

“Boleh, kenapa tidak?” Sahut Febi dingin. Setelah mereka bertukar nomor telepon, akhirnya Febi meninggalkan kafe itu. Dalam perjalanan pulang, Febi meyakinkan dirinya sendiri agar tidak terlalu larut dalam sebuah harapan. Karena  terkadang harapan itu cepat sekali tumbuh dan lekas pula luruh.

Dan Febi tidak ingin kembali binasa gara-gara terperangkap pada sebuah harapan yang palsu. Namun feelingnya mengatakan bahwa pria itu mengalami hal yang sama dengannya. Seperti halnya segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, kesedihanpun mungkin juga berpasangan.

Febi meneruskan langkahnya menuju motor maticnya. Gerimis kecil menerpa rambut panjang Febi, jatuh ke pipi kemudian terdampar di tanah, seakan ingin membantu mengguyur jejak-jejak masa lalu Febi juga perasaannya untuk kemudian diganti dengan perasaan yang baru.

***

Tasikmalaya, Oktober 2017

 

asih purwanti Photo Verified Writer asih purwanti

Perempuan biasa yang suka membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya