[CERPEN] Gadis

Teruntuk para perempuan yang tengah menanti jodohnya

 

Malam beranjak tua. Aku masih berjibaku dengan mukena dan sejadah yang semakin hari semakin lusuh. Seperti halnya wajahku yang mulai ‘lusuh’ dengan kerutan-kerutan tipis yang mulai muncul di sudut mata. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi mukena lusuhku saat aku merapal doa yang sama setiap detiknya. Teringat kata-kata Ibuku tadi siang yang sangat menohok ulu hatiku.

“Mungkin ini adalah syukuran ulang tahun terakhir kamu bersama kami Dis,” kata Ibuku sambil menyendok nasi kuning ke dalam wadah untuk dibagikan ke tetangga dan sanak saudara.

“Maksud Ibu apa?” Tanyaku khawatir, aku mulai bisa menerka arah pembicaraan Ibu.

“Mungkin saja Ibu dan Ayahmu keburu masuk kubur tanpa sempat melihatmu naik ke pelaminan!” Tegas Ibu sambil melengos ke ruang tamu. Aku hanya terpaku tanpa berbicara apapun saat itu.

Ingatanku kembali ke kejadian dua tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk berjilbab dan tidak pacaran. Laki-laki itu bernama Salman, yang kuharap akan menjadi pendamping hidupku nanti. Namun ternyata aku keliru, kedekatannya denganku hanya menjadikanku sebagai mainan saja ketika dirinya bosan dengan rutinitas kerjanya yang menguras hampir seluruh waktunya. Tak hanya itu, Salman ternyata memiliki pacar lain dengan beberapa perempuan, salah satunya dengan sahabatku sendiri. Saat itu aku seperti kehilangan arah, mengingat usiaku sudah menginjak kepala tiga. Untung saja beberapa sahabat memotivasiku untuk tidak jatuh.

Mungkin Alloh menegurku dengan caraNya karena aku terlalu berharap pada manusia dan setelah aku banyak mengikuti kajian agama, ternyata aku baru tahu bahwa pacaran itu dilarang oleh islam. Aku malu, sempat terbit penyesalan, kenapa tidak dari dulu aku mendekat kepadaNya.

Pun masalah pekerjaanku, tak ubahnya dengan masalah percintaanku yang sama-sama suram. Aku yang hanya lulusan SMA harus tunduk pada nasib dengan hanya menjadi pelayan toko dengan gaji yang minim dan jam kerja yang hampir 13 jam. Ditambah lagi dengan para karyawan bermuka dua. Empat tahun aku bertahan, selebihnya aku menyerah, teman-temanku sesama karyawan saling menjatuhkan untuk memperebutkan hati Sang Bos agar menjadi orang kepercayaannya.

Semenjak resign dari pekerjaanku yang dulu, aku mendapatkan pekerjaan baru yang tidak jauh berbeda dengan pekerjaanku yang lama bahkan lebih parah. Para karyawannya saling sikut, saling menjatuhkan satu sama lain, bahkan melakukan affair dengan bos mereka sendiri. Aku bergidik, aku takut. Aku yang pendiam dan tidak peduli, lama kelamaan mungkin akan tergerus oleh mereka yang berkuasa. Setelah berfikir panjang, akupun kembali keluar dari kungkungan yang membuatku tidak nyaman itu. Dan berkutat dengan kesunyian.

**

Kini, aku berada dalam kesunyian yang nyata. Pekerjaan tetap tidak punya, cintapun tidak ada, padahal daun-daun usia sudah tercabut helai demi helainya. Dan aku masih belum menjadi apa-apa, mungkin aku memang tidak akan menjadi apa-apa. Dan aku sejatinya memang tidak mengharapkan untuk menjadi apa-apa meskipun orang tua dan sanak saudaraku kecewa aku tidak menjadi apa-apa.

Usiaku sudah melewati angka tigapuluh, usia yang kata tetanggaku termasuk kategori waspada jika di usia itu belum menemukan jodohnya juga. Aku terlalu senang dengan dunia sunyiku sehingga mengacuhkan detik demi detik waktu yang sesungguhnya berharga.

Teman-teman SMAku sudah berumah tangga bahkan anak-anak merekapun ada yang sudah masuk SD. Tinggal aku seorang yang masih berada dalam siklus diam. Ayah dan Ibuku tak henti-hentinya merajuk, merengek. Impian mereka cuma satu, melihat anak gadisnya menikah. Itu saja. Kata orangtuaku mustahil mereka menimang cucu, karena mungkin sebelum melihat sang cucu lahir ke duniapun mereka sudah keburu masuk liang lahat. Aku hanya bisa menangis dalam hati mendengarnya dan melontarkan pertanyaan pada Tuhan, kenapa?

Ujian datang silih berganti, orangtuaku hendak menjodohkanku dengan laki-laki yang sudah beristri tiga. Jelas aku menolak, aku hendak dijadikan istri keempat begitu? Jawabanku TIDAK!

“Sudahlah Dis, terima saja takdirmu. Menikah sajalah dulu, masalah sebulan cerai tidak apa-apakan? Untuk menghapus status perawan tuamu itu!” Sergah Ayahku. Aku menangis, bahkan dorongan untuk tetap tegar menghadapi cobaan tidak kudapatkan dari orangtuaku sendiri. Kenapa mereka terlalu memikirkan penilaian orang lain? Sehina itukah perempuan yang terlambat menikah? Aku tetap ngeyel dengan jawaban tidakku, meskipun katanya orang yang hendak mereka jodohkan denganku itu merupakan juragan sapi kaya raya di daerahku.

“Jangan tinggi hati kamu Gadis! Memangnya kamu itu cantik? Kaya raya?” Sergah Ibuku dengan nada tinggi, ketika aku kembali mereka jodohkan, dan kembali pula aku menolak. Kali ini dengan laki-laki anak kepala desa.

“Tapi dia suka mabuk Bu, dia juga terkenal suka main perempuan.” Belaku.

“Mungkin setelah menikah denganmu, dia jadi insyaf, bukankah menurutmu itu bagian dari dakwah juga? Dicoba sajalah dulu, menemukan manusia setengah malaikat di zaman seperti ini sulit kau temukan. Harusnya kau bersyukur masih ada laki-laki yang mau melamarmu!” Cerocos Ibuku.

“Aku tidak mau buat PR Bu, dan menikah itu untuk seumur hidup bukan ajang coba-coba.” Balasku lagi. Ibuku diam dan pergi tanpa berkata-kata lagi. Aku tahu Ibuku pasti sedih, aku hanya beristigfar dalam hati. Ya Alloh, ampuni aku.

“Dis, cobalah untuk pergi bergaul dengan teman-temanmu yang lain, ke bioskop atau ke mall, siapa tahu ketemu jodoh. Daripada kamu hanya diam berpangku tangan, yang jelas-jelas tidak menghasilkan apa-apa!” sergah Bibiku tanpa tedeng aling-aling, langsung menghantam ke ulu hatiku yang terdalam. Mungkin itu suruhan Ibuku, yang sudah menyerah melontarkan beragam pertanyaan serupa padaku.

“Untuk bertemu dengan jodoh tidak harus pergi ke mall atau ke tempat-tempat seperti yang Bibi katakan. Lalu siapa bilang aku tidak menghasilkan apa-apa? Aku tidak diam, aku bekerja, sebagai penulis komik dan aku berpenghasilan!” Balasku, tidak terima dengan pernyataan Bibiku .

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kamu itu, selalu saja ngeyel, asal kamu tahu keburu tua kamu nanti. Apa kamu tidak kasihan dengan orangtuamu yang sudah renta? Mereka mengharapkan anak satu-satunya sukses, setidaknya sukses menikah.” cerocos Bibiku lagi sambil ngeloyor pergi, aku yang hampir membalas ucapannya menutup mulutku lagi. Gusti, apa kesalahanku?

**

Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar.

Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang nanti?

 Aku berjanji, aku akan memulai hari ini dengan hati gembira, tidak akan ada lagi wajah cemberut dengan senyum hanya semili. Aku akan melebarkan senyumku menjadi dua mili misalnya bahkan lebih dari itu.

“Gadis, ada surat undangan dari temanmu, Ibu simpan di atas televisi.” Kata Ibuku pagi harinya, ketika aku habis mencuci. Sebenarnya aku masih agak trauma dengan kata undangan, melihat bulan september adalah bulannya orang menikah. Tapi aku menegarkan hatiku, bahwa aku harus terbebas dari rasa takut dan khawatir yang menjadi belenggu di alam bawah sadarku dengan cara menghadapinya.

Surat undangan itu berbeda dengan undangan pernikahan pada umumnya, tidak ada nama kedua mempelai disitu. Setelah kubaca, aku lega, ternyata itu bukan undangan pernikahan melainkan undangan reuni akbar SMP. Apa? Reuni?

Kembali rasa takut dan khawatir merajai alam bawah sadarku. Reuni, sebuah kata yang asing bagi orang introvert sepertiku. Yang kutahu, reuni adalah sebuah ajang pertukaran pertanyaan. Pertanyaan tentang gaji dan pekerjaan, tentang anak dan pernikahan, tentang kesuksesan dan kegagalan, tentang segalanya.

Dan reuni adalah hal yang paling menakutkan untuk seseorang yang bukan apa-apa sepertiku. Reuni itu menyeramkan seperti Picolo, musuh bebuyutan Shun Go Ku di film kartun kesukaanku semasa kecil, Dragon Ball. Dan jelas, undangan reuni yang kuterima pagi itu lebih menakutkan daripada menghadiri seratus acara pernikahan.

“Bu, ada undangan reuni, aku datang tidak ya?” tanyaku pada Ibu yang saat itu tengah membakar terasi.

“Datang saja, lagian diundang kok gak datang sih!” jawab Ibuku ketus, sudah beberapa hari ini Ibuku judes, setelah penolakanku berkali-kali tentang perjodohanku seminggu sebelumnya. Bahkan Ayahku, Pamanku, Bibiku, dan saudara-saudaraku yang lain secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya padaku yang mungkin tidak tahu diri karena masih melajang sampai saat ini. Kalau tidak ada iman di hati mungkin aku sudah lari ke rel kereta api.

**

Kuputuskan untuk datang saja ke acara reuni, daripada aku menjadi bulan-bulanan keluargaku di rumah. Toh, ini acara reuni akbar, semua angkatan ada disitu, dari mulai angkatan 70an sampai angkatan 2017an. Aku yakin, teman-teman seangkatanku tidak akan menemukanku. Lagipula aku bukan anggota OSIS, bukan pula pasukan cheerleaders dengan tarian khasnya. Aku hanya murid kutu buku yang sebagian waktu istirahatnya dihabiskan di perpustakaan.

Tak kutemukan wajah-wajah yang kukenal, selain teman sebangkuku Nuri yang kini sudah memiliki dua orang putra yang lucu-lucu. Aku bersyukur. Setidaknya aku bisa bernostalgia dengan Nuri mengenang masa-masa ABG kami tanpa dicecar dengan beragam pertanyaan yang menusuk hati. Saat sedang asyik-asyiknya bernostalgia kami berpapasan dengan beberapa teman yang ternyata satu angkatan dengan kami. Meskipun sebenarnya aku lupa. Hal yang kutakutkan tidak terjadi, mereka ternyata hanya bertanya sekedarnya saja, bahkan beberapa dari mereka senasib denganku.

Seminggu berlalu setelah acara reuni akbar itu. Aku dikagetkan dengan telepon dari Ayahku, saat itu aku sedang berada di Bandung menengok sepupu yang baru saja melahirkan. Di telepon, Ayahku mengatakan bahwa ada laki-laki yang datang melamarku. Aku kaget, siapa?

**

Pernikahanku berlangsung khidmat, janji Allah benar adanya. Laki-laki yang baru saja mengucap ijab qobul dengan Ayahku adalah teman SMPku, dulu dia adalah ketua murid di kelasku. Saat reuni kami mengobrol banyak, bertukar tanya tentang status dan pekerjaan. Sifat dan kesukaannya aku tahu betul, karena dulu kami sama-sama aktif di mading sekolah. Dan dia tidak tahu, bahwa dulu diam-diam aku mengaguminya.

***

 

Tasikmalaya, September 2017

 

asih purwanti Photo Verified Writer asih purwanti

Perempuan biasa yang suka membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya