[CERPEN] Surti

Cerpen

“Mbok, ini makannya sudah Surti siapin,” kata Surti dari dapur. Mbok Surti bangun dari biliknya, berjalan terhuyung huyung menuju dapur.

“Itu, Mbok, sayur bayam sama lauk pindang,” kata Surti menambahkan. Si Mbok mengambil piring lalu dia isi satu centong nasi di tambah sayur dan lauk yang Surti buatkan. Sambil makan Si Mbok berkata kepada Surti “Nduk, Parno anakmu mana? Kok, sudah maghrib gini belum pulang?” tanya Si Mbok sambil menelan sesuap nasi di tambah secuil pindang. Surti mencuci piring dan panci setelah masak dan dia berkata ke Si mboknya. “Nanti juga pulang Mbok, paling juga lagi main bola."

Surti tinggal di rumah almarhum Bapaknya. Sepeninggal Bapak Surti, dia pulang dari rantauannya di Jakarta karena tidak ada yang merawat Ibu dan anak semata wayangnya, Parno. Surti hanya bekerja sebagai buruh cuci di kampungnya daerah Sleman, Yogyakarta. Pendapatan Surti sebagai buruh cuci hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sekolah Parno yang kini masuk kelas lima sekolah dasar. Suami Surti minggat karena kecantol wanita lain.

Hari-hari Surti bekerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarga kecilnya. Si Mbok juga sudah lanjut usia dan sering sakit-sakitan. Setiap malam Surti selalu memijat Mboknya, tak jarang Surti sering mengeluh kenapa hidup ini tidak adil. Namun Surti percaya Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk masa depan.

Selesai memijat Mboknya, Surti bersiap untuk tidur, hanya saat dia hendak tidur saja Surti terus memikirkan beban hidup yang dialaminya. Kenapa begitu pahit hidup ini? Tidak ada yang pernah meringankan beban hidupnya, bahkan hingga larut malam pun mata surti enggan untuk tertutup.

“Oh, Tuhan, salah apa hamba-Mu ini? Kenapa begitu berat cobaan hidup yang Engkau berikan?” kata Surti dalam batin mencoba mengeluh pada Tuhannya. Di usianya yang sudah menginjak kepala empat Surti sudah tidak punya keinginan untuk bersuami lagi, namun keinginannya untuk merantau masih ada karena pekerjaannya saat ini tidak banyak upah yang dia terima.

Suatu hari saat Surti mencuci baju dari langganannya, dia menemukan sesuatu di dalam saku celana yang terlihat masih baru. Surti merogoh saku celana di bagian kanan karena terasa ada sesuatu yang mengganjal. Dia menemukan lintingan uang yang diikat karet dengan pecahan seratus ribu. Surti segera menjemur uang itu di atas tungku yang setiap hari ia gunakan untuk memasak karena uang itu sudah basah bercampur air sabun.

“Satu... dua... tiga... jadi  satu juta semuanya,” jari jemari Surti menunjuk ke arah uang yang dia keringkan di atas tungku sambil menghitung jumlahnya. Dia melanjutkan mencuci baju dan berkeinginan untuk mengembalikan uang itu setelah selesai mencuci saat mengembalikan hasil cuciannya.

Namun setelah selesai mencuci, ada pikiran lain yang mengganjal di benak Surti, “SPP Parno sudah nunggak 3 bulan." Surti mengambil uang di atas tungku yang sudah kering lalu menyimpannya sendiri untuk melunasi tunggakan SPP anaknya. Surti sedikit sumringah, tergambar senyum di wajahnya. Mungkin ini adalah jawaban atas doa dan keluhan Surti setiap malam. Selesai mengantar cucian dengan segera Surti menuju ke sekolah Parno dengan sepeda reotnya untuk melunasi SPP dan juga membayar bulan depan. Begitu sumringah Surti karena bisa melunasi dan membayar SPP anaknya tercinta.

Namun saat pulang dia melihat orang di depan rumahnya yang sedang bicara dengan Si Mbok, Surti segera memarkirkan sepeda tua peninggalan Bapaknya untuk bersandar di pohon lalu segera menuju  ke rumahnya. “Kok Pak Jono gak di suruh masuk Mbok? Ada apa?” kata surti yang keheranan. 

“Nduk, kamu lihat uang di saku celana Pak Jono tidak? Kata beliau dia meninggalkan uang di saku celananya,” ujar Si Mbok menerangkan pokok perkara. “Iya Mbak Surti. Seingat saya, uang saya ketinggalan di saku celana yang mbak Surti cuci,” kata Pak Jono menambahkan.

“Anu..itu tadi saya nyuci ga ada apa apa, Pak,” jawab Surti gelagapan karena sedang berbohong.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kamu yakin nduk?” tanya Si Mbok sekali lagi untuk memastikan. “Iya Mbok, Surti yakin ga ada apa apa pas Surti nyuci tadi,” kata Surti untuk memastikan ucapannya. “Ya sudah saya pulang dulu,” kata Pak Jono lalu pergi berlalu. Surti dan Mboknya pun masuk ke rumah.

Saat Surti menyiapkan sayuran untuk dia masak, Si mbok menghapmiri Surti di dapur. “Nduk, kamu tadi habis dari mana kok mulangin cucian lama gak kayak biasanya” kata Si Mbok membuka percakapan. Surti sedikit kaget dengan pertanyaan Mbok nya, Surti juga tidak bisa berbohong.

“Tadi Surti dari sekolahnya Parno Mbok, Surti lunasin semua tunggakan SPP Parno,” jawab Surti dengan nada sedikit menyesal. Si Mbok sedikit kaget lalu berkata. “Jadi bener kamu nemu uangnya Pak Jono, nduk?” Surti melenguh mengeluarkan nafas panjang dan berkata.

“Iya Mbok, Surti terpaksa. Tapi kalau sudah ada uang pasti bakal Surti balikin uangnya."

“Gak baik nduk bohong itu, kamu sama saja mencuri,” jawab Si Mbok sedikit kecewa dengan kelakuan anaknya. Surti tidak bisa menjawab apa-apa dan terus mencuci sayuran yang akan segera dia masak.

“ Tok.. tok.. tok, mbak Surti!!” suara ketukan pintu terdengar  dari dapur, Surti yang sedang mencuci panci dan wajan sehabis masak segera keluar untuk melihat siapa yang bertamu. Pak Jono lagi, namun kali ini mereka di temani seorang polisi. Surti kaget dan langsung berkata “Loh ada apa pak Jono kok ada pak polisi di sini?”.

“Dengan saudari Surti?” suara pak polisi tegas dan berwibawa. “Iya pak saya Surti, ada apa ya pak?” Surti heran dan merasa badannya gemetar. “Saudari Surti terbukti mengambil uang dari saku celana Pak Jono saat mencucikan celananya, mari ikut saya ke kantor untuk di mintai keterangan,” kata pak polisi dengan nada tegas menjelaskan tujuannya dan segera menarik pergelangan tangan Surti.

“Saya bukan maling pak, saya pasti kembalikan uangnya Pak Jono,” suara Surti ketakutan saat di gelandang pak polisi. “Mbok, tolong Surti, Mbok!!” Surti memanggil-manggil Mboknya, lalu Si Mbok berjalan sedikit berlari dan tertatih-tatih karena sudah tua.

“Anak saya bukan maling pak. Lepasin anak saya,” rengek Si Mbok sambil menarik-narik baju anaknya, Surti menangis meronta-ronta sembari berkata “Saya bukan maling pak, saya bukan maling pak, lepasin saya!”

“Nduk, bangun nduk, sudah maghrib, kamu mimpi apa kok teriak-teriak maling?” Suara Si Mbok sambil menggoyang-goyangkan tubuh Surti karena terus-terusan berteriak “saya bukan maling”. Surti terbangun dengan tarikan nafas yang berat.

 

 

Arizela Dante Photo Writer Arizela Dante

Ingin berbagi sebuah karya seni berupa tulisan dan imajinasi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya