[CERPEN] Kata Kerja

Dia ingin jadi kucing biar tidak usah pakai sepatu.

 

Lanaku.

Dia ingin jadi kucing biar tidak usah pakai sepatu.

Itu yang dia bilang waktu melihat si belang berjalan bertelanjang kaki di sisi jalan raya. Katanya, kalau jadi kucing kita tidak perlu bekerja seperti ini. Aku ingin mengeplak kepalanya karena dia tidak bersyukur lahir sebagai manusia. Namun urung karena bisa jadi itu hanya prasangkaku saja. Lana bisa jadi orang paling bersyukur, sementara aku tidak tahu. Dia hanya terlalu murni untuk hidup di ibu kota. Lana, seharusnya kau hidup di suatu tempat, dengan alas kapas dan awan-awan. Dan benar saja, setelahnya dia bertanya, “Yoongs, hari ini Jimin dipecat padahal dia tidak salah. Namjoon menuduhnya. Gaji kami hanya dua juta per bulan. Tapi kenapa Namjoon harus melakukan itu demi uang? Demi uang gaji kami yang hanya dua juta?”

“Kalau gajiku seratus juta per bulan, mungkin aku mau-mau saja menjatuhkan orang lain demi uang sebanyak itu. Tapi ini… hanya dua juta,” dia berkata lagi karena aku cuma diam. “Sagha, kalau di surga ada uang, aku mau minta satu.”

Pernyataan itu semula kudengar seperti racauan orang mabuk. Sembari berjalan aku memikirkannya. Makna itu jadi jauh lebih dalam dari yang kukira. Perkataan Lana membuatku berpikir, apa di surga ada uang? Katanya dia mau minta satu. Entah satu rupiah, dollar, peso—atau mungkin satu lembar? Koin? Tapi dia cuma minta satu. Itu pun entah ada di surga atau tidak.

“Sagha, sekarang bantu aku berpikir. Kalau saja kita jadi kucing, mungkin kita tidak perlu bekerja, iya, kan? Kau mengerti maksudku?”

“Hm, maksdumu… maksud yang mana?”

“Ya tidak usah melakukan hal ini. Tidak usah mengorbankan orang lain demi uang. Tidak perlu melakukan hal yang tidak kita inginkan. Itu.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jadi kau mau seperti kucing? Cuma tidur sepanjang hari? Pemalas sekali….”

“Bukan bagian tidurnya. Kau lihat, kan kucing jalanan? Mereka harus kerja mengorek-ngorek sampah kalau mau makan. Mereka juga bekerja untuk makan. Tapi bukan cara seperti manusia. Lihat. Mereka tetap hidup meski usianya pendek.” Mata Lana mengawang, seperti terpikirkan hal baru. “Dan kenapa binatang usianya pendek?”

Kami masih melangkah di sisi jalan.

“Tapi, manusia juga ada yang usianya pendek.” Lana kembali bercerita tentang seorang supir truk yang mati waktu bekerja. Kepalanya dibacok lalu kisah hidupnya berhenti begitu saja. Orang itu lahir, bekerja sebagai supir, lalu mati dengan cara dibunuh seperti yang telah dituliskan takdir. Setelahnya Lana komat-kamit sendiri. Samar kudengar dia berbisik, dunia jangan jahat padaku.

“Oii!”

Seseorang memanggil kami tak lama kemudian.

 “Sagha!” serunya. “Sendirian saja?”

Aku mengangguk. Lana di sisiku lenyap. Mungkin dia memang tidak pernah ada. Mungkin dia hantu… dalam pikiranku. Mungkin selama ini aku bicara dengan diriku sendiri. []

 

 

arien Photo Writer arien

pecinta agust d garis keras.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya