[CERPEN] Arus

Hidup selayaknya dijalani seperti itu

 

Suasana rumah sepi semenjak dua minggu kepergian ibu. Dalam benakku terbayang sosoknya bertemu ayah di keabadian. Barangkali ia mengadu tentangku yang makin pembangkang semenjak ayah pergi lebih dulu. Dengan bibir mencucut,  ibu mungkin berkeluh kesah betapa peningnya punya anak seperti Julie. Aku ini mungkin anak harimau, ayah bilang juga begitu.

Tak sekali pun dalam dua minggu ini ibu datang ke mimpi. Tak juga aku rasakan keberadaannya di rumah yang selama ini kami tinggali berdua. Bahkan ketika kudatangi kamarnya, tak kurasakan kehadiran ibu di sana. Dia benar-benar menghilang dari hidupku. Secara fisik maupun arwah, dia tak ada di sini.

Kurapikan rambut dengan sisirnya yang kuambil di meja rias. Ada foto ibu sewaktu muda. Sudah kekuningan tapi aku tahu pakaian ibu kala itu warnanya cerah. Rambutnya dan rambutku di cermin dan di foto tampak serupa. Terpangkas pendek memperlihatkan daun telinga. Melihat gambar itu, aku teringat wajahnya sebelum peti mati ditutup. Di atas kain tipis, kulihat ia dalam pakaian terbaiknya semasa hidup: gaun selutut yang ia pakai dalam kencan pertama dengan ayah. Ibu berbalut biru, warna kesukaannya sepanjang masa. Dia terkubur diiringi doa dan isak tangis keluarga. Aku bergeming. Pujian pada Tuhan terdengar makin keras. Sementara aku tenggelam dalam arus sunyi. Seorang lelaki dengan kulit terbakar matahari menungguku di belakang. Aku menoleh padanya. Ia melambaikan tangan.

Yang penting kau sudah melihatnya untuk terakhir kali,” begitu bisiknya. Suaranya pelan tapi berat. Sarat misteri. Ia menuntunku pergi sebelum keramaian pemakaman itu reda. Aku naik mobil van putihnya tanpa menangis, tanpa mendoakan ibu seperti yang lain. Hanya pergi. Bahkan setelah kepergiannya selama dua minggu ini, aku cuma bisa diam mengingat kalimat di padung ibu, beristirahat dengan tenang, Hani. Lalu di sisinya ada padung yang juga tegak berdiri. Tampak lebih tua dimakan waktu, tertulis di sana Bambang—ayahku—yang katanya beristirahat dengan tenang juga.

Jangan pulang malam. Jangan bergaul dengan anak nakal. Jangan tinggalkan Tuhan demi manusia! Cepatlah cari kerja, menikah dan punya anak. Hidup selayaknya dijalani seperti itu. Tak ada yang lebih waras lagi. Itu sudah jalan hidup yang paling normal. Manusia diciptakan untuk menikah dan punya anak. Ibu yang bilang. Itu bagi ibu. Tapi tidak begitu bagiku. Atau bagi mereka, dan mereka lagi yang lahir pada tahun milenium. Kami berbeda, Bu. Zaman berubah. Tapi ia tak mengerti juga. Sudah kujelaskan padanya, sewaktu kami makan nasi hangat sambil duduk berhadapan di ruang televisi, aku harus mencoba banyak hal sebelum waktuku habis. Ia hanya tak mengerti. Aku ingin berkendara di jalan raya dengan laju motor di atas rata-rata. Aku mau menghirup angin hingga kembung. Kalau perlu, sampai jatuh tersorok ke aspal, tanah, bebatuan. Anak muda ini ingin merasakan luka. Aku mau lihat darah di lutut, merasakan nyeri dan tahu apa itu sakit. Ternyata banyak yang mau aku rasakan di dunia ini. Tapi ibu tak mau.

Kukatakan padanya, aku akan menikah usia tigapuluh. Dia menamparku. Tidak boleh mendahului Tuhan! Jangan jadi tidak waras! Waktu kita di dunia tidak banyak! Jangan buang-buang waktu! Ibu murka. Aku memungut sumpit yang berhamburan. Kuyakinkan padanya, meski sambil mengunyah dan menyumpit sayur, aku masihlah mendengar petuahnya yang menjemukan. Tak perlu ia berteriak-teriak begitu.

“Julie?”

Suara berat itu membuyarkan lamunanku tentang ibu. Billy datang, mengintip dari ambang pintu, menyalakan lampu. Tanganku berhenti menyisir. Cermin itu memantulkan wajahku yang kusut, juga Billy di belakangku. Dia membantuku bangkit, meletakkan sisir hitam ke tempat semula. Mencabut helaian rambutku yang rontok di sana.

“Kau rindu ibu?”

Aku mengangguk. Billy mengajariku berdoa. Sekolot apapun pemikiran ibu, aku tetap menyayanginya. Dalam doaku, aku berharap ia bahagia di sana. Kalau boleh, aku ingin terlahir dari batu yang dilempar dan pecah. Retakannya membuatku menetas, merayap keluar seperti anak ayam pucat, dengan kulit dan rambut basah. Kalau begitu, tak perlu orang lain menanggung derita akibat perilakuku. Rasanya akan lebih mudah. Aku jadi satu-satunya yang bertanggung jawab atas segala dosa yang aku perbuat. Bukan ayah, juga bukan ibuku.

Ketika mataku terbuka, kulihat Billy. Aku bertemu dengannya selepas ledakan dengan kawan karibku bernama Pepi. Pepi memintaku untuk tak pernah meninggalkannya—seburuk apapun jalan yang ia pilih. Kami bermimpi tentang masa tua yang tenang di peternakan. Ayam mengerubungi kaki kami sementara kusebar makanan di atas tanah berlapis jerami kering. Kami akan berkuda untuk memantau ladang, memastikan warga merawat sapi-sapi yang kami titipi. Ada sapi perah, juga pedaging. Pepi mau yang kulitnya bagus supaya bisa dibuat jaket kulit, yang dalam janjinya akan ia kenakan dengan kebanggaan.

Sketsa untuknya bahkan sudah kugambar. Jaket dengan resleting perak, kerah berpaku. Seperti yang merek mahal gunakan. Namun bukan jaket, tas atau dompet yang jadi nyata. Ia pergi perlahan setelah berpacaran dengan lelaki kaya raya bernama Min Rahman. Lelaki berkulit pucat itu pernah kutemui sekali pada suatu kesempatan yang tak ingin aku ulangi lagi. Pandangannya mengantuk, seolah tak selera hidup. Pepi bilang Rahman tak menyukaiku. Aku juga. Dia bisa beri Pepi apapun sampai Pepi terlena. Tak ada kamus berjuang lagi dalam hidup Pepi. Dia sudah bahagia. Cukup. Tak ada mimpi dan masa tua di ladang. Pepi tak pernah menghubungiku. Ia telah menjadi orang asing dalam dekapan Min Rahman.

Sampai akhirnya aku putuskan untuk pergi mencari kerja dan melupakan mimpi hidup di peternakan. Aku kembali ke takdirku sebagai pagawai kantoran yang pergi dan pulang sesuai jadwal. Saat itu aku berbos-kan seorang lelaki jangkung bernama Billy. Dia bukan seorang otoriter. Aku suka bos sepertinya. Dia orang beragama. Ibuku juga beragama.

Kubawa Billy ke rumah suatu waktu. Kukenalkan ia pada ibu. Mereka membungkuk sopan. Ibu menyiapkan makan malam untuk kami. Setelahnya di meja kecil itu tiga orang berdoa. Ibu makan dalam senyap. Ia tak bicara apa-apa hingga Billy pamit pulang.

Ibu bukan hanya tak bicara pada Billy. Tapi padaku juga. Setiap hari ia melamun, merenungi potret ayahku di ruang tamu, “Kenapa anak kita begini?” Kucuri dengar, begitulah ia berlirih.

Setiap hari kebisuan ibu padaku masih saja bertahan. Ia tak bicara sepatah kata pun. Kami bertemu di halaman ketika kuhendak pamit bekerja sementara ibu sibuk menyirami tanaman. Seperti telah diatur sedemikian rupa, seolah tubuh ibu adalah jam alarm yang aktivitasnya tak pernah berubah. Dia akan terus melakukan rutinitas seperti itu bahkan di hari minggu. Dari celah kamar kulihat ibu duduk melamun. Ia tak banyak bicara. Bahkan ketika pandangan kami bertemu, dia hanya balas menatapku kosong. Kalau sudah begini aku rindu larangannya yang tak masuk akal itu.

Ibuku ditelan kebisuan. Aku tak coba menyelamatkannya.

Suatu hari Billy datang membawa banyak bingkisan. Ada baju baru untuk ibu. Harganya mahal, model keluaran terbaru, siapapun akan menyukainya. Tapi nyatanya ibu tetap minta dikuburkan dengan gaun lama yang menurut pandanganku buluk. Ibu hanya memandang sayu ketika Billy memberinya banyak makanan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kau ingin anakku?” begitu tanyanya tanpa basa-basi.

Billy mengangguk. Ibu tak mau bicara sampai besok dan besoknya lagi. Dia tak akan mengerti bagaimana perasaanku pada Billy. Ibu hanya menangkup tangan, berdoa atas hidangan yang tersaji. Billy juga berdoa, tapi tidak begitu. Aku diam. Bingung pilih yang mana.

Selepas kepulangan Billy, kucoba bicara pada ibu. Aku sudah temukan orang yang membuatku tak ingin menikah usia tigapuluh tahun, Bu. Harusnya ibu senang. Aku bisa menikah besok atau lusa, pada usiaku yang baru duapuluh dua. Tapi dia malah menamparku, katanya aku anak durhaka. Setelahnya ia tak pernah bicara lagi. Bibirnya terkunci hingga kutemukan ia meninggal di atas kursi yang mengarah ke pekarangan, memeluk potret ayah. Mungkin ia tak kuat menahan rindu sampai menyusulnya. Atau mungkin, ibu hanya sedang melamunkan aku yang keras kepala.  Ber-anakkan lelaki bandel membuat umurnya makin pendek, mungkin saja.

**

 

Aku ingat perjalanan pulang kami dari pemakaman ibu menggunakan mobil van Billy. Dia mengemudi dengan tenang. Aku tak menangis. Billy sesekali melirikku, menawarkan minum. Setibanya di rumah, aku tak mengatakan apa-apa. Billy bicara panjang lebar dengan intonasi tenang.

Yang penting kau sudah melihatnya untuk terakhir kali,” Billy berucap lagi. Entah itu kalimat penenang atau apa. Tapi aku justru sedih karena tak bisa mendoakan ibu pada perjumpaan terakhir kami.

**

 

Sudah dua minggu ibu pergi. Selama itu pula Billy tinggal di rumahku. Hari ini kami mengemasi barang untuk pindah ke peternakan. Satu mimpi harus terlaksana, Billy bilang begitu. Semua perkakas milik ibu masih tersimpan rapi di sini. Tak akan aku ganggu, atau pun jual karena mungkin tak akan laku. Aku hanya mengemasi barangku seperlunya, beberapa perkakas dapur yang sekiranya masih nyaman kugunakan. Billy juga begitu. Ia membeli sebuah rumah di pedesaan, dekat ladang dan peternakan. Ada sungai yang mengalir tak jauh dari rumah putih kami. Billy membelikanku kuda cokelat yang ototnya tercetak jelas. Aku menepuk punggung kuda itu. Kunamai ia kuda harapan. Dan aku lega karena dia jinak.

Kami melewati malam berkabung dengan jendela terbuka. Aku lihat bintang berkelip di sana, juga bulan sabit yang tersenyum. Benda langit yang tak bisa kulihat di perkotaan. Malam itu aku tidur nyenyak meski hatiku penuh kerinduan akan ibu. Billy memelukku dengan lengannya yang kekar, aku bersandar di dadanya. Napasnya terbenam di antara helai rambutku. Entah mengapa membuatku damai.

Paginya aku terbangun. Billy masih terlelap. Kulangkahkan kaki menuju aliran sungai. Ada air di kamar mandiku, tapi kupilih air yang mengalir deras ini untuk cuci muka. Dari pinggiran bisa kurasakan arus yang mematikan. Air itu keras menciprat tangan. Samar-samar kulihat batu besar di tengah sungai. Arus deras menerjangnya. Menjadikan hitamnya tampak berkilat dingin

 Lalu jauh di seberang sana kulihat seorang sedang duduk membisu. Ia melihatku. Pandangan kami bertemu dalam keheneningan. Barangkali tidak benar-benar hening karena sungai ini masih terus mengalir. Namun benar adanya kurasakan sepi tertular dari mata sosok itu. Dia yang selama ini kusebut ibu. Hani duduk sendirian di seberang. Di atas batu yang kering, tapi tak bisa kuraih karena aliran deras. Aku ingin memeluknya, mengucapkan maaf atas takdir yang telah kupilih. Aku ingin dia tak perlu bertanggung jawab atas semua dosa yang kulakukan, tapi kenapa wajahnya sedih begitu?

“Ibu!”

 Aku melangkah kaki menembus arus untuk menyusulnya. Tapi air itu jadi makin deras. Tubuhku terbawa hanyut entah ke mana. Ibu memandangku di atas sana dengan tatapan dingin, atau mungkin sedih. Aku tak tahu mana yang lebih tepat. Semuanya makin samar. Arus besar membuatku muncul tenggelam, menghirup napas dalam air dan terbatuk di antara bebatuan, terbanting. Dingin. Lebih dingin dari es yang kemarin Billy beri.

Terakhir, kudengar perkataan ibu terngiang di telingaku, “Orang sepertimu tidak boleh menikah dengan Billy.”

***

 

 

arien Photo Writer arien

pecinta agust d garis keras.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya