[CERPEN] Terjebak

Di sini bukan tempatku...

Kami berakhir duduk-duduk di depan rumah sewa pada penghujung hari. Ada suara tikus mencicit-cicit, dan pikiran tentang kamar mandi kami yang mampet. Sambil melihat langit sore berpolusi, Zani menyuruhku jadi tanaman. Tapi aku menolaknya karena lebih memilih jadi kucing andai saja punya kesempatan untuk terlahir lagi.

“Jangan. Nanti kamu jadi kucing jalanan.” Zani mengatakannya sambil memandangi kucing kampung yang melintas di hadapan kami. Payudaranya kendor sementara dia terus berjalan dengan empat kaki. Kucing itu pasti seekor induk yang baru saja melahirkan. Dia berhenti sebentar di pojokan sampah, mengendus sesuatu, lalu menggusur plastik sampah dengan taring.

“Kalau begitu aku mau jadi ikan di lautan.”

“Jangan. Nanti kau jadi sarden. Kalau aku mau jadi bintang supaya berkilau.”

“Kalau begitu aku mau jadi bulan.”

“Jangan.” Zani menghela napas berat seakan jengah. “Bulan sendirian. Kau tidak suka sendirian. Bintang banyak. Lebih baik jadi bintang sepertiku.”

“Baiklah kalau terlahir lagi, aku mau jadi bintang biar berkilau.”

**

 

Aku pindah dari Bandung ke Jakarta untuk bekerja. Dari Bandung aku membawa kotak-kotak kardus berisi penanak nasi, sepatu dan baju. Ketika membereskan itu semua, aku melihat tumpukan buku di sudut ruangan. Kotak kardusku telah penuh. Dengan berat hati kutinggalkan buku itu di kamar bersama piano. Ayah sudah menghidupkan mesin mobil box untuk mengangkut itu semua. Klakson berbunyi beberapa kali seolah mengisyaratkan aku untuk segera mengangkut kardus-kardus itu ke mobil.

Aku terdiam sejenak ketika mengangkut kardus terakhir, memandangi kamar yang akan kutinggalkan lama. Kilasan memori bermain dalam otakku. Di tempat inilah aku bertemu dengan cinta pertamaku pada usia enam tahun: piano ini. Dan akhirnya telah tiba. Aku harus pindah karena uang, untuk menunaikan tugas sebagai manusia. Aku telah menyentuh tahapan baru dalam siklus hidup yang waras; bekerja. Sekeras apapun kita menolak, akhirnya memang akan seperti ini. Kita lahir, sekolah, lalu bekerja sampai mati.

Di mobil box itu aku dan orang tuaku duduk berdesakan. Ayahku beberapa kali sulit mengoper gigi karena terhalang kakiku dan ransel yang aku simpan di paha. Kami melalui perjalanan dengan beberapa kali terguncang karena kontur jalan pedesaan, melewati hijau yang semakin jarang, berganti kelabu bangunan perkotaan. Perjalanan itu berlangsung cepat. Tahu-tahu aku sudah mengangkut barang bawaan ke rumah sewa. Orang tuaku pamit pulang dan aku melambai menyaksikan mobil itu berlalu.

Selepas kepergian mereka, aku merapikan barang bawaanku. Suara cicit tikus terdengar. Terkadang aku melihat tikus besar itu melintas waktu aku berjalan di luar. Rumah sewa yang kutempati bukanlah rumah sewa perkotaan yang mewah. Hanya bangunan kumuh yang kelihatannya mau roboh dengan tikus berlalu-lalang sambil mencicit-cicit. Sekali lagi aku katakan mencicit-cicit. Ciiit ciiit ciiit. Entah apa yang makhluk hitam berekor panjang itu debatkan.

Besok adalah hari pertama aku bekerja. Di malam hari aku sudah menyiapkan baju sampai sepatu. Kemeja putih berbalut jas hitam. Celana bahan dengan gesper kulit mengkilap. Lalu kakiku berbalut kaos putih dilengkapi fentofel. Kelingking di dalam sepatuku menekuk sedikit karena sepatu ini kekecilan. Entah aku salah beli atau bagaimana. Namun aku berdalih bahan kulit memang suka melar kalau dipakai terus menerus. Jadi aku pilih ukuran kecil supaya awet sampai aku pensiun. Sungguh makhluk ekonomis.

Aku terlelap setelah menyiapkan semuanya dan terbangun paginya seakan-akan aku hanya tidur satu detik. Aku sarapan dengan nasi yang kumasak sendiri, menaburinya dengan bawang goreng dan memakannnya selagi hangat. Hidup di ibu kota memang berbeda dengan hidup di kampung halaman. Hari pertama aku lalui sedikit kaget. Mungkin ini yang orang-orang bilang shock culture. Di sini aku mendengar logat bicara yang berbeda. Tapi kenapa kucing di belahan bumi mana pun tetap bicara dengan meongan yang sama?

Aku membawa logat Bandung kental, sementara orang-orang di sekitarku bicara dalam aksen Jakarta yang modern. Mereka berbeda dalam bercanda dan berbicara. Sementara aku? B Girl. Bandung Girl. Ah, betapa bangganya aku dengan nama pemberian diriku pada diriku ini. Bukanlah hal buruk jadi anak daerah yang membanggakan logat.

Pada jam istirahat kerja aku mengaduk kopi di pantri. Dalam adukan kental nan hitam itu aku melihat pantulan lemari di langit-langit ruangan. Pikiranku ikut teraduk; aku hanya sedang merantau ke ibu kota, tapi mengapa rasanya seakan berada di negara yang beda? Perbedaan kebiasaan, cara bicara, dan segalanya membuat kami berjarak. Atau mungkin sebenarnya tidak. Itu jalan bagi kami untuk saling mengenal.

Aku bertemu dengan Roy yang tiap jam sembilan pagi ke pojok untuk menggandakan berkas. Kami kerap kali mengobrol tentang makanan khas Bandung dan ia selalu tampak ceria kalau membicarakan tentang masak memasak. Suaranya kencang sekali sampai urat di lehernya teregang. Lalu ada Samsul yang bicara dengan logat Minang. Dia mengajariku beberapa kata. Namun belakangan aku tahu semua yang dia ajari adalah kata-kata yang menjurus jorok.

**

 

Aku pulang ke rumah sewa naik kereta listrik dengan pikiran tentang pekerjaan yang masih menggantung di kepala. Pemandangan melintas cepat di jendela selama aku melamun memikirkan semua kejadian hari ini. Rekan kerja yang menyebalkan, tugas yang berat, juga proses belajar dan beradaptasi yang menyakitkan. Semua itu aku bawa ke rumah sewa sampai aku berbaring di kasur dan memandangi dinding tak rata dan rapuh ini.

Sebelum benar-benar tidur aku mendengarkan musik. Alunan itu merasuk selagi aku memejamkan mata. Pikiranku berkata, dunia itulah yang aku mau. Dunia musik dan seni. Hatiku juga condong ke arah sana. Tapi siapa orang gila di dunia ini yang mau menggadaikan keteraturan digaji tiap bulan dengan kebebasan berkarya?

Musik itu masih terus mengalun.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kapan, ya aku ada di posisi itu? Jadi pemusik yang karyanya dinikmati orang-orang. Jadi penghibur di kala yang lain penat. Atau barangkali jadi pengantar tidur di saat yang lain lelah seharian bekerja. Aku harus cukup gila untuk jadi bengkok dan menyalahi aturan. Bekerja di bawah telunjuk orang lain adalah hal paling waras yang bisa manusia lakukan. Lalu ingatanku melanglangbuana. Aku ingat piano yang aku tinggalkan di rumah.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku tertidur tujuh jam yang kurasakan seperti satu menit. Bunyi alarm membangunkanku. Aku beranjak ke kamar mandi, sarapan lalu pergi bekerja. Di kantor semuanya berjalan seperti biasa. Tekanan itu ada. Aku duduk di depan komputer, mengerjakan sesuatu, menanyakan sesuatu pada senior, bersopan-sopan dan melakukan hal memuakkan lainnya.

Menjelang sore aku pulang naik kereta listrik dengan pikiran tentang pekerjaan yang masih menggantung di kepala. Pemandangan melintas cepat di jendela selama aku melamun, memikirkan semua kejadian hari ini. Di gang aku melihat tikus besar melintas dan mencicit-cicit. Aku mengabaikannya dan membuka gembok pintuku. Di sana aku berbaring masih memandangi langit-langit kusam. Tiba-tiba air mataku mengalir selagi menunggu dering repetitif di ponsel berganti jadi suara sahabatku di Bandung.

Tita? Halo? Ada apa meneleponku? Halo?” sapa seseorang di seberang sana.

Aku mengusap air mata. “Zani.” Aku berdeham sebentar dan menguatkan suara agar yang keluar tak begitu gemetar. “Aku sendirian.”

Apa?”

“Aku rindu Bandung!”

“Kau kedengaran marah, Ti?”

Aku mendengus melirik tumpukan baju kotor di sudut ruangan. Belum sempat aku cuci mengingat lantai kamar mandiku berubah jadi kolam gara-gara salurannya mampet.

Aku terlelap setelah mengungkapkan semuanya dan terbangun paginya seakan-akan aku hanya tidur satu detik. Aku sarapan dengan nasi yang kumasak sendiri, menaburinya dengan bawang goreng dan memakannnya selagi hangat.

Aku pulang ke rumah sewa naik kereta listrik dengan pikiran tentang pekerjaan yang masih menggantung di kepala. Pemandangan melintas cepat di jendela selama aku melamun memikirkan semua kejadian hari ini. Rekan kerja yang menyebalkan, tugas yang berat, juga proses belajar dan beradaptasi yang menyakitkan. Semua itu aku bawa ke rumah sewa sampai aku berbaring di kasur dan memandangi dinding tak rata dan rapuh ini.

Dan besoknya aku kembali menjalani rutinitas yang sama; bangun, bekerja, pulang lalu tidur dan semuanya berulang.

Di kantor aku menatap layar komputer, mengisi laporan, melakukan rapat, dan melihat perdebatan antar rekan kerja. Lalu aku pulang ke rumah sewa naik kereta listrik dengan pikiran tentang pekerjaan yang masih menggantung di kepala. Pemandangan melintas cepat di jendela selama aku melamun memikirkan semua kejadian hari ini.

Hingga pada suatu sore setelah sekian bulan hidup di Jakarta aku melihat seorang wanita kumal berdiri di depan rumah sewaku yang hampir rubuh. Dia tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigi putihnya yang bersinar di kegelapan.

“Kau bilang kau tidak suka sendirian.” Zani cengengesan.

“Jadi, kau datang untuk menemaniku di Jakarta?”

Dia menggeleng, mengusap dahinya yang basah oleh keringat. Barangkali bercampur debu dan kerak daki. “Hanya menengok.”

Aku memandanginya dan ada rasa iri juga sesal; aku ingin bebeas seperti Zani.

“Zan, kurasa ini bukan duniaku.”

Kami berakhir duduk-duduk di depan rumah sewa pada penghujung hari. Ada suara tikus mencicit-cicit, dan pikiran tentang kamar mandi kami yang mampet. Sambil melihat langit sore berpolusi, Zani menyuruhku jadi tanaman. Tapi aku menolaknya karena lebih memilih jadi kucing andai saja punya kesempatan untuk terlahir lagi.

“Tapi kita semua terlanjur terjebak jadi manusia.”

***

 

arien Photo Writer arien

pecinta agust d garis keras.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya