[Cerpen] Selangkah Mendekat

Terkadang cinta berada sangat dekat, jauh lebih dekat dari yang pernah kita bayangkan.

Ko Tae-Won melangkahkan kakinya keluar dari kelas, sama seperti murid-murid lain yang tidak punya alasan untuk tetap tinggal di sekolah lebih lama lagi. Lorong yang laki-laki itu lewati kini sudah dipenuhi lautan manusia yang mengenakan seragam serupa dengan miliknya. Beberapa dari mereka bersenda gurau dengan teman-teman mereka, beberapa siswa laki-laki malah tertawa-tawa sembari menepuk pundak temannya; bercanda. Di tengah hiruk pikuk itu, Ko Tae-Won berjalan sendiri sembari membuat gerakan-gerakan menghindar. Setiap kali ada seseorang yang tidak sengaja menabrak atau menyenggol dirinya sebab terlalu asik bersenda gurau, Ko Tae-Won menghindar dengan sigap.

Langkah kakinya lebar, berusaha mencapai pintu depan secepat mungkin. Namun sebelum itu, sebelum mencapai pintu depan, matanya melirik pada salah satu kelas dengan plakat bertulisan 3-A di atas pintu. Dan tidak butuh waktu lama untuk Ko Tae-Won menemukan apa—atau lebih tepatnya, siapa—yang ia cari. Seorang gadis dengan tawa menyenangkan, tatapan mata yang selalu berbinar-binar, dan selalu terang baik kapanpun dan di manapun ia berada. Bagi Ko Tae-Won, gadis itu tampak berbeda dari gadis-gadis lain. Ia mempunyai aura tersendiri, yang membuatnya mudah ditemukan. Itulah mengapa meski Ko Tae-Won hanya mendapatkan waktu sekitar lima detik saja untuk melewati lorong depan kelas 3-A, ia  dapat menemukan gadis itu dengan mudah.

Nam Ji-Hyun namanya. Sahabat kecil Ko Tae-Won yang kini telah berada sangat jauh hingga tidak lagi bisa ia gapai. Ko Tae-Won tidak tahu pasti bagaimana asal mulanya jarak di antara mereka semakin melebar seiring dengan berjalannya waktu, sehingga ia hanya dapat berasumsi bahwa manusia memang berubah—dan saat ini adalah waktunya mereka menjauh. Seolah kedekatan mereka dulu mempunyai batas waktu. Seolah perpisahan mereka ini adalah hal yang sudah pasti. Dan jika boleh berharap, Ko Tae-Won lebih memilih untuk tidak dekat dengan gadis itu sejak awal, ketimbang harus kehilangannya seperti sekarang.

Karena rasanya sungguh menyesakkan, mendapati hal yang dulunya ada dan sekarang tidak ada. Mendapati seseorang yang dulu selalu berada di sampingnya, kini bahkan ia tidak punya kemampuan untuk menyapa. Dan yang paling mengesalkan di antara semuanya adalah ketika melihat gadis itu mempunyai pengganti Ko Tae-Won.

Perlahan ia mulai berlalu dari lorong depan kelas 3-A. Langkah kakinya yang lebar membuat Ko Tae-Won melalui kelas itu lebih cepat dari yang biasa ia lakukan. Tidak apa-apa toh ia tidak ingin lama-lama melihat seseorang yang sudah memutuskan untuk berada jauh dari dirinya. Ia sudah muak melihat perempuan-perempuan yang mengaku sebagai sebagai teman dekat gadis itu, terlebih lagi pada laki-laki yang akhir-akhir ini selalu menjemput dan mengantarnya pulang. Tanpa diberi tahupun, Ko Tae-Won tahu bahwa laki-laki itu, Chon Seung-Gi, menjalin hubungan khusus dengan Nam Ji-Hyun.

“Tae-Won!” seru Nam Ji-Hyun kecil sembari menangis sesenggukan. Ko Tae-Won segera turun dari kamar di lantai atas setelah Ibu memanggilnya. “Tae-Won, bonekaku,” lanjutnya lagi.

Ia diam terpaku di depan pintu rumah, menatap gadis kecil itu dengan kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana caranya menenangkan seseorang yang menangis, tapi kalau Nam Ji-Hyun, rasanya hanya perlu membelikan es krim cokelat. “Tenanglah. Ayo kita beli es krim cokelat,” ajak laki-laki itu.

“Aku tidak mau!” tangisan Nam Ji-Hyun semakin menjadi-jadi. “Yang aku mau adalah bonekaku kembali. Ayah baru membelikannya untukku semalam.”

“Lalu sekarang di mana bonekamu?”

“Hana mengambilnya.”

“Kenapa bisa ada di Hana?”

Nam Ji-Hyun menutup mukanya dengan kedua tangan. “Aku ingin memamerkan boneka baruku padanya, tapi Hana malah mengambilnya. Dia tidak mau mengembalikan.”

Ko Tae-Won mendengus pelan. “Kau hanya perlu memintanya saja pada Hana. Apa yang kau takutkan?”

“Hana kan lebih besar dariku!” seru Nam Ji-Hyun membuat laki-laki itu berpikir sebentar. Memang benar, secara fisik, Hana jauh lebih besar ketimbang Nam Ji-Hyun yang memang mungil sekali di antara teman-teman mereka. Lantas dengan sigap Ko Tae-Won menarik pergelangan tangan gadis itu, berjalan menjauh dari rumahnya. “Tae-Won, kita mau ke mana?”

“Kau ingin bonekamu kembali, kan? Maka kau harus mengambilnya. Kau tidak boleh terus-menerus takut pada Hana hanya karena tubuhnya lebih besar darimu,” jelas Ko Tae-Won panjang lebar. “Aku akan berada di sampingmu, jadi kau tidak perlu takut.”

“Kau akan selalu berada di sampingku?” tanya Nam Ji-Hyun dengan mata bulat dan tatapan berbinar-binarnya, membuat Ko Tae-Won tidak bisa mengalihkan pandangan.

“Hm. Tentu saja. Aku akan selalu berada di sampingmu.”

“Kau tidak akan ke manapun?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku tidak akan pergi, ke manapun.”

 

Sesampainya di rumah, Ko Tae-Won melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Bola matanya menatap kosong pada langit-langit kamar dan seperti biasa, kembali mengingat-ingat masa lalu bersama Nam Ji-Hyun yang tidak akan pernah ia lupakan. Masa-masa indah di mana kehidupannya dibuat penuh warna oleh gadis itu—sekarang sudah sepenuhnya sirna. Bahkan menatap gadis itu hanya membuat sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. Melihat tawa gadis itu, membuat ia ingin mengalihkan pandangannya secepat mungkin.

“Argh, setiap hari seperti ini. Merepotkan saja,” gumam laki-laki itu kesal sembari berusaha menutup matanya dengan punggung tangan.

Hari-hari yang ia lewatkan kini terasa sungguh membosankan. Sangat membosankan sampai Ko Tae-Won hanya ingin menghabiskan seluruh waktunya dengan mengurung diri di dalam kamar. Apalah artinya pergi ke sekolah, kalau ia tidak punya teman untuk berbicara. Apalah artinya keluar rumah, kalau warna yang dilihatnya kesemuanya abu-abu. Hanya Nam Ji-Hyun yang penuh dengan warna. Tawa gadis itu mengeluarkan nada-nada yang selalu ia sukai dan rindukan. Sinar yang terpancar dari mata gadis itu, menciptakan warna-warna yang teramat indah hingga tidak bisa digambarkan.

Bila diingat-ingat lagi, masa kecilnya begitu menyenangkan karena gadis itu berada di sampingnya.

Perlahan Ko Tae-Won meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ponsel itu tadi bergetar dan ia terlalu malas untuk membaca pesan yang masuk. Lagipula satu-satunya orang yang akan menghubunginya hanyalah Ibu.

Dan memang benar, pesan masuk yang kini muncul di layar itu dari Ibu Ko Tae-Won, bertuliskan: Nak, Ibu akan pulang terlambat karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Bisakah Ibu minta tolong belikan makanan untuk makan malam? Lalu makanlah dulu, punya Ibu simpan saja di kulkas.

Setelah mendengus kesal, Ko Tae-Won membalas pesan itu mengatakan bahwa ia akan segera keluar membeli makan malam untuk mereka. Laki-laki itu segera bangkit dari ranjang dan berjalan menuju lemari; mengganti pakaian. Ia menuruni tangga dengan setengah berlari. Baginya, lebih cepat ia menyelesaikan apa yang harus ia lakukan maka lebih baik. Ia ingin cepat-cepat menikmati waktu sendirinya di dalam rumah, sembari tiduran di ranjang dan dengan bodohnya melamun kembali ke masa lalu.

Setidaknya hanya dengan cara itulah ia bisa merasa tetap dekat dengan Nam Ji-Hyun.

Tangannya mengunci pintu asal-asalan, sebelum kakinya berlari kecil keluar dari pekarangan rumah. Angin berhembus cukup kencang, hingga ia harus memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Baru saja Ko Tae-Won mulai bisa menikmati jalan malam-malam sembari menahan hawa dingin, matanya seketika membelalak begitu menemukan gadis yang kini sedang berdiri di hadapannya.

Gadis itu tampak sama terkejut. Matanya merah sembap dan masih mengenakan seragam sekolah. Ko Tae-Won sungguh tidak tahu apa yang terjadi, namun pertemuan canggung itu membuat mereka sama-sama menghentikan langkah kaki dan hanya saling bertukar tatap untuk beberapa waktu. Gadis itu, Nam Ji-Hyun, tampak tidak seperti biasanya. Sinar di matanya meredup, tertutup oleh warna merah yang mendominasi. Ujung-ujung bibir gadis itu juga tidak melengkung ke atas seperti biasa, namun malah meluntur ke bawah seolah sudah lelah untuk selalu tersenyum dan tertawa.

Ko Tae-Won membeku. Ia sama sekali tidak suka melihat Nam Ji-Hyun yang seperti itu. Sedetik kemudian, ketika ia masih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam otaknya, Nam Ji-Hyun melangkahkan kaki mendekat dan memeluknya. “Tae-Won,” hanya itu yang dikatakan oleh Nam Ji-Hyun, sebelum kemudian meremas jaket Ko Tae-Won dengan tangannya yang gemetar hebat.

Laki-laki itu tidak mengatakan apapun, tidak menanyakan apapun. Yang ia lakukan hanyalah membalas pelukan itu dan menepuk kepala gadis di hadapannya dengan pelan; menenangkan. Kau... kembali padaku, kan?, gumam laki-laki itu dalam hati. Perlahan setetes air mata mulai mengalir perlahan di pipinya—namun ia tenang sekali, tidak sesenggukan seperti yang dilakukan Nam Ji-Hyun saat ini. Ko Tae-Won ingat benar bagaimana ia harus menghadapi rasa kehilangan ketika gadis itu berada jauh darinya, rasa sepi berkepanjangan tiap kali ia tidak bisa melihat tawa gadis itu, serta kekosongan yang amat dalam hingga membuatnya serasa ingin mematikan fungsi hatinya saja.

Ia mencintai gadis itu, lebih dari siapapun, lebih dari apapun. Ia sangat mencintai Nam Ji-Hyun, hingga tanpa gadis itu, dirinya hanya sekadar makhluk hidup yang bernapas; tidak hidup.

Jangan pergi lagi. Jangan berada jauh dariku lagi.

Ko Tae-Won mendaratkan kecupan kecil di kepala gadis itu, membuat tangis Nam Ji-Hyun semakin menjadi-jadi.

 

Ann Soelia Photo Writer Ann Soelia

Writer. Editor.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya