[CERPEN] Ekspresi Natasya

Itulah dia si pemilik ekspresi, Natasya, aku melihatnya.

Seorang bapak tengah memanggul karung beras melintas di depanku, aku memotretnya. Dua ibu berompi oranye tengah menyapu jalan, aku memotretnya. Anak-anak berlarian keluar dari gerbang sekolah, aku juga memotretnya. Seorang perempuan berjalan menuju toko bunga, ah… perempuan itu, ia sungguh cantik, aku memotretnya.

Aku seorang fotografer jalanan. Aku banyak memotret pemandangan. Aku juga memburu peristiwa khusus untuk dijadikan objek foto. Tetapi, yang paling aku sukai adalah manusia, memotret manusia. Ya, aku suka sekali memperhatikan orang-orang di sekelilingku dan memotretnya. Ekspresi orang-orang itu berbeda dan sangat menarik.

Seorang lelaki berwajah sumringah saat menemui seorang perempuan. Akan tetapi, ketika berpisah wajahnya menjadi murung, kemungkinan lelaki itu ditolak cintanya. Dengan ekspresi, kau akan mengerti. Karena ekspresi, menceritakan banyak hal. Ekspresi bercerita, meskipun kau tak menginginkannya.

Perempuan itu, berkali-kali aku memandang fotonya di layar kameraku, tetap terlihat cantik. Malah semakin cantik. Perempuan itu, aku berjalan mengitari kota dan tak sengaja melihatnya. Ini bukan pertama kali aku melihatnya. Sebelumnya aku sudah beberapa kali melihatnya. Dan yang ini maupun yang sebelumnya, semua terjadi secara kebetulan. Namun apakah sebuah kebetulan itu ada? Aku percaya, segala sesuatunya telah digariskan.

Ia keluar dari toko bunga, aku segera mengikuti arah ia pergi. Sambil mengikutinya, sesekali aku memotret menggunakan kameraku. Parasnya, dari sudut manapun aku memotret, tetap terlihat sempurna. Bukannya berlebihan, karena selama ini aku juga sudah memotret banyak perempuan, dan perempuan itu yang paling indah.

Sesekali perempuan itu menoleh ke arah aku berada, aku bersembunyi di balik kerumunan orang. Karena hal itu, aku kehilangan arah untuk mengikutinya. Tetapi tak apa, karena aku yakin esok aku akan melihatnya lagi.

***

“Rey, nih foto terakhir buat pameran besok,” kata Pertiwi sambil memberikan sebuah foto kepadaku. Pertiwi adalah teman satu komunitas fotografi yang aku ikuti. Dari pagi hingga sore ini aku dan anggota komunitas lainnya termasuk Pertiwi sedang berada di aula, menatanya untuk pameran foto besok.

“Oke, jadi udah lengkap, kan?” kataku kepada Pertiwi.

“Iya, tapi nanti kayanya mau diseleksi lagi deh sama Bang Fadli,” kata Pertiwi. “Eh Rey, ini foto siapa?” tanya Pertiwi sambil menunjuk sebuah foto yang menampilkan figura perempuan.

“Cantik, kan?” kataku.

“Duh, Reyfano..., siapa sih?” kata Pertiwi, namun aku hanya tersenyum melihat ekspresinya yang terlihat begitu penasaran. “Ah, lagian juga ini gak bakal lolos seleksi Bang Fadli,” tambah Pertiwi.

“Masa sih Bang Fad gak akan ngelolosin?” tanyaku agak khawatir. Bang Fadli adalah ketua komunitas fotografi, dan ia orang yang ketat dalam menyeleksi foto.

“Iyalah, tema pameran kali ini kan tentang fenomena sosial,” kata Pertiwi.

“Yah.. Pertiwi, tapi aku pengen banget foto ini dipamerin,” kataku.

“Ya, sudah Rey, kamu buat pameran sendiri sana,” kata Pertiwi sambil melangkah pergi meninggalkanku.

“Iya, nanti aku buat pameran sendiri deh,” sahutku seraya Pertiwi pergi, Pertiwi hanya tersenyum mendengar perkataanku.

Setelah selesai mempersiapkan pameran untuk besok, aku pergi meninggalkan aula. Aku bermaksud untuk pulang, namun sebelum sampai dirumah aku menyempatkan diri untuk memotret. Ya, seperti biasa aku turun kejalan, menyusuri setiap sudut kota untuk mencari objek yang langka.

Tak disangka, aku bertemu dengannya. Dengan cepat aku mengangkat kameraku, lalu memotret Perempuan itu. Sungguh beruntung, di hari yang hampir petang ini aku bisa melihatnya. Perempuan itu, wajahnya saat diterpa cahaya kuning matahari, ah…indah sekali.

Dari tempat aku berdiri, aku melihatnya semakin berjalan menjauh, hingga menghilang dari pandanganku. Perempuan itu, di jalan menuju pulang aku terus memikirkannya. Perempuan itu, aku bahkan belum mengetahui namanya, tapi aku telah jatuh kepadanya.

***

Aku sedang memberi penjelasan kepada seorang pengunjung pameran yang tengah melihat foto-foto yang tergantung di dinding. Sudah menjadi tugas kami anggota komunitas fotografi yang menggelar acara pameran untuk menemani setiap pengunjung berkeliling melihat karya kami.

Sambil mendampingi para pengunjung, aku tengah bertanya-tanya apakah perempuan itu akan datang atau tidak. Poster besar pameran fotografi kami terpasang di lokasi paling strategis di kota. Aku bisa menjamin perempuan itu melihat poster kami. Akan tetapi, apakah perempuan itu akan datang tentu tak ada jaminan. Ya, aku tahu itu, tapi entah mengapa aku merasa bahwa perempuan itu akan datang. 

Ternyata, rasa ini benar adanya. Entah itu sebuah intuisi atau apa, yang pasti perempuan itu kini ada di hadapanku. Aku memandang lekat wajahnya, membuat jantungku berdegup kencang. Namun aku mencoba untuk tetap tenang agar ekspresiku tidak terpengaruh.

Perempuan itu berjalan perlahan, seakan menikmati setiap figura yang ada di depannya. Aku akan menjelaskan secara singkat tentang foto itu. Kadang, perempuan itu berhenti sejenak untuk memandang lebih lama sebuah foto. Raut wajahnya seperti ia terpukau dengan objek pada foto. Lalu aku akan menjelaskan lebih detail mengenai objek yang sarat akan makna itu.

Di akhir perjalanan aku menemani perempuan itu berkeliling, aku menyarankannya untuk duduk sebentar menikmati pengisi acara yang sedang tampil. Tentu aku menyarankan hal itu kepada setiap pengunjung pameran yang aku temani, namun untuk perempuan itu aku menyarankan lebih. Tentu saja aku ingin lebih lama lagi bersama perempuan itu, meskipun aku telah cukup lama menemani ia berkeliling tadi.

Perempuan itu, ia menyelesaikan berkeliling hingga ia melihat semua foto, ia juga sering berhenti pada sebuah foto. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa ia menaruh perhatian lebih pada dunia fotografi. Ia, perempuan itu, tertarik pada duniaku, aku sungguh senang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat pengisi acara selesai membawakan sebuah lagu, saat itu perempuan itu beranjak dari duduknya. Perempuan itu pamit untuk undur diri dari acara pameran. Aku mengucapkan terimakasih kepadanya, dan aku memintanya untuk datang lagi di acara pameran berikutnya. Iapun berkata bahwa ia pasti akan datang lagi, lalu ia tersenyum. Saat senyuman itu terkembang, saat itu aku menanyakan namanya. Iapun menjawab “Natasya.”

***

Aku sedang menggambar sketsa wajahnya. Setelah aku mencetak foto-foto Natasya yang terakhir aku dapatkan, aku melihatnya satu persatu. Aku membandingkannya dengan foto-foto terdahulu. Aku benar-benar terpesona dengan wajah itu, hingga memutuskan untuk mencoba menggambar sketsanya. Keterampilanku dalam menggambar sangat standar, maka aku hanya menjadikannya sebagai hobi, bukan pekerjaan.

Meski begitu, aku tetap ingin mencoba menuangkan wajah Natasya dalam sebuah sketsa. Aku memilih sebuah foto yang kurasa paling pas porposinya, lalu menggunakan pensil, ekspresi itu aku goreskan.

Ekspresi itu, semakin aku melihatnya, semakin aku tak mengerti. Natasya, ekspresinya terlihat tak jauh berbeda dari sekian banyak foto. Dan saat aku bertemu dengannya di pameran, ia juga tak menunjukkan banyak ekpresi. Setiap orang menunjukkan ekspresinya, dan aku hampir selalu tau cerita dibalik ekspresi itu. Tapi ada apa dengan ekspresimu Natasya?

Aku tak mengerti. Saat kau tersenyum, kau tak benar-benar tersenyum. Saat kau nampak kesal atau marah, itu tak terlihat seperti itu. Ekspresimu, seakan kau memiliki masalah atau beban hidup yang berat, tapi kau tak jelas memperlihatkannya. Hal itu, di setiap aku menggoreskan ekspresimu di atas kanvas, aku terus memikirkannya. Natasya, aku berjanji saat kita bisa bersama nanti, aku akan membuatmu menunjukkan banyak ekspresi.

Ekspresi itu, ternyata memang benar aku susah untuk mengerti artinya. Terbukti saat sore hari ini aku turun kejalan dan melihatnya sedang berjalan di trotoar. Natasya, ekspresinya terlihat seperti lelah sekali hari ini. Akan tetapi, itu juga seperti sedih dan murung. Ada apa Nat? Apakah kau dimarahi oleh bos ditempat kau bekerja? Ah, lalu mengapa juga tiba-tiba ia mempercepat langkahnya setelah ia menerima telepon? Nat, ekspresimu itu, aku sungguh sulit memahaminya.

***

Aku rindu dengan Natasya. Sudah lama aku tak melihatnya. Beberapa hari ini aku sibuk berpergian bahkan keluar kota. Aku pergi untuk memotret. Aku ingin aku segera bisa menggelar pameranku sendiri. Sebuah pameran pribadi yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh fotografer ternama. Pameran pribadi, yang hanya bisa didatangi orang-orang yang telah diundang. Dan tentu saja pameran ini, hanya berisi karya fotografiku. Dan Natasya, aku memiliki banyak potret dirinya.

Ah, Natasya. Sudah beberapa kali ini aku tak melihatnya meskipun aku telah kembali turun ke jalan. Maka hari ini, aku mengitari kota lebih lama, berharap dapat menemukan Natasya. Saat ia menyebrang jalan, saat ia sedang menunggu bus, atau mungkin saat ia berjalan menuju toko bunga. Toko bunga, aku jadi teringat Natasya cukup sering mengunjungi toko bunga di pertigaan jalan di kota. Apakah mungkin Natasya mengenal seseorang di dalam sana? Toko bunga itu, aku memutuskan untuk masuk kedalamnya.

Toko bunga ini ternyata memiliki sebuah cafeteria kecil di dalamnya. Aku langsung menuju cafeteria sesaat aku memasuki toko bunga, karena tentu aku tak mau membeli bunga. Mencoba memesan makanan ringan di cafeteria adalah yang paling tepat.

Aku menikmati makanan dan minuman yang ada di meja sambil melihat satu persatu foto hasil potretanku di layar kamera. Akhirnya aku sampai di foto-foto Natasya. Aku memandangnya lebih lama karena saat ini aku benar-benar merindunya.

“Natasya?” kata sebuah suara perempuan dari arah belakangku. Aku menoleh, ternyata ia yang menyerukan nama Natasya adalah pemilik toko bunga sekaligus cafeteria ini. Aku bisa tahu ia pemilik karena saat aku masuk kedalam toko bunga, ia memperkenalkan diri padaku, mungkin karena aku adalah pengunjung baru.

“Anda fotografer?” tanyanya kepadaku. Aku mengangguk dan tersenyum kearahnya.

“Saya Reyfano.” Kataku seraya berdiri dan menarik kursi di depanku mengisyaratkan bahwa aku ingin ia duduk agar aku bisa berbicara lebih banyak dengannya. Ia merespon dengan langsung menyamabut kursi itu dan mendudukinya.

“Bagaimana anda mengenal Natasya?” tanyaku kepadanya.

“Ia temanku,” jawabnya seraya tersenyum. “Lalu anda? Apakah anda mengenalnya sehingga anda memiliki fotonya?” tambahnya.

“Ini..,” kataku seraya memberinya dua buah undangan pameran pribadiku. “Datanglah bersama Natasya.” Tambahku seraya tersenyum kearahnya, lalu aku berdiri dan membungkukkan badanku kearahnya lantas aku melangkah keluar dari toko bunga.

***

Ini adalah hari pertunjukkan. Aku akan menunjukkan ekspresi-ekspresi itu. Ini adalah hari pengakuan.  Aku akan mengakui perasaanku terhadap perempuan itu. Natasya, ekspresimu sudah lama dan sangat aku kenal, maka jangan menganggapku orang asing, biarkan aku memberitahumu perasaanku.

Aku sedang berdiri di tengah ruang pameran, memandang orang-orang tengah berkeliling melihat karyaku. Ada rasa bangga di dalam dada. Di bagian dalam di tempat utama pameran ini, disitulah foto Natasya. Empat foto tergantung, dan disalah satu fotonya terdapat sebuah sketsa wajah terselip di dalam bingkai.

Sketsa wajah yang sama dengan foto di dalam bingkai, dan di sketsa tertulis kata – kata tentang perasaan si pembuat sketsa terhadap perempuan di sketsa. Di bawah keempat foto itu terdapat sebuah tulisan keterangan foto dengan judul “Ekspresi Natasya.”

Itulah dia si pemilik ekspresi, Natasya, aku melihatnya. Dia baru saja masuk, dan sedang melihat foto-foto di bagian depan. Tetapi, siapakah dia lelaki yang ada di samping kananmu Nat? Lelaki itu, mengapa ia merangkul pingganggmu? Dan ekspresimu itu, aku tak mengenalnya, aku tak pernah melihatnya. Nat, ekspresi yang kau tunjukkan kepada lelaki di sampingmu, itu mudah untuk ku mengerti arti dibaliknya. Ekspresi dua orang yang tengah jatuh cinta. Ah, tiba-tiba dadaku terasa sesak. 

Aku bisa melihat Natasya berjalan menuju tempat aku berdiri. Sekarang ia tepat berada di depanku, aku terdiam tak bergerak. Mengapa dadaku ini? mengapa menjadi terasa sakit hanya karena melihat ekspresi Natasya yang sebelumnya tak pernah kulihat? Tidak, ini terasa sakit karena aku tahu cerita dibalik ekspresi itu.

Itu cerita yang membahagiakan bagi semua orang jua bagiku, jika saja aku baru bertemu dengan ekspresi itu. Natasya, tangannya memegang sebuah undangan. Seraya tersenyum, ia memberikan undangan itu kepadaku. Saat aku menerima undangan itu dan memegangnya, aku mengetahui bahwa itu, adalah undangan pernikahan. Aku, memegang sebuah undangan dari seorang perempuan di hadapanku, seseorang tolong potretlah diriku.[]

 

 

Anis Faiqotul Mahmudah Photo Writer Anis Faiqotul Mahmudah

This is what I like so this is what I write

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya