[CERPEN] Lipatan Daun Jati di Bawah Bantal

Ibu, bagaimanapun adalah orang yang melahirkanmu

Sudah delapan kali aku menoleh ke arah Lasmini. Perempuan yang 12 tahun lalu kunikahi dengan seorang wali hakim. Perempuan yang selama ini kukenal sebagai perempuan tegar dan ulet, Ibu yang baik dan isteri yang sungguh dengan serIbu caranya selalu membuatku bahagia.

“Aku belum bisa, Mas. Rasanya sakit hatiku masih terus saja membekas,” kata Lasmini memotong sedikit lamunanku.

Aku menghela nafasku panjang dan panjang.

“Bagaimanapun dia adalah perempuan yang melahirkanmu. Bayangkan jika Miranti melakukan hal yang sama kepadamu,” bujukku lagi.

“Tapi ini berbeda, Mas. Aku adalah Ibu yang baik, selalu memperhatikan Miranti. Pokoknya aku tetap pada pendirianku. Titik.”

Dan lemparan daun pintu mengakhirinya. Aku terdiam. Terduduk dalam keheranan. Walaupun dalam hati kecilku ada sedikit pembenaran atas sikap Lasmini terhadap Ibu kandungnya. Namun mengingat bahwa bagaimanapun Ibu adalah pengukir dan penyambung jiwa raga, rasa kemanusiaanku pun munculah.

Seorang laki-laki yang mengaku paman dari isteriku datang kemarin sore. Dia mengabarkan bahwa Mbah Mirah, Ibu mertuaku yang baru kukenal sekitar 5 tahun ini sedang sakit keras.

“Mbokmu sudah sakit keras, Las. Aku tidak bisa mengurusinya. Kamu tahu sendiri, aku cuma teman Mbokmu waktu berdagang di pasar. Kalau aku menampung Mbokmu di rumahku, bagaimana dengan istriku.” cerita Lik Nar

“Iya Lik, terimakasih. Kami akan memikirkannya,” Lasmini menjawab dengan sebuah keberatan.

Dan kata memikirkan bagi Lasmini, istriku, sebenarnya adalah perasaan keberatan yang diperingan. Mungkin itu karena tidak mau melukai hati Lik Nar yang selama ini sudah dianggap sebagai paman.

Terbayang hari raya tahun ini yang menjadi awal tragedi besar. Ada tiga  lipatan daun jati kering di bawah bantal tempat tidur mertuaku itu. Dan daun kering itu adalah bekas bungkus daging sapi seharga tiga ribu rupiah.

“Mak, Miranti mau makan pakai daging sapi Mbah Sosro," pinta Miranti pagi itu.

Daging sapi Mbah Sosro, kesukaan Miranti, biasa dibeli di jagal sapi milik Mbah Sosro. Nasi sepiring biasa dihabisinya dengan lauk itu. Padahal daging sapi seharga tiga ribu rupiah itu hanya dibumbui dengan bumbu minimalis. Rasanya hanya asin dan sedikit manis. Tapi mungkin karena namanya sudah daging sapi hanya digoreng pun rasanya sudah cukup enak.

Dan tragedi itu pun terjadi. Tiga bungkus daging sapi tiga ribuan itu raib entah kemana. Miranti menangis meraung-raung. Mungkin tadinya sudah membayangkan enaknya santapan dengan lauk kesukaannya namun tiba-tiba anak seusia 5 tahun itu mesti kehilangan kegemarannya.

Alasan digondol kucing tetangga atau tikus rumah hingga kemungkinan terjatuh saat belanja di Pasar Wage tidak bisa meredakan tangisan Miranti. Hingga siang hari Miranti pun tetap tidak mau makan. Si gadis kecil Miranti pun diam dan tertidur. Mungkin sudah cukup capek dengan kekesalannya. Tiba-tiba saja Lasmini berteriak. Melempar-lempar barang di kamar Mbah Mirah. Entah apa yang ditemukannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Maaf Nak. Simbok kepingin dan……,” suara Mbah Mirah terbata-bata

“Bukan begini caranya, Mbok. Simbok kebiasaan selalu mencuri-curi. Bahkan mencuri suami orang. Hingga aku mesti terlahir tanpa Bapak kan. Sudahlah. Lama-lama simbok juga menyembunyikan apa yang Simbok inginkan di rumah ini…..!”

Ini bukan pertama kalinya Mbok Mirah ditemukan dengan barang-barang yang tersembunyi di balik bantal atau di kolong tempat tidur atau bahkan pernah juga di dalam tas miliknya. Ini mungkin sudah yang ke belasan kalinya. Mulai dari tutup gelas, sendok, garpu, serbet, makanan maupun barang yang lebih bernilai rupiah. Cincin, anting, kalung milik cucunya sendiri. Entah apa motifnya. Mungkin kebutuhan, yang jelas Lasmini sendiri segera membuat kesimpulan nyata bahwa kedatangan Ibunya seperti kedatangan kucing tetangga.

Mengingat itu, aku sungguh tidak pernah mengerti masa lalu isteriku. Kecuali yang kutahu isteriku adalah anak angkat keluarga Pak Rumingkan yang konon tidak punya anak hingga belasan tahun berumahtangga. Dan sungguh aku baru tahu mengapa baru 5 tahun ini aku dikenalkan dengan seorang perempuan tua yang telah melahirkan isteriku.

 “Bagaimanapun jeleknya, Ibu adalah yang melahirkan kita, Las.” Kataku selalu dan rasanya sudah tidak ada kalimat dalam bentuk lain yang sama artinya dengan kata-kata itu.

Malam yang begitu lengang, sejak pintu kamar terbanting. Aku hanya bisa berharap ada suatu keajaiban semoga bisa mengubah segalanya. Aku sangat bisa memahami perasaan isteriku. Sekian tahun sekian lama hidup di bawah kasih sayang orangtua angkat, dimana sudah mengenal kerinduan kepada Ibu. Mungkin usia 5 tahun pun ketika pertama kali di rengkuhan keluarga baru yang masih asing harus masih perlu dampingan dari Ibunya sendiri hingga bisa dilepas sendiri.

Aku terbangun masih pagi buta. Rasanya tidur dengan sebuah bayang-bayang tak jelas. Pagi yang menyIbukkan seperti biasa. Miranti bersiap sekolah dengan ulah-ulah kecil tak terkendali. Di sana-sini Lasmini mengeluarkan kata-kata himbauan agar Miranti segera siap. Kopiku yang manis pun terasa sedikit pahit mengantarkan kepergianku ke kantor pemerintah tempatku mencari penghidupan.

Seharian di kantor pikiranku tetap melawat ke masalah Mbok Mirah. Sudah ke sekian kalinya kertas-kertas menjadi sampah kulempar ke pojok ruangan. Print print dan print, salah salah dan salah lagi. Aku merebahkan tubuhku yang tadi malam kurang tidur di sofa kantorku. Rasanya senyumku hari ini terlihat masam oleh anak buahku. Biarlah.

“Kalau tak mau dua ratus ribu anak ini biar kubuang ke terminal saja,” itu kata-kata Mbok Mirah semasa mudanya yang masih melukai perasaan isteriku. Aku pun memakluminya meskipun di sisi lain aku sangat ingin Lasmini memaafkan Ibunya.

Dan dering sms handphone ku mengejutkan lamunanku. Semenit sebelum sms tiba ternyata Lasmini melayangkan panggilan. Namun tak terdengar oleh telingaku.

“MAS, PULANGLAH. PENTING. MBOK MIRAH MENINGGAL….”

Mungkin aku sudah lupa pamit dari kantorku. Aku sudah lupa. Pikiranku hanya sesegera mungkin sampai di rumah. Dan ketika telah sampai,  aku lega. Kulihat air mata meleleh dari bening muka isteriku yang benar-benar sudah menjadi  anak dari Mbok Mirah.

“Mohon ampunlah pada Tuhan, doamu untuk Mbok Mirah akan melapangkan jalan kepergiannya.” Dan kepala istriku mengangguk, hatinya pun mungkin telah senada.

 

 

Anik Astari Fathohroni Photo Writer Anik Astari Fathohroni

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya