[CERPEN] Seperti Mama

Ana ingin seperti Tin, tapi...

 

Ariana, berdiri tegap di atas panggung, bersiap membacakan puisi di depan teman-teman, para guru dan wali murid, di acara pentas seni memperingati Hari Ibu. Gadis cilik 8 tahun itu tersenyum girang saat kedua matanya menangkap sosok yang sedari tadi dinantikan kedatangannya. Mamanya yang tersayang, baru saja duduk di tempatnya, kepercayaan diri Ariana otomatis mengingkat. Gadis berambut ikal-panjang itu mengangkat kertas di tangannya dan mulai membacakan puisi karyanya sendiri. 

Sementara itu, Albertin duduk di salah satu bangku penonton. Tin, panggilan akrabnya duduk di baris ketiga dari depan, posisi ini membuatnya leluasa untuk sesekali membidikan lensa camera ponselnya ke arah panggung. Ariana mulai membacakan puisi, Tin membenahi kembali duduknya dan bersiap menyimak penampilan putri semata wayang yang sangat dikasihinya.

Mama…

Kau milikku satu-satunya tiada lain, tak tergantikan!

Mama…

Aku mau kelak jadi seperti mama, kuat tangguh dan selalu sayang aku!

Mama…

Terimakasih karena selalu sabar walau aku sering nakal!

Mama…

Doakan aku mama, agar kelak bisa jadi seperti mama!

 

Riuh tepuk tangan penonton mengakhiri penampilan Adriana. Semua mengagumi keberanian dan kepercayaan diri Gadis berkulit putih itu, kecuali Tin. Air mata menetes di pipi tanpa permisi, wajahnya sama sekali tidak menghadirkan kebahagiaan dan semangatnya meredup tak seperti sebelumnya. Pandangannya menatap lurus ke arah panggung. Ariana membalas tatapan Ibunya dengan penuh harapan namun, Tin malahan membuang muka dan memilih angkat kaki dari tempatnya.

Lima tahun berlalu…

Malam semakin larut, hampir lewat jam 24.00 WIB, Ana masih terjaga. Hari ini malam minggu dan seperti biasa, bukannya pergi jalan-jalan layaknya remaja sebayanya, dia memilih diam di kamar. Ana duduk di meja belajar yang menghadap ke jendela, sesekali dia mengintip keluar. Perasaan cemas bergumul di dadanya sekarang, karena orang yang ditunggu tak kunjung datang.

**

Toyota Alpard hitam berhenti di depan gerbang sebuah rumah sederhana bergaya Belanda. Seorang wanita 35 tahun turun dari pintu sebelah kiri, menyusul seorang pria 50 tahunan berperut buncit, turun dari pintu kemudi. Mereka berpelukkan sembari berjalan memasuki pintu gerbang.

Ana meloncat dari tempat duduknya, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Dia bersiap di tempatnya, duduk bertimpuh di atas ranjang menempelkan telinganya rekat ke dinding. Hitungan mundur dia mulai dari angka 20. Ana menghitung dalam hati sambil mencari celah terbaik untuk pendengarannya.  Pada hitungan ke 15 pintu kamar sebelah terbuka, kemudian pada hitungan ke 14 dan 13 pintu kembali ditutup dan diakhiri dengan bunyi “klek” tanda pintu dikunci.

Sunyi sesaat, hingga terdengar sayup-sayup suara perempuan dan laki-laki seolah sedang saling merayu. Ana menempelkan telinganya semakin rapat ke dinding. Jantungnya berdegub kencang, keringat dingin mengucur semakin deras, hampir merata ke seluruh tubuhnya.

Ana mengakhiri hitungan tepat di saat suara rintihan seorang perempuan terdengar dari balik dinding, melambat dan kadang lebih cepat. Ana mengigit bibir bawahnya, matanya terpejam namun pendengarannya masih waspada dan siaga mengirim rekaman suara ke otaknya. Ana sungguh menikmati malam itu seperti malam-malam lainnya, meskipun dia tak tahu pasti apa yang sedang didengarnya. Seperti sebuah kenikmatan yang telah membuatnya kecanduan dan atas nama rasa penasaran membuatnya ingin mengulanginya lagi dan lagi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sepuluh tahun berlalu…

Tin berbaring lemah di ranjang. Sudah tiga tahun penyakit stroke merenggut sebagian hidupnya. Kini dia hanya bisa bergantung pada Ariana, putri semata wayangnya. Ariana bekerja sebagai penyanyi di sebuah café dan membuatnya harus berangkat malam dan pulang pagi, selebihnya waktu luang yang dia miliki dimanfaatkan untuk mengurus Ibunya.

Waktu menunjukkan pukul 24.00 WIB, sudah sejak sekitar 5 jam berlalu setelah Ariana pamit berangkat kerja. Tin tertidur cukup pulas hingga suara mesin motor gede membangunkannya. Tin ingin melihat ke luar jendela namun, tanpa bantuan mustahil bagianya untuk berdiri tanpa terjatuh.

Gadis 28 tahun itu turun dari boncengan motor dengan kesal. Laki-laki 35 tahunan yang memboncengnya berkali-kali minta maaf karena lupa mematikan mesin motor 100 meter sebelum mereka sampai rumah. Atas bujuk rayu, si gadis akhirnya luluh dan memberi maaf. Mereka bergandengan tangan, berjalan mengendap-endap masuk ke dalam sebuah rumah sederhana beraksitektur Belanda.

Tin mendengar suara pintu kamar sebelah dibuka. Tin mengeser tubuhnya lebih rapat ke dinding, telinganya cakap mendengarkan. Suara seorang gadis terdengar manja, sedang suara seorang laki-laki seolah sedang membujuk rayu. Raut wajahnya berubah gelisah. Hatinya was-was namun dia tak memiliki daya untuk bertindak. Tin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas seketika, dengan ragu kembali didekatkannya telinganya ke dinding. Terdengar suara melambat, kemudian cepat dan teramat cepat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Tin, dibarengi dengan air mata yang menguarai tiada henti. Dadanya terasa amat pedih.

**

Keesokan harinya…

Angin berhembus melewati jendela kamar yang terbuka. Udara pagi nan sejuk membangkitkan kesadaran Tin dari tidur lelapnya. Tin membuka mata, aroma khas bubur ayam mengusik indera penciumannya. Tin melirik ke arah meja di samping ranjangnya. Semangkuk bubur ayam dan segelas teh hangat telah terhidang.

Namun selera makan Tin menguap begitu saja tatkala matanya menangkap sepucuk surat yang diletakkan di bawah sendok sebagai alas. Entah sejak kapan tepatnya Tin mulai membenci surat dan segala sesuatu berbau kertas. Dengan ragu dan susah payah Tin meraih surat itu kemudian membacanya.

Mama selamat pagi!

Maaf tidak bisa sarapan bersama, Ana harus mengejar kereta pagi ke Jogja. Mama ingat kan tentang lomba menyanyi yang Ana ceritakan tempo hari? Doakan Ana ya Ma…supaya Ana bisa lolos audisi ke Jakarta. Ana ingin menjadi anak yang berbakti sama mama dan kelak menjadi Ibu yang baik seperti mama, seorang wanita yang kuat dan tangguh.

PS : Selama Ana pergi, Ana sudah minta tolong Bu Merry untuk menemani mama.

Ana sayang mama, mama adalah semangat dan inspirasi hidup Ana.

Kecup Mesra

Ariana

Tin mendekap surat itu di dadanya, air mata menghujam hatinya yang mendadak terasa ngilu dan perih. Ibu mana yang tidak akan mengamini doa anaknya? Akan tetapi, selama ini Tin selalu berdoa agar putrinya tidak akan menjadi seperti dirinya. Seandainya, keinginan Ana adalah menjadi seperti Ibunya, Tin hanya bisa mengutuk dirinya seumur hidup sebagai hukumannya.

 

Angel Rose Photo Verified Writer Angel Rose

Jadikan tulisanmu sebagai virus yang menularkan kebaikan <3 ^^ Ig: @caecilia.angel

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya