Membaca Jejak Hujan

Namaku Aruna, dan aku tetap pengagum Wayang.

Pagi itu, tanah Pasundan menyambut kedatanganku dan ayah dengan ramah. Hari itu adalah hari pertama aku libur ujian semester, dan aku putuskan untuk ikut ayah menyelesaikan proyeknya. Pasundan terlihat asri dan masih terjaga kealamian panorama serta manusia di dalamnya. Kicau burung terdengar riang di telingaku. Semilir angin sepoi-sepoi melambaikan dedaun yang terbebani embun pagi. Serta wanita paruh baya masih terlihat sedikit membungkuk dengan tumbu di gendongnya. Berjalan kaki, tanpa alas. Tidak sandal apalagi sepatu seperti yang tengah aku kenakan.

Jalan menuju tempat proyek ayah yang kulewati bahkan masih setapak. Akan tetapi, itu semua tidak masalah. Aku berusaha suka dengan alam, bagaimanapun itu. Sekalipun di tanahku, alam lebih sering tidak ramah padaku. Banyak polusi, berderet-deret kendaraan berbaris mengantri macet yang tak berkesudahan. Dan yang sering kulihat, wajah bocah-bocah khawatir terlambat sekolah.

Membaca Jejak Hujanflickr.com/photos/kurt_penang

“Ayah, boleh ya aku jalan-jalan sebentar?” kataku meminta ijin dengan nada sedikit ragu.

Ayah menoleh dan tersenyum mengiyakan. Ah, syukurlah, batinku. Aku berusaha mengabadikan setiap gerak menarik dari manusia yang masih setia dengan keadaan yang seadanya melalui mini kameraku. Entah kenapa aku lebih suka menyebutnya begitu. Semakin aku berjalan, ada hal lain yang menarik kudengar. Suara pukulan berirama. Ya, itu suara gamelan. Akhirnya aku berusaha mencari sumber suara itu. Berharap itu akan menjadi cerita baru untuk tulisanku.

“Mas, maaf numpang tanya. Suara gamelan itu dari mana ya asalnya?” tanyaku pada seorang pemuda yang tengah berjalan searah denganku.

“Ikuti saya aja.” Jawabnya singkat dan datar. Aku sedikit meningkatkan konsentrasi pendengaranku akibat suara pemuda di depanku tak begitu keras sebelum aku akhirnya memilih mengangguk dan membuntutinya.

Selama perjalanan tak banyak yang ia katakan, selain jawaban dari pertanyaan yang aku lontarkan terlebih dahulu. Sampai akhirnya, Di pendopo itu sedang ada persiapan untuk pagelaran wayang orang.” Katanya sambil menunjuk kearah pendopo bertuliskan Panggone Wayang itu. “Oyah? Saya bisa kesana mas?” tanyaku tak sabar. “Namaku Wayang.” Katanya tiba-tiba sambil memberikan tangannya untuk kubalas dengan jabatan tanganku.

“Maksudnya mas? Wayang?” tanyaku tak mengerti. Pemuda itu malah tersenyum dan menarik tangannya kembali. “Namaku Wayang. Ayahku pemilik pendopo Panggone Wayang itu.” Jawabnya kemudian. Sulit kupercaya nama pemuda itu. Tapi yang jelas aku tertawa, tersipu malu akan aku sendiri.

Mendadak aku belajar cerita wayang melalui pemilik nama Wayang itu. Ia paham betul dari setiap lakonnya. Lucunya, aku malah sedikit berpikir bahwa ia tengah menceritakan dirinya sendiri. Menceritakan ia dengan beragam versi.

“Kalau boleh tanya, kenapa nama kamu Wayang?” tanyaku pada akhirnya.

Waktu itu, bapakku bingung memberi nama, karena yang ia lihat sehari-hari adalah wayang, maka ia putuskan untuk memberiku nama Wayang.” Jawabnya dengan senyum di penutup penjelasannya.

“Apa sesederhana itu?” tanyaku masih belum percaya.

Ia menghela nafas dan akhirnya, “Sebenarnya bapak berharap hidupku seperti wayang yang manut dengan dalangnya. Berharap aku akan senantiasa manut dengan dalang yang sejatinya, Gusti Allah..” Aku terkagum-kagum mendengarnya. Penjelasan yang sederhana tetapi menyimpan makna yang dalam.

“Bagaimana denganmu Aruna? Namamu aneh sekali.”

“Hehe, iya. Ayahku terlalu rajin belajar sejarah, hingga putrinya ia beri nama dengan bahasa sansekerta. Seperti aku hidup di zaman Majapahit saja.” Jawabku mengajaknya becanda.

Perbincangan kami semakin asik hari itu. Dia lebih sering bicara serius, dan aku lebih sering bercanda menanggapinya. Tapi entah kenapa, aku bahkan tetap saja kagum dengan gaya diamnya tak menjawab pertanyaanku yang kulontarkan dengan sedikit bercanda itu. Ia tetap terlihat tampan dan mempesona. Ish!

Apalah aku ini. Perbincangan kami bahkan berlanjut hingga perjalananku kembali menemui ayah yang mengajakku pulang. Akan tetapi, hujan telah lebih dulu mengejutkan kami dan mengajak kami untuk singgah di gubug pinggir jalan, seolah-olah waktu menginginkan kami bersama sedikit lebih lama.

Membaca Jejak Hujanplaybuzz.com

“Di dunia ini tidak ada yang kebetulan.” katanya seakan mengerti apa yang tengah aku bicarakan dengan diriku sendiri. Aku tersenyum mendengarnya. Dadaku kurasa lebih berdegup dari sebelumnya.

“Kamu takut hujan, Aruna?”

“Aku tidak takut, hanya khawatir kedinginan setelah diguyurnya.” Jawabku.

“Setidaknya hujan akan akan menyisakan jejak yang akan terus kau baca.”

“Maksudmu?”

“Kenangan.” Jawabnya kemudian.

Tak banyak yang ingin kulakukan setelah itu, selain mengeja setiap garis wajahnya.

“Aku pasti akan merindukanmu.” Kataku tiba-tiba tanpaku sadari. Duh! apa yang kulakukan?

“Berlakonlah dengan anggun, seperti wayang kepada dalangnya..” Jawabnya tak terduga. Wow, mataku kurasa melebar mendengarnya. Dadaku samakin berdegup kencang. Segera aku lempari ia dengan air hujan. Berusaha tidak membiarkan rasaku semakin membuat aku malu di hadapannya. Aku pulang, dengan basah yang ia jejakkan. Dengan omelan ayah sebab demam yang aku suguhkan kemudian.

“Na, ada Dimas!” teriak ayah keesokan harinya. Aih, pagi itu aku terbangun sebab teriakan ayah, dan setelah aku membuka mata, Dimas sudah ada di dekat ranjang tidurku.

“Iihh, kamu ngapain kesini? Aku baru bangun, jelek tau..” rengekku menahan malu.

“Memangnya, kapan kamu pernah cantik?” balasnya. Ah iya, Dimas adalah anak sahabat bisnis ayah. Kami kenal cukup lama. Umurnya tiga tahun lebih tua dariku. Ia perhatian sekali. Sampai-sampai tak pernah lupa mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur untukku setiap harinya. Menanyai kabarku. Kabar ayah. Hingga suka cerewet sekali jika tau aku sakit, sekalipun hanya demam.

“Anak bandel, siapa yang nyuruh kamu hujan-hujanan?” tanyanya sambil siap-siap mengomel. Aku diam tak menjawab. Merasa bosan dengan sikap dia yang sedikit protektif. Hei, kita hanya teman, jadi berhentilah bersikap yang seolah-olah aku ini lebih dari teman bagimu. Omelku dalam hati.

“Na, jawab!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Dim, aku tuh nggak papa. Nggak ada yang nyuruh aku hujan-hujanan. Jadi please, biasa aja. Oke?” kataku sedikit membentak. Aih..

“Ngapain coba hujan-hujanan? Demam kaya gini aja baru tau rasa kan kamu?” jawab Dimas.

“Dim, udah deh. Khawatirmu sebagai teman itu berlebihan.” jawabku geram.

“Na, aku sayang sama kamu. Jadi wajar kan kalo aku nggak pengen kamu kenapa-napa?” kata Dimas tiba-tiba. Aku terkejut. Ini kali pertama dia mengatakan hal demikian. Tak ada yang aku katakan untuk membalas kalimatnya.

“Na, aku udah nggak bisa nyimpen ini. Aku pengen sama kamu Na. Aku pengen jadi pacar kamu. Okelah, emang aku nggak punya kalimat romantis untuk mengatakan ini. Tapi yang jelas, ini perasaan yang saat ini aku rasain ke kamu Na.” Kata Dimas semakin ngelantur kemana-mana.

“Dim, mending kamu pergi deh.”

“Na, aku serius. Aku bahkan siap ngomong ke ayah kamu soal ini.” Katanya lagi.

“Dim, aku nggak suka.”

“Apa yang kamu nggak sukai dari keseriusan, Na? Dengan begitu aku lebih mudah jagain kamu. Aku tawarin masa depan buat kamu. Kita deket udah lama. Apa selama itu kamu nggak pernah ngrasain apa yang aku rasain Na?”

“Dim, cukup! Aku udah suka sama orang lain.”

“Oyah? Siapa Na? Apa dia mengalahkan keseriusanku? Apa dia sudah bilang ke ayahmu perihal itu?”

“Dimas! jangan bikin aku marah. Dia emang belum bilang ke ayah. Dia belum tau soal perasaanku. Tapi yang jelas, aku suka sama dia Dim.” Jawabku menahan sesak. Ah..

“Perempuan itu lebih baik bersama dengan orang yang mencintainya, bukan yang dicintainya.” Kata ayah tiba-tiba datang mengejutkanku juga Dimas.

“Ayah??”

“Siapa yang kamu sukai itu Na?” tanya ayah.

“Aku.. aku..” jawabku ragu-ragu. Takut hanya aku saja yang merasakan ini.

“Aku suka dengan pemuda desa Pasundan ayah.” Jawabku kemudian.

“Hubungi dia sekarang. Kamu tanya perasaannya ke kamu. Kalo dia nggak suka sama kamu, ayah menyetujui Dimas.” Jawab ayah sebelum akhirnya keluar dari kamarku.

Segera aku mengetik pesan untuk Wayang. Satu kalimat selesai, tapi kemudian aku hapus kembali. Aku mencoba lagi, dan kuhapus lagi. Wayang, aku nggak ngerti harus bilang apa ke kamu. Batinku gelisah. Maka ku tulis saja, ‘Wayang, apakah tak apa bila aku merindukanmu?’

Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Satu jam. Hingga akhirnya, “Gimana, Na?” tanya ayah datang lagi dan dibuntui Dimas dibelakangnya. Aku menggeleng. Aku nggak habis pikir kenapa bisa jadi seperti ini.

Membaca Jejak Hujanyoutube.com

‘Sesuatu apa yang tak diuji di dunia ini? Bahkan Shinta yang berjanji setia dengan Rama saja diuji dengan hadirnya Hanoman yang juga tulus mencintainya.’

“Sepakat dengan ayah?” tanya ayah kemudian.

“Sebentar yah. Aku.. Aku.. tak sepakat dengan ayah. Aku tidak suka dengan Dimas. Bila memang Wayang tak mencintaiku, biarkan aku masih dengan perasaanku yah. Sampai ia pergi dengan sendirinya jika harus pergi. Hingga aku suka dengan Dimas jika memang harus suka.” Jawabku seraya menangisi keadaanku sendiri. Kenapa jadi seperti ini? Ayah mengangguk, mengerti. Sekalipun dalam diamnya ia masih berharap aku berpikir mengenai hal ini lagi.

“Na, Wayang itu kisahmu di hari kemarin. Sedang aku, adalah kisahmu di hari ini, dan nanti.. aku akan terus kesini minta jawabanmu, Na” bisik Dimas untuk kemudian pergi.

Wayang, adakah aku Shintamu yang tengah diuji oleh Hanoman?

Aku tak tahu, mana yang akan kusebut sebagai masa lalu, sedang bicara akan hari ini saja aku masih sulit. Dimas yang menawarkan masa depan untukku, sedang rasaku nyata untuk Wayang sekalipun ia diam, sekalipun aku bertemunya di hari kemarin. Sedang Dimas masih saja aku temui, di hari ini, juga esok.

Pagi ini, tak ada semburat megah fajar di belantara langit. Hujan telah lebih dulu membasahi rerumputan di depan rumahku. Aku berdiri di ujung teras. Menengadah sejenak. Merasakan runcingnya hujan dengan telapak tanganku. Ini hujan ke sekian kalinya tanpa seseorang yang memberi nyawa pada tulisanku. Ya, namaku Aruna. Sang fajar yang selalu membuat penikmatnya bersinergi kembali. Si pengarang cerita yang terjebak pada pesona lakon bernama Wayang. Sedang pagi ini tak ada fajar, tak ada sinergi. Yang ada hanyalah jejak hujan di telapak tanganku, dan membuatku kembali gelisah oleh dinginnya.

Namaku Aruna, dan aku masih pengagum Wayang.

 


Mau karya tulismu diterbitkan oleh IDNtmes.com? Yuk, submit artikelmu di IDNtimes Community! Cari tahu bagaimana caranya di sini.

Membaca Jejak Hujancommunity.idntimes.com

Topik:

Berita Terkini Lainnya