[CERPEN] Seorang Perempuan di Pertigaan

Dan semua kembali pada takdir-Nya

Dari sebuah lubang sempit, air itu mengalir menuju parit. Padahal parit itu sudah penuh, sudah luber dengan permukaan air yang sama tinggi dengan jalanan.  Semakin ke utara, genangan air semakin tinggi dan ke sanalah kakiku hendak melangkah. Awalnya hanya setinggi mata kaki. Semakin aku berjalan air merangkak hingga menyentuh betisku. Aku menjinjing rok, menghindari basah.

“Wuussss... Byurr....”

Untuk ke sekian kali, betisku diterjang air yang menepi karena kendaraan lalu-lalang. Di jalan raya antar kota itu, ban truk dan mobil menggoyang-goyangkan genangan air ke kiri dan kanan, setelah sebelumnya terciprat ke udara. Beberapa tetes cipratan air mengenai bajuku dan yahh, basah. Aku berhenti sejenak, memandang ke arah jalanan. Seorang sopir truk tronton tampak sedang duduk di kursi jabatannya sembari menghisap rokok dalam-dalam. Asap putih pekat yang menghembus bergelung-gelung ke udara. Barangkali ia hendak menyampaikan pesan pada awan agar tak lagi turun hujan.

Lalu perhatianku beralih pada seorang ibu-ibu setengah baya di pertigaan ujung jalan, 200-an meter ke arah utara. Ibu itu tampak cemas, tergesa-gesa, dan sedih. Aku tertarik dan penasaran sehingga lajuku sedikit kupercepat. Satu meter darinya, aku berhenti sejenak dan berdiri di bawah sebuah pohon rindang di tepi jalan, mengamatinya. Tentu sembari menjinjing rokku agar tidak basah terkena air yang menepi dari jalanan.

Ibu itu, selalu bertanya kepada setiap orang yang lewat pertigaan. Ia selalu bertanya kepada semua orang di pertigaan itu yang hendak ke arah barat, ke desa Sugihwaras. Pertanyaan serupa diajukan kepada mereka. Tak peduli besar, kecil, tua, muda, jelek, atau rupawan ia tanyai semua. Tak soal apakah mereka seorang sopir angkot, kernet, siswa SMA, pengemis, pedagang asongan, penjaja jagung rebus, penjual koran, atau pengamen yang baru saja turun dari bus. Semua ditanyai tanpa kecuali.

“Mas, lihat orang hanyut? Tampan dan gagah tubuhnya?” tanyanya pada seorang pedagang asongan.

“Maaf, Buk. Saya tidak lihat.” 

Lalu ibu itu tampak sedih, namun tak pernah putus asa. Kepada sopir angkudes jurusan Sugihwaras – Tambak yang menurunkan penumpang, ia bertanya, “Pak, apakah lihat seorang laki-laki bertubuh gagah hanyut terseret air di utara sana?”

“Tidak. Memangnya kenapa, Buk?”

“Barangkali suami saya. Kata orang-orang dia hanyut terbawa banjir, tapi saya tidak percaya sebelum melihat mayatnya sendiri.”

“Maaf, Buk. Saya tidak tahu. Mungkin penumpang saya tahu? Wooii, ada yang lihat mayat laki-laki hanyut tidak?”

Para penumpang sontak ribut dan berbisik-bisik, lalu di antara mereka angkat suara, “Kemarin aku melihat, mayat laki-laki seumuran SMA.”

“Bukan, bukan dia,” jawab ibu itu cepat.

“Mas...Mas.., apakah lihat mayat hanyut ikut banjir?” kepada pengamen bertato naga di lengan ia bertanya.

“Mayat? Ya aku melihat mayat seorang laki-laki dengan tubuh gagah dan rupawan terseret banjir. Sekarang mungkin dia sudah ke laut dan dimakan hiu.”

“Tidak, suami saya tidak dimakan ikan hiu,” jawab ibu itu  geram.

“Ya sudah, jangan bertanya terus!” Pengamen itu kesal dan segera masuk ke dalam satu-satunya warung yang ada di pertigaan situ. “Bertanya terus tiap hari, apa tidak capek? Aku saja yang ditanyai sudah bosan,” lamat-lamat kudengar pengamen itu menggerutu.

Aku kasihan melihat ibu itu. Barangkali memang benar suaminya meninggal terbawa arus banjir bandang yang melanda kemarin. Aku dengar informasinya dari televisi karena posisiku yang bekerja di Jogja. Kebetulan saja hari ini pulang. Atau mungkin ibu itu memang tidak waras. Ahh, berpikir apa aku ini. Kenal juga tidak kenapa menduga yang tidak-tidak.

 “Sedang apa, Dek?” Seorang bapak setengah baya menegurku, membuyarkan perhatianku pada ibu tadi.

“Itu Pak, sedang mengamati ibu yang ada di pertigaan itu. Kasihan sekali dia. Sayang, aku tak tahu apa-apa jadi tidak bisa menolongnya.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Entahlah, Pak. Aku tidak tahu. Yang aku tahu aku melihatnya seperti itu ketika pulang dari Jogja hari ini. Aku penasaran sehingga kuamati dari jauh.”

“Hmmm, kasihan sekali dia. Bisa kau berikan ini padanya?” Bapak itu memberikan sapu tangan bersulam kepadaku.

“Bapak mengenalnya?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Nanti engkau akan tahu jawabannya,” ucapnya lembut dan aku pun menurut.

“Oh, baiklah, Pak.”

Aku mendekati ibu itu yang kini sedang duduk di teras jalan. Pandangannya menerawang jauh, menembus bak truk tronton, pepohonan, dan mega-mega yang semakin menghitam saja. Mungkin siang nanti akan turun hujan. Dan jika iya, maka pesan asap rokok sopir tadi tak sampai.

“Permisi, Buk. Boleh saya ikut duduk di sini?”

“Eh, boleh. Silakan, Nak.” Ibu itu mempersilakan lalu diam. Aku penasaran kenapa ia tak bertanya kepadaku seperti yang sudah ia lakukan pada semua orang tadi.

“Ibu sepertinya sedang sedih, kenapa?” tanyaku basa-basi, berharap dapat sedikit menghiburnya.

“Suamiku belum kembali,” katanya. Ia lalu melanjutkan kemudian, “Seminggu yang lalu ia pamit padaku hendak menyetor kerupuk-kerupuk kami ke tengkulak. Ia juga hendak menjualkan kerupuk kami keliling agar mendapat uang tambahan. Kami adalah kedua orang tua yang hidup mandiri. Anak-anak kami semuanya tinggal di kota bersama keluarga mereka. Kondisi ekonominya tidak lebih baik dari kami sehingga kami harus mandiri agar tidak menambah beban mereka. Waktu itu hujan deras mengguyur. Aku sudah mencegahnya untuk tidak bepergian, tapi ia bersikeras.” Ibu itu mulai curhat.

“Lalu dengan berat hati aku mengizinkannya. Di depan pintu ku antar kepergiannya dengan doa yang tak henti-henti kuucapkan, berharap ia senantiasa dilindungi Tuhan. Berbekal motor dan jas hujan, ia pergi menyetor kerupuk-kerupuk kami yang semalam baru saja kugoreng. Katanya, ‘sayang sekali jika tidak langsung disetorkan, ibuk sudah capek menggoreng dan barangkali para tengkulak sudah menunggu’. Sungguh, dia adalah suami yang penuh cinta dan tanggungjawab. Ia bekerja sepenuh hati dan ramah pada semua orang.”

“Seharian aku menunggu kepulangannya dengan gelisah. Hingga petang menjelang, belum ada tanda-tanda ia pulang. Malam semakin larut, bukan dia yang kutemukan di depan pintu, tetapi Pak RT yang mengatakan bahwa banjir bandang baru saja melanda. Ia datang untuk memastikan aku dan suamiku baik-baik saja. Aku takut karena suamiku belum pulang. Bagaimana jika dia tidak baik-baik saja?”

“Lalu keesokan harinya aku melapor pada Pak RT. Kukatakan padanya perihal suamiku yang belum pulang, yang tidak biasanya pulang telat hampir sehari. Pak RT dan beberapa orang yang sedang menukang di sana menghiburku. Barangkali suamiku menginap di rumah seseorang karena kendala banjir bandang yang mengerikan. Aku senantiasa berdoa dan berharap begitu.”

“Namun hati kecilku selalu cemas. Apalagi semalam dia mengatakan tentang sapu tangan. Ia berkata bahwa jika sapu tangan yang selalu ia bawa kembali padaku lewat apa atau siapa, maka ia telah pamit padaku. Aku pun pulang dengan kecemasan tak terbendung yang segera kugantikan dengan doa-doa keselamatan untuknya.”

“Tiga hari berlalu, aku tidak dapat berdiam diri di rumah. Banjir sudah mulai surut namun suamiku belum juga pulang. Aku pun menuju kemari. Bertanya pada semua orang. Di hari itu mereka tidak melihatnya. Di hari keempat salah seorang tetanggaku mengatakan barangkali suamiku sudah mati terseret banjir. Aku tidak percaya. Lalu aku bertanya tentang mayatnya di hari kelima hingga ketujuh. Orang-orang sudah banyak membantuku. Mencoba mencari kabarnya ketika mereka bepergian ke Tambak atau ke daerah di mana suamiku biasa menjual kerupuk kami. Meski banyak yang menduga aku gila dan banyak yang sudah bosan mendengar petanyaanku. Aku tak peduli. Dan ini tepat hari ketujuh aku berada di sini.”

Aku mendengarkan dengan seksama. Tentang sapu tangan, aku jadi teringat bahwa tujuanku kemari untuk memberikan sapu tangan padanya. Aku membuka tas, mengeluarkan sapu tangan. “Bu, ada titipan dari seseorang untukmu.”

“Siapa? Titipan apa?” Raut muka ibu itu mendadak kaget, matanya membulat besar dan nampak ia sangat gugup.

Ku berikan sapu tangan tadi padanya. Ibu itu tertegun sejenak, lalu menerimanya. Ia meremas-remas sapu tangan tersebut dan ia bertanya padaku. “Apakah kamu melihat seorang laki-laki gagah, rupawan, dan murah senyum?”

Aku tidak lantas menjawab. Yang ada dalam pikiranku, mengapa pertanyaannya berbeda dengan yang ia ajukan pada orang-orang sebelumku. Bukan tentang mayat, tapi seorang laki-laki. Namun, karena ia terus mendesak dan bertanya maka ku katakan bahwa aku baru saja bertemu dengan seorang laki-laki separuh baya berwajah bersih, gagah, dan lembut tutur katanya. Ia mendesak lagi di mana aku menemuinya. Ku katakan bahwa aku menemuinya di bawah pohon rindang, beberapa waktu lalu. Lalu ia pun kembali mendesak perihal di mana ia sekarang. Ku katakan bahwa laki-laki itu pergi setelah memberikan sapu tangan.

Langit masih mendung, air masih menggenang di mana-mana, dan jalan raya masih macet. Orang-orang masih sibuk lalu-lalang dengan kepentingan masing-masing. Tak ada yang berubah kecuali wajah ibu itu yang makin sendu, lalu lamat-lamat ku dengar ia terisak-isak. Hey, apakah aku mengucapkan kata yang melukai hatinya?

“Ibu, kenapa menangis? Apakah kata-kataku barusan melukaimu?”

“Tidak, Nak. Justru kau datang membawa jawaban.”

Aku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

“Sapu tangan ini adalah milik suamiku. Orang yang kamu temui tadi pastilah suamiku. Dia pernah berpesan, jika sapu tangan ini kembali padaku entah lewat siapa pun itu, maka dia telah pergi mendahuluiku. Dan pesan itu ia sampaikan seminggu yang lalu ketika hendak pergi.”

Terang sudah kini semuanya.

 

Semarang, 22 Februari 2018

Siti Nur Aisyah Photo Writer Siti Nur Aisyah

Suka sama tempat-tempat yang sejuk kayak pegunungan atau hutan. Humoris dan ramah. Katanya galak kalo ngomong, padahal nggak. Asli Pati sih

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya