[Cerpen] Roger Ingin Menjadi Bajingan

Antara Toni, Roger, Surya dan kata umpatan yang harusnya tidak dia dengar

“Nah, Roger kalau besar nanti kamu ingin jadi apa?”

Pertanyaan ibu guru membentur-bentur isi kepala Roger. Hari Rabu pagi adalah pelajaran bahasa Indonesia, materinya cita-citaku. Dia senang pelajaran bahasa Indonesia, utamanya pelajaran mengarang puisi. Tapi, itu di sekolah lamanya. Hari ini, di depan ruang kelas sekolah baru dan ibu guru baru, Roger hilang kemampuan berkata-kata. Lama dia mematung. Rupanya dia sedang memikirkan kejadian yang dialaminya tiga minggu terakhir.

Sebagai pengarang yang menginginkan keteraturan tentu saya tidak akan langsung menceritakan kejadian tiga minggu terakhir tersebut. Saya akan lebih dulu menjelaskannya secara rinci, mulai dari latar belakang hingga titik kulminasi. Harap maklum karena ini masih merupakan tahap pembelajaran saya sebagai penutur yang baik.

****

Ada seorang anak bernama Toni dan ayahnya bernama Surya, laki-laki kekar berkulit sawo matang, rambut gondrong dengan tato di sekujur tubuh. Walau pun berpenampilan sangar (dilengkapi kumis melintang bak ulat bulu di wajahnya), Surya sangat perhatian pada Toni. Tiap sore (kecuali hari Sabtu), Surya akan mengajak Toni berjalan-jalan di taman waduk yang tidak jauh dari rumah kontrakan kecil mereka. Rutinitas itu dilakukannya sejak Toni berumur empat tahun. Di sana Surya menceritakan kisah-kisah tentang kejahatan melawan kebaikan, sembari duduk bersama menikmati es krim atau gulali.

Bagi Toni, ayahnya adalah sosok jempolan. Tiap hari Minggu siang, setelah Surya bekerja semalaman, dia akan pulang membawakan Toni buku baru disertai makanan enak. Maka tidak heran, kontrakan kecil dua kamar yang mereka huni penuh dengan buku-buku. Mulai dari buku sejarah, novel terjemahan, majalah anak-anak, komik, bahkan buku cara beternak hewan pun ada. Asupan pengetahuan untuk Toni yang masih kelas 4 SD adalah hal yang terjamin. Sesekali Toni akan bertanya pada ayahnya kata-kata yang tidak dia mengerti.

“Ayah, apa arti kata ‘konspirasi’?” Toni bertanya sembari tetap memegang erat buku berjudul “Organisasi Penguasa Dunia”.

Surya yang tengah menghisap sebatang rokok terkejut. Dia suka segala pertanyaan Toni, dia lebih banyak tahu dari dirinya, tapi dia kerap kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan tiba-tiba. “Toni anakku, ayah belum pernah mendengarnya. Tapi menurutku itu sejenis puding dari Perancis. Ah, cobalah kau tanya Google. Mungkin orang Amerika itu punya jawaban yang kau butuhkan.”

Tiga minggu lalu, ada acara penerimaan rapor tengah semester di mana orang tua siswa harus datang. Toni ingin ayahnya ikut ke sekolah. Diserahkannya undangan itu, dia hanya melihat sekilas kemudian langsung menelpon seseorang.

"Halo… Roy, bisa ke rumahku sekarang? Bukan itu! Persiapan untuk nanti malam sudah beres, aku sebentar ke sana untuk memastikan. Tenang saja. Tapi aku butuh kau temani Toni mengambil rapor. Apa? Guru cantik? Sudahlah, jangan urus itu dulu. Kalau sebentar malam sukses, kau kuberi komisi tambahan 5%. Oke? Kau masih sadar, kan? Apa? Tadi kau nyimeng? Sudah kubilang jangan pakai apa-apa di hari eksekusi! Itu biar kalian fokus! Kau itu melanggar kode etik! Biar rileks? Kau bisa rileks di penjara! Oke, begini saja. Kau cuci muka sana, sikat gigi, ke rumahku sekarang, dan di sekolah kau diam saja. Kalau dinasihati gurunya Toni, cukup manggut-manggut dan jangan komentar macam-macam. Oke? Apa? Komisi? Kuturunkan jadi 4%!”

Persiapan, lokasi, komisi, hari eksekusi, penjara. Pasti kalian para pembaca yang budiman sudah punya gambaran jelas tentang siapa Surya ini sebenarnya. Tapi, kutahan dulu. Nanti kubeberkan lebih lanjut.

Toni sibuk mempersiapkan bajunya saat ayahnya menelpon orang kepercayaannya. Tak lama Roy datang, dengan kemeja putih polos dan sepatu pentofel dilengkapi dengan celana jeans. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Toni mengenal Roy sebagai orang berantakan dengan rambut awut-awutan tak pernah sisiran ditambah kulitnya yang legam hasil terlalu banyak berkeliaran di jalan. Tapi hari ini dia terlihat beda, sangat berbeda.

Surya terbahak-bahak melihat penampilan Roy. Alasannya, hari penerimaan rapor mewajibkan orang tua atau wali berpenampilan rapi. Toni pun dibonceng Roy ke sekolah setelah mencium tangan ayahnya. Hal yang dikhawatirkan Surya tidak terjadi, Roy terlihat berkelas, begitu tenang mendampingi Toni yang menahan tawanya. Sebagai tambahan, Roy membeli kacamata yang lapaknya ada di dekat gerbang sekolah.

“Biar aku kelihatan intelek di depan orang tua teman-temanmu, Ton. Begini-begini aku pernah baca majalah bahasa Inggris! Majalah Playboy!” Ujarnya saat ditanya alasan tiba-tiba membeli kacamata.

Pulang sekolah, didapati rumahnya telah kosong. Seperti biasa, ayahnya pergi untuk bekerja. Dia membayangkan ayahnya datang membawa buku baru dan kue-kue enak esok pagi. Maka di sisa hari, Toni hanya menghabiskan waktu dengan membaca atau memakan cemilan yang ada di kulkas.

Tengah malam, pintu rumah Toni digedor dengan keras. Dia terbangun, jarang-jarang ada yang bertamu di jam itu. Awalnya Toni ragu membukanya, apalagi dia selalu ingat pesan ayahnya untuk tidak sembarang membuka pintu kepada orang asing jika sedang sendirian di rumah, terutama polisi. Namun kali ini beda.

“Cepat buka, nak… Ini ayah. Hnnggg, ini ayah.” Terdengar suara Surya mengerang kesakitan di balik pintu. Toni begidik ngeri, ayahnya butuh bantuan!

Segera dia berlari dari kamar untuk membuka pintu. Dan dilihatnya ayahnya tengah memegang perut, darah tercucur di lantai. Toni menangis melihat keadaan ayahnya.

“Ayah… Kenapa bisa begini? Ada apa??” Toni memeluk ayahnya yang sudah bernafas tersengal-sengal, terkapar di lantai.

“Anakku, maaf ayah karena malam ini tidak bisa membelikanmu buku baru dan makanan enak…” Air mata menetes di pipi Surya, penyesalan tidak bisa membahagiakan anaknya untuk besok.

Tiba-tiba, datang puluhan orang dengan jaket kulit dengan berlari. Mereka berteriak ke Surya agar menyerahkan diri sembari mengacungkan pistol. Surya menolak, dan segenap sisa-sisa tenaga dia pakai untuk menerjang polisi yang berdiri di depan pintu tersebut. Toni terlempar, dan satu-satunya suara yang dia dengar saat menoleh adalah suara letusan diikuti suara tubuh tumbang tanpa daya. Surya tewas karena melakukan perlawanan.

Toni menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk jasad ayahnya. Siapa lagi yang nanti mengajaknya jalan-jalan sore sembari menceritakan kisah-kisah pertempuran baik dan jahat? Siapa lagi yang nanti membawakannya buku baru untuk dibaca? Siapa lagi yang nanti dia bisa tanyai jika mendapatkan kosa kata rumit? Bagi Toni, dunianya berakhir bersama peluru yang menembus jantung ayahnya.

Toni masih sesenggukan ketika ambulans bersiap untuk membawa jasad ayahnya, dia ingin ikut naik menemani tapi dilarang oleh polisi. Polisi malah memaksanya naik ke mobil untuk di bawa ke kantor polisi. “Apa salah saya, pak? Saya tidak pernah melakukan kejahatan!” Toni meronta dalam gendongan, namun tubuh mungilnya tidak kuasa menahan kekuatan dekapan si petugas. Toni takluk, apa dia akan dipenjara? Toni hanya gemetaran dalam mobil, tidak bisa berbuat apa-apa.

Tiba di kantor polisi, dia melihat “teman-teman kerja” ayahnya digelandang menuju sel penahanan. Dia melihat Roy, terborgol, dan masih mengenakan kacamata. Roy hanya menatap dalam diam ke arah Toni, tahu bagaimana nasib Surya dan malangnya nasib sang keponakan. Toni kemudian masuk ke ruangan, tiba-tiba ada sepasang orang tua yang memeluknya. Siapa orang-orang ini?

“Akhirnya kamu kembali, Roger.” Kata seorang wanita cantik yang tiba-tiba memeluknya.

“Maaf, bu. Saya bukan Roger, saya Toni.” Jawabnya dengan lugu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Brengsek! Bajingan itu sudah mencuci otak anak kita!” Seorang pria tiba-tiba meninju dinding, melampiaskan kekesalannya.

“Papa! Jangan berkata seperti itu di depan anak kita! Dia sudah mengalami masa-masa sulit!” Apa? Masa sulit? Semuanya indah sebelum polisi menembak ayahku! Pikiran Toni masih kalut.

Toni pun dibujuk untuk duduk berdua bersama perempuan itu di luar ruangan, sementara si pria masih diselimuti emosi tetap tinggal untuk memproses berkas berita acara.

****

Si wanita bernama Tamara, dan yang pria bernama Damian. Mereka sepasang suami istri, dan Roger adalah anak mereka. Suatu malam, beberapa tahun yang lalu, seorang perampok menyatroni rumah pasangan ini. Waktu itu rumah hanya ditinggali seorang pengasuh anak dan Roger yang masih belajar merangkak. Namun, tidak ada barang yang dicuri, brankas juga masih aman. Yang hilang hanya Roger, dan menyisakan si pengasuh dalam keadaan pingsan usai dibius.

Ya, perampok tersebut adalah Surya. Malam itu terasa ganjil bagi Surya karena niatnya untuk menggasak harta digagalkan saat memasuki kamar seorang anak. Roger bangun dan melihat sosok menyeramkan di pinggir kasurnya. Alih-alih menangis, si Roger kecil ini malah tertawa melihat Surya. Si perampok pun jatuh hati, dan untuk malam itu dia ganti profesi, dari perampok ke penculik anak.

Tiba di markas, anak buah Surya malah heran. Tak habis pikir, Surya yang garang ini telah kena teluh dukun siapa? “Entahlah, instingku mengatakan aku butuh anak ini.” Itu jawaban Surya saat ditanya oleh Roy, yang masih awut-awutan berantakan tanpa kacamata. Dan, seperti itulah. Surya memanggil anak itu Toni, nama sipir baik hati temannya saat dipenjara dulu. Sejak mengasuh Toni, Surya jadi lebih bijak dalam mengurus anak buahnya. Lebih teliti dalam segala hal, termasuk jadwal rutin perampokan berikut jamnya. Dan lebih teratur dalam menjalani hidup (tidak minum alkohol atau memakai obat terlarang).

Kasih sayang yang diberikan Surya kepada Toni begitu banyak. Dia belajar memasang popok dan memandikannya sejak mengasuh Toni. Masuk usia lima tahun, Surya merasa Toni harus diberi asupan pengetahuan. Terlebih anak asuh kesayangannya itu sudah mulai mahir membaca. Minggu pagi setelah perampokan, di saat anak buahnya yang lain akan menuju bandar narkotika, Surya malah duduk di depan toko buku, menunggunya buka. Surya adalah pelanggan pertama, dan menjadi langganan sampai peluru merenggut nyawa Surya.

Kembali ke pasangan Tamara dan Damian. Mereka kaget bukan main melihat kamar Roger sudah kosong. Mereka pun langsung menghubungi polisi. Ditunggu kabarnya, sehari dua hari, belum ada. Seminggu dua minggu, belum ada juga. Sebulan dua bulan, tetap nihil. Setahun dua tahun, penyelidikan belum juga membuahkan hasil. Damian pasrah, mengumpat kata “bajingan” berkali-kali dan sudah berencana membuat anak lagi. Sementara Tamara tetap berdoa pada Tuhan agar Roger kembali dengan selamat. Terlebih Tamara berfirasat Roger masih hidup.

Dan Tuhan menjawab doa Tamara. Sebulan lalu, seorang detektif dikirim ke bendungan untuk memata-matai Surya. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat Surya bersama anak lelaki berusia Sembilan tahun, sesuatu yang tidak ada dalam laporan. Maka atasan si detektif kembali menghubungi pasangan Tamara-Damian, pertama setelah tiga tahun berlalu. Mendengar kabar itu, Tamara menangis terharu memeluk Damian. Damian mendesak agar polisi mempercepat penangkapan Surya. Namun si polisi bersikeras ini butuh waktu karena yang diselidiki adalah kasus perampokan, bukan penculikan anak. Maka mereka pun bersabar, dan hari pertemuan pun tiba. Surya tewas karena melawan aparat.

Toni terhenyak, atau kita bilang saja selanjutnya Roger, ketika mendengar cerita tersebut dari Tamara. Pantaslah dia heran karena tidak pernah mengetahui siapa ibunya, dan Surya hanya menjawab “Ibumu kerja di Kuba, tidak akan kembali lagi” ketika ditanya oleh Roger. Kuba di pikiran Roger adalah tempat yang sangat jauh, maka berhentilah dia bertanya ibunya.

Singkat cerita, Tamara dan Damian kembali bahagia, dan Roger bahagia pula menemukan sosok ibu yang telah lama dicari. Roger pindah tempat tinggal, dari rumah kontrakan kecil ke rumah megah berlantai tiga di sebuah kompleks pusat kota, bersama seluruh buku-bukunya yang berjumlah empat lemari baju. Pasangan ini sukses di bisnis masing-masing. Tamara pemilik restoran Jepang, dan Damian seorang petinggi perusahaan negara. Roger pun dipindahkan ke dari sekolah lama ke sekolah khusus anak-anak dari kalangannya, dengan fasilitas lengkap dan pengajaran bahasa asing.

Awalnya Roger senang dengan rumah barunya, penuh makanan enak dan mainan. Tapi lama kelamaan Roger mulai tidak kerasan, ada sesuatu yang kurang. Tamara tahu Roger jadi suka membaca sejak “diculik” maka tiap minggu dia membelikan Roger buku baru, sama seperti Surya. Roger pun kembali bahagia, tapi lagi-lagi dia kembali tidak kerasan. Makan tidak lahap, tidur tidak nyenyak. Rupanya dia masih rindu Surya, ayah satu-satunya.

Hari pertama sekolah di sekolah baru, Roger gugup melihat ruangan penuh benda-benda yang tidak pernah dilihatnya di sekolah lamanya. Stetoskop, miskroskop, lemari dari besi, kursi dari baja, dan lantai kelas berkarpet. Terlebih juga teman-teman baru. Semua itu membuatnya semakin rindu pada Surya.

Jam pulang sekolah, alih-alih kembali ke rumah megahnya menikmati berbagai macam cemilan sambil membaca buku, Roger menyuruh supir pribadi untuk membawanya ke bendungan tempatnya menghabiskan waktu bersama Surya dulu. Tiba di sana, Roger kemudian menuju tempat duduk yang sering ditempati mereka dulu. Di sana, Roger diam memandang kosong hampar sungai yang membentang. Tak dirasa, air mata mengalir dari matanya.

Cuma Surya ayah yang dia tahu, tidak ada yang lain. Lelaki yang kerap mengantarnya menuju pertempuran perampok melawan polisi, di mana polisilah pihak pemenang. Di rumah baru dia memang mendapatkan segalanya, termasuk ibu. Tapi ayahnya sekarang pergi kerja jam tujuh pagi dan baru pulang jam sepuluh malam saat Roger sudah tidur.

Tamara sejak kembali bertemu Roger pulang lebih awal dari tempat kerjanya pada sore hari, hingga berhasil menempatkan sosoknya sebagai ibu yang dia idamkan. Itulah usaha Tamara membayar hutang kerinduan kepada anaknya setelah berpisah selama tujuh tahun. Tapi lagi-lagi Roger rindu ayahnya yang dulu membuatnya bahagia. Roger menangis berlama-lama hingga tertidur, dan kembali ke rumah diantar si supir pada sore hari.

Damian marah besar mendengar yang dilakukan Roger hari ini. “Bayangan bajingan itu belum lepas dari kepala anak kita!” Dia berteriak sambil memukul meja tamu. Roger yang masih sesenggukan membeku dalam pelukan Tamara. Di kamar, Roger menceritakan hal-hal yang telah dia alami bersama Surya kepada ibunya. Bendungan, buku baru di Minggu pagi, yang diikuti kue enak. Tanpa sadar, air mata mengalir dari mata wanita berparas cantik itu. Orang yang disebut “bajingan” oleh Damian karena menculik anaknya memperlakukan Roger dengan sepenuh hati. Tamara pun berjanji berusaha agar bisa memberi kasih sayang seperti Surya dulu.

“Terima kasih, aku sayang Ibu…” Roger tersenyum lebar, kembali memeluk Tamara.

****

Esok paginya, pelajaran bahasa Indonesia dengan materi “Cita-citaku”. Roger masih berdiri mematung, mencari kata-kata. Tiba-tiba dia ingat sebutan Damian untuk ayah kesayangannya : Bajingan. Roger punya ide!

“Ibu guru, besar nanti saya ingin menjadi bajingan yang pintar!” Roger menjawab dengan mantap sambil tertawa kecil.

Teman-teman sekelas Roger sontak bertepuk tangan meriah mendengar ada kata “ajaib” diucapkan oleh Roger. Sementara ibu guru hanya komat-kamit mengucap doa pengusir setan sembari mengelus dadanya.

Selagi kelasnya masih ribut dan coba ditenangkan oleh ibu guru, Roger melihat Surya berdiri di depan pintu kelas, terbahak, kemudian mengacungkan jempolnya. Mata Roger pun kembali sembap, namun kali ini dia bahagia.

 

(Makassar, Akhir Desember 2016)

Achmad Hidayat Alsair Photo Verified Writer Achmad Hidayat Alsair

Separuh penulis, separuh orang-orangan sawah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya