6 Puisi Cinta Sapardi Djoko Damono Ini Bakal Bikin Kamu Baper
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Penikmat karya sastra Indonesia pastinya sudah tidak asing dengan nama Sapardi Djoko Damono atau SDD. Deretan karya dari sastrawan kelahiran 20 Maret 1940 ini memang ampuh membuat siapapun yang membacanya menjadi jatuh cinta. Karya-karyanya pun sangat dinikmati oleh anak-anak muda Indonesia. Bahkan kamu pun mungkin terinspirasi oleh pria kelahiran Surakarta tersebut. Wajar saja, barisan huruf yang dirangkainya memang manjur menghipnotis para pembaca.
Nah, di antara banyaknya karya beliau, sepertinya beberapa puisi berikut sanggup menghanyutkanmu dalam balutan kata-kata magisnya. Selain itu, kamu juga bisa banget loh memberikan puisi ini untuk si dia yang dicinta!
Aku Ingin.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Sajak Tafsir.
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkanaku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Sajak Kecil Tentang Cinta.
Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
Mencintai-Mu harus menjadi aku
Yang Fana Adalah Waktu.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Hatiku Selembar Daun .
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
Hujan di Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi…
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri…
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi…
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati…
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi…
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari…
Editor’s picks
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.