[PUISI] Aku, Kamu, Bagai Pelangi

Dinantikan dan sekejap musnah

Kenapa mereka membenci mendung?

Padahal akan ada langit cerah setelah itu

Mengapa mereka benci hujan?

Padahal akan ada pelangi setelah itu

Mengapa kamu tak menghubungiku?

Padahal aku merindukanmu

Mengapa kamu menjauhiku?

Padahal cintaku tulus

Mengapa harus kamu?

Yang membuat semua menjadi abu abu

Langit kian gelap. Aku memandang dengan perasaan yang sama. Terduduk di halte bus dengan lalu lalang orang orang mengeluh dan mengucap sumpah serapah. Sedangkan aku terdiam dan mendengarkan pembicaraan mereka dengan langit. Aku hanya menikmati langit yang sekarang semakin menggelap.

Dan seperti apa yang terucap dari sumpah serapah orang orang. Kini langit mulai menangis. Tidak. Itu hanya hujan. Bagian dari sepersekian waktu yang akan indah.

 

Hujan turun beserta rasa yang kian meluntur. Ah, tidak. Mengapa semakin sesak? Rasanya ada yang tidak ikhlas di hatiku. Sakit sekali. Membuat buliran air mulai tergenang di sudut mataku.

Aku menangis.

Namun,  aku bersyukur hujan tengah berpihak pada orang sepertiku.

Aku merindukan sosoknya. Sosoknya yang selalu menghubungiku seolah perasaan kita sama. Ya, sosoknya yang dulu.

Kini kamu tidak seperti itu dan bodohnya aku terus menantimu.

 

Akankah kamu yang mengusap laraku?

Atau yang mengikis rasa sepi didadaku?

Seperti pelangi yang muncul setelah hujan.

 

Dimana aku percaya jika hal yang tak kunjung baik akan menjadi baik pada saatnya.

Seperti pepatah yang berujar bahwa 'Usaha tak akan mengkhianati hasil'

Mungkin jatuh bangun yang kualami sekarang adalah bagian dari kebahagiaan di masa datang

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Alfina Ariesta Photo Writer Alfina Ariesta

keep writing!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya